1st

1K 122 21
                                    

Sore itu, pemuda manis bermarga Huang itu sibuk melayani setiap pelanggan yang datang ke cafe tempatnya bekerja, dari balik meja kasirnya, dengan tak lupa menyunggingkan senyum manisnya kearah setiap pelanggan. Mencatat pesanan yang masuk dengan sabar dan teliti. Sesekali ia merekomendasikan menu untuk pelanggan yang terlihat kebingungan dengan pilihan menu yang ada.

"Kalau adeknya belum terbiasa minum kopi, saya sarankan pesan Caramel Macchiato. Salah satu menu terlaris di Cafe kita" Ucapnya beri saran pada seorang gadis yang mengenakan seragam sekolah, lengkap dengan tas punggungnya.

"Sa-..."

"Iya.. Pertemuannya masih dua jam lagi, jadi gue mampir dulu di cafe deket kantor laki gue"

Ucapan gadis itu terpotong oleh suara seseorang yang tengah mengantri dibelakangnya. Seorang pemuda berkulit tan dengan ponsel yang tertempel di telinganya berbicara dengan suara lantang seolah cafe ini hanya berisi dirinya saja.

Renjun, seseorang yang berada dibalik meja kasir hanya tersenyum simpul kearah gadis itu, yang tak jadi menyebutkan pesanannya karena tersela oleh ucapan lantang pelanggan dibelakangnya. Tatapannya syarat akan permintaan maaf dan rasa tak enak hati.

"Saya pesan yang tadi saja, kak" Putus gadis itu. Lantas membayar harga minumannya sebelum beralih untuk mencari bangku kosong.

"Iya, nanti gue bawain kopi. Yang biasa kan?" Pemuda yang berada dibaris nomor dua otomatis maju. Masih sibuk dengan lawan bicaranya di seberang sana, tentu saja dengan suaranya yang melengking, hingga membuat percakapannya mampu didengar oleh orang disekitarnya.

"Gue pes.. Renjun?!" Pekiknya, kala netra bulatnya menangkap sosok pemuda mungil, yang kini sama-sama dikejutkan oleh kehadiran dirinya.

"Ya ampun.. Lo apa kabar?" Tanyanya dengan semangat, seolah lupa dengan niat awalnya datang ke cafe ini.

"Baik" Jawab Renjun seadanya, dengan senyum canggung juga gerutuan dalam hati karena takdir yang kembali mempertemukan keduanya hari ini, mengingat bagaimana masa lalu persahabatan keduanya, membuat rasa kesalnya kembali muncul pada sosok itu. Haechan, lelaki berkaca mata itu senyum begitu lebar, lantas mematikan sepihak sambungan teleponnya.

'Masih bisa senyum dia, setelah apa yang dia lakuin ke gue dulu?' Batin Renjun.

"Lo kerja disini? Gue kira lo udah kerja di perusahaan gede impian lo pas kuliah dulu, ren" Lanjutnya dengan mengorek masa lalu, yang sebenarnya ingin sekali Renjun kubur dalam-dalam, layaknya impiannya yang sudah lama terkubur. Menyisakan cerita menyakitkan yang tak bisa dengan mudah ia lupakan begitu saja. Yang sialnya, hari ini ia seolah dipaksa untuk kembali memgingat kenangan itu.

Renjun terkejut saat pertanyaan itu terlontar dengan entengnya dari mulut cerewet Haechan. Tak ingatkah dia, Renjun harus mengubur dalam-dalam mimpinya karena kejadian itu?

Sadar akan posisinya yang tak memungkinkan untuk menanggapi segala  celotehan Haechan, Renjun langsung mengingatkan pelanggannya itu untuk segera memesan. "Maaf, kak. Antrian dibelakang masih panjang. Bisa saya catat pesanannya?"

Pemuda Lee itu menengok kearah belakangnya, dan benar saja sekitar tiga orang sudah berbaris menunggu gilirannya. "Dua Ice Americano, dan satu Ice Vanilla latte"

"Total seratus tiga puluh enam ribu, kak. Pembayaran bisa e-money atau cash, ya"

Haechan segera mengeluarkan uang dua lembar seratus ribuan dari dalam dompetnya, lantas menyerahkannya kepada Renjun. "Kembaliannya ambil aja, buat uang tip" Ucapnya dengan senyum lebar. Sebenarnya tak ada yang salah dengan senyuman itu, bukan senyum sinis layaknya musuh dalam selimut yang berpura-pura bersikap baik, tapi entah mengapa Renjun menangkap maksud lain didalam senyum itu, seperti senyum meremehkan?

(DISCONTINUED) LIE TO ME [JAEREN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang