Beberapa hari berikutnya dilalui Shaenette dengan sangat tenang, bahkan dirinya hampir lupa dengan olimpiade tersebut. Jauh berbeda dengan Ethan yang tidak bisa tidur selama hasil olimpiade belum ia ketahui.
Pagi ini Aleea mengirimkan dokumen yang berisi nilai seluruh peserta. Memuaskan, menurutnya. Shaenette setuju dengannya, tapi tidak sepenuhnya.
Nilai Shaenette hanya beda empat poin dari juara tiga. Seharusnya ia bisa harapan dua. Sementara itu, nilai Ethan berada tepat di bawahnya. Lagi-lagi, mengecewakan.
"I thought you didn't tell your parents."
"No I didn't. But they might have found out."
Perempuan itu terkekeh kecil, "How?"
Lelaki di hadapannya mengedikkan bahu, "They somehow would, though."
"Please don't mind their words, you did really well, Ethan."
Apakah Ethan mendengarkan perkataan perempuan di hadapannya saat jam istirahat tadi? Tentu tidak.
Baru saja beberapa menit lalu orang tuanya mengetahui mengenai olimpiade yang ia ikuti tanpa sepengetahuan mereka.
"KENAPA TIDAK MEMBERI TAHU, HAH?! ANAK KURANG AJAR!!"
"TAKUT MENGECEWAKAN KAMI? KAU MEMANG MENGECEWAKAN, PERGI DARI RUMAH SAYA! JANGAN PERNAH MENGINJAKKAN KAKI DISINI LAGI!"
Kedua kalimat yang keluar langsung dari mulut orang tuanya benar-benar menghantui Ethan. Ia benar-benar pergi dari rumah. Hanya membawa beberapa barang-barang penting dengannya. Dirinya tak membawa banyak baju.
Lelaki itu sedang memandangi matahari yang akan tenggelam di hadapannya. Tidak, bukan dari pantai. Ia berada di sebuah tebing di area itu.
Menyesap rokoknya, ia merasa sangat sesak di dadanya. Sekelilingnya telah dipenuhi puntung rokok, tetesan darah, dan beberapa robekan dari buku catatannya. Benar-benar berantakan, sama sekali bukan dirinya.
Wajahnya yang penuh dengan lebam tonjokan dari kedua orang tuanya dilewati air matanya. Sekujur badannya juga dipenuhi lebam biru keunguan, dan banyak sekali goresan dari pergelangan tangan sampai lengannya.
Lelaki itu merasakan getaran dari ponselnya. Ia menghela nafas, Shaenette lagi.
"Halo?! Ethan? Kamu dimana?!" Kepanikan dapat terdengar dalam nada biacara seorang perempuan di telepon itu.
Ia tak langsung menjawab, mulutnya seakan-akan terkunci. "Pantai." Hanya satu kata yang dapat dikatakannya, sebelum isakannya mengambil alih lagi.
"Astaga!! Jangan aneh-aneh dulu, aku kesana."
Tak ada dari mereka yang mematikan panggilan itu. Terdengar kerusuhan dari sisi sang perempuan. Sementara terdengar suara isakan, angin ribut, dan ombak dari sisi lelaki.
Genggaman Ethan pada pecahan kaca ditangannya semakin erat. Terlihat tetesan darah kembali mengalir, mengenai tetesan darah lainnya yang sudah mengering. Lelaki itu kecewa pada dirinya sendiri. Ia tak memerlukan orang lain untuk mengatakan hal itu untuknya.
Shaenette di seberang sana panik setengah mati, ia tahu persis apa yang akan Ethan lakukan di pantai. Apalagi kalau bukan merokok. Namun akhir-akhir ini konsumsi rokok lelaki itu dua kali biasanya.
Perempuan itu sudah bisa menebak apa yang akan orang tua Ethan lakukan jika mereka tahu kekalahan anak laki-lakinya. Meski baginya olimpiade ini tak begitu serius, tapi bagi kawan lelakinya, ini sangat serius.
Shaenette tiba di tempat Ethan berada tepat waktu. Perempuan itu sama sekali tidak menduga bahwa kawannya akan berdiam diri di tebing, apalagi sambil duduk di tepi.
"ETHAN! DIAM DISANA! AKU MAU MENYUSUL!"
Lelaki itu memaksakan diri untuk tersenyum, lalu mengangguk pelan. Tebing itu berada sekitar empat meter diatas permukaan. Tidak begitu tinggi, tetapi dengan keadaannya sekarang, jika ia melompat ia bisa langsung meninggal.
Terlalu fokus menyaksikan matahari di depannya sambil menyesap rokok ke dua puluh lima itu, Ethan tidak sadar bahwa sang perempuan telah berdiri di belakangnya.
Ia mengambil nafas banyak-banyak, terlampau lelah karena berlari sejauh tiga kilometer untuk mencapai posisi dimana kawan lelakinya berada.
Shaenette berjongkok, memeluk Ethan dari samping. Ia benar-benar tak sanggup melihat keadaan kawannya saat ini.
"Aku akan pergi."
Tetesan air mata mengalir deras dari kedua mata Ethan. Lelaki itu tidak membalas pelukan sang perempuan.
"Aku tahu."
Shaenette ikut menangis. Dirinya masih terkejut dengan keadaan di sekitar kawannya itu berada. Puntung rokok yang biasanya dikumpulkan di satu tempat, sekarang berserakan di kiri dan kanannya.
Ia lebih terkejut dengan keadaan Ethan saat ini. Kaos lengan panjangnya yang digulung sampai atas, memperlihatkan seluruh lukanya. Lebam dan goresan kaca lebih mendominasi kulit itu.
"Jangan peluk aku. Sakit."
Perempuan itu segera melepaskan pelukannya. Ia mengeluarkan beberapa es batu dari dalam tasnya, menempelkannya pada luka-luka di tubuh kawannya.
Ethan menyesap rokoknya, "Untuk apa diobati? Sudah kubilang, aku akan pergi, Shaenette."
"You promised we will die together. You were the one who asked that."
Shaenette tetap berusaha mengobati luka-luka tersebut dengan seluruh badannya bergetar, ia tak dapat menahan tangisnya.
"Shae."
Perempuan itu tidak menjawab, ia langsung menghentikan kegiatannya dan menatap lekat manik indah milik kawannya.
Ethan dapat melihat jelas mata sembab Shaenette. Lelaki itu mengelap air mata sang perempuan dengan ibu jarinya, "If I die today, please don't come after me"
Senyuman tulus yang terukir indah di bibir kawannya itu membuat Shaenette benar-benar lemah. Ia mengalihkan pandangannya, menghindari kontak mata.
Ethan menyandarkan dirinya pada pundak Shaenette, membuat perempuan itu terduduk dengan sang lelaki di pelukannya.
Shaenette dengan segera melingkarkan tangannya di sekitar pundak Ethan, mengelusnya dengan hati-hati.
"Aku tahu kamu lelah." Ia berusaha berucap di sela-sela tangisnya.
Ethan kembali menyelipkan batang rokok itu di antara belah bibirnya, menyesapnya. Namun kali ini, alih-alih menghembuskan asapnya dengan tenang, ia terbatuk-batuk.
Darah segar mengalir dari mulutnya saat ia terbatuk, "I can't feel anything. I'm dying, Shaenette. Thank you for being my home."
Perempuan itu menyeka air mata Ethan, mendekatkan wajah keduanya. Shaenette menatap dalam manik indah kawannya, lalu selama beberapa detik ia mengecup belah bibir Ethan yang berlumuran darah dengan lembut.
"I'm gonna love you 'till my lungs give out, Ethan."
Lelaki itu berhasil memberikan sebuah senyuman ke arahnya, mengelus wajah cantik Shaenette dengan tangannya yang bergetar.
"I know you feel this way. But I'm sorry, I can't force myself to feel the same."
"It's okay. Your life is hard enough. I hope I wasn't a burden to you. I'm sorry for everything that I did wrong. I'm sorry that I liked you, Ethan. Thank you for being one of the most important pieces of my life."
"I'm prepared to sacrifice my life for you. I would gladly do it twice."
Shaenette mengeratkan pelukannya pada sang lelaki yang akan tak lama lagi akan pergi meninggalkannya itu. Sekali atau tidak sama sekali.
"Please don't."
"We are– the impossibility that I always hoped for. Don't come after me, ya?"
Shaenette mengangguk perlahan. Ia tak bisa berjanji, tetapi ia akan mencoba.

KAMU SEDANG MEMBACA
de nouveau
FanfictionAku tahu aku tidak seharusnya jatuh hati kepadamu. I'm sorry, but I can't help myself. Shaenette & Ethan Lee Fan fiction