4th

562 108 17
                                    

Setelah memohon pada Jeno, untuk mendapat jatah liburnya lebih cepat, jatah libur yang hanya sehari itu, Renjun gunakan untuk sekedar menenangkan diri.

Terlalu takut, orang-orang akan dengan mudah menemuinya, jika ia terus berada di cafe tempatnya bekerja itu. Seperti kemarin, saat Mark dengan tiba-tiba saja muncul dan mendengar pembicaraannya dengan Jeno. Membuatnya khawatir, jika hari ini bisa saja Haechan atau pemilik hotel itu yang datang menemuinya disana.

"Setidaknya biarin gue nikmatin hidup dengan tenang, sehari aja sebelum gue bener-bener di penjara" Gumamnya. Lantas tangannya segera meraih sumpit miliknya untuk memulai menikmati hotpot yang telah ia pesan. Bentuk healing terbaik menurut Renjun adalah menghabiskan uangnya untuk makan di tempat favoritnya itu.

Namun, belum ujung sumpit menyentuh permukaan kaldu berwarna merah itu, sebuah suara menginterupsinya, dan mau tidak mau Renjun harus mengalihkan perhatiannya kearah sumber suara.

"Renjun?"

"Oh! Haechan" Panggil Renjun dengan suara lemah. Sumpit yang masih kering itu, ia arahkan ke mulutnya, menyesap rasa hambar dari benda berbahan kayu tersebut, sehambar senyuman yang tercetak di bilah cherrynya.

Bagaimana bisa, dari banyaknya tempat yang bisa dikunjungi Haechan, kenapa harus tempat ini dengan jam yang sama, lelaki tan itu berkunjung? Tidak, bahkan Renjun tak pernah menyangka, Haechan akan datang ketempat ini, karena setahu dirinya, Haechan tak pernah menjadikan restoran ini sebagai tempat makan favoritnya. Dan, kejadian hari ini begitu merujuk pada sebuah takdir. Sekeras apapun usaha kita untuk menghindar, jika takdir sudah bertindak, maka usahanya hanya akan sia-sia.

"Sendirian aja, Ren?" Tanya Haechan, setelah mengambil posisi duduk dikursi dihadapan Renjun. Yang ditanya mengumpat dengan matanya, melihat Haechan dengan tanpa izin darinya main duduk saja. Renjun meletakkan sumpit miliknya, dan mengurungkan niatnya untuk kembali melanjutkan makan.

"Hm, lagi pengen sendiri aja"

Haechan mengangguk pelan, raut wajahnya menunjukkan jika ia malas mengajak sahabat lamanya itu berbincang. Namun, dengan dasar rasa kemanusiaan, mau tidak mau ia harus menyapa dan bersikap seolah tak pernah terjadi apapun diantara keduanya.

Renjun memiringkan kepala, melihat sikap Haechan yang tak terlalu menyebalkan hari ini, waalupun dari air mukanya tak memperlihatkan keramahan sedikitpun. Membuat pemuda maret itu sedikit berfikir, haruskah ia jujur dan mengatakan kebenarannya saja? Bagaimanapun juga, kehidupan Haechan memang jauh lebih terlihat baik dibanding dirinya. Dan mengakui kekalahan bukan berarti ia menang, karena kenyataannya ia memang tak akan pernah menang dari Haechan.

"Chan, gue boleh jujur ke lo, ga?" Tanya Renjun, dengan perasaan ragu.

"Hm?"

"Sebenernya.."

'Ayo, ren. Cukup jujur aja kalo lo belom nikah' monolognya dalam hati, menyemangati diri sendiri agar mau memberanikan diri untuk mengakhiri sandiwaranya itu hari ini.

"Sebenernya gue..."

"Lo bohong, kan? Lo pasti bohong ke Jung Jaehyun kalo lo hamil anak dia, makanya kalian bisa nikah? Iya, kan?" Sela Haechan dengan cepat.

"Hah?!" Cengo Renjun, niatnya ingin mengakui kebohongannya, malah kini Haechan menuduh yang tidak-tidak tentang dirinya. Secara tak langsung, Haechan telah menuduh dirinya mendapatkan Jaehyun dengan cara kotor? Rasanya kekesalan dalam dirinya semakin bertambah, ia tak serendah itu. Dan bukankah cara Haechan untuk bisa mendapatkan Mark, juga sama kotornya?

"Lo tahu, Ren. Cerita yang paling ga masuk akal menurut gue ya cerita cinderella. Ga ada orang miskin yang bisa tiba-tiba nikah sama orang kaya, kalaupun ada, pasti itu cuman akal-akalan si miskin" Lanjut Haechan.

(DISCONTINUED) LIE TO ME [JAEREN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang