Tubuh tegaknya berjalan angkuh memasuki area lobby hotel berbintang lima itu. Para pegawai berbaris rapih, menghentikan sejenak pekerjaan mereka, untuk menyambut kedatangan sang pimpinan perusahaan. Kepala ditundukkan tanda rasa hormat, dengan sedikit perasaan was-was, kala manik jelaga sang atasan tengah meneliti setiap sudut hotel. Mengingat, pimpinan mereka memiliki gangguan OCD, dimana mengharuskan setiap sudut hotel harus selalu dalam keadaan rapih dan bersih.
Seorang pegawai menelan ludah saat melihat sang pimpinan berjalan mendekat kearahnya. Keringat sudah membasahi pelipisnya, rasa gugup menghampirinya, takut ia telah melakukan satu kesalahan yang membuat pimpinan itu marah padanya.
Namun, dugaannya salah. Pimpinan itu hanya menyingkirkan satu helai rambut miliknya yang jatuh ke keningnya, untuk kembali menyatu dengan rambut lainnya yang sudah tersisir rapih.
Pegawai itu bernafas lega, saat sang pimpinan sudah berlalu dari hadapannya, dan menyudahi acara sidaknya pagi ini.
Sang pimpinan Jung itu berjalan kearah lift, yang akan membawanya ke ruangan pribadi miliknya, dilantai teratas bangunan hotel itu.
"Apa dia masih belum mau kembali?" Tanyanya pada sekretaris yang selalu setia berdiri disamping lelaki Jung itu.
"Saya sudah coba memberi penawaran yang menarik, namun dia selalu menolaknya"
"Kamu bisa mengancamnya atau gunakan kekerasan, jika cara lembut tidak berhasil"
"Baik, Pak. Akan saya lakukan" Jawab sang sekretaris, lantas mencatat pesan sang atasan di tablet, yang selalu dibawanya kemanapun ia dan sang atasan pergi untuk urusan pekerjaan.
"Oh, iya, pak. Manager Kim yang memberikan harga murah untuk sewa ballroom acara reuni besok lusa, sudah diberikan surat peringatan. Dan otomatis acara itu akan dibatalkan"
"Hm. Jadwalkan untuk saya mengecek ballroom itu besok lusa, karena tempat itu akan disewa oleh kolega bisnis saya untuk acara pernikahannya bulan depan"
"Baik, Pak Jaehyun" Ucap sang sekretaris, sebagai penutup obrolan seputar pekerjaan itu. Bebarengan dengan terbukanya pintu lift.
***
"Apa?! Acara reuninya dibatalin? Kok bisa?" Pekik Haechan, saat orang disambungan selulernya mengabarkan, jika acara reuni yang akan diadakan besok malam dibatalkan.
"....."
Haechan mengurut keningnya, mendengar alasan pembatalan acara tersebut. Sebenarnya tak masalah, jika acara itu batal, tak membuat kerugian juga untuk dirinya.
Namun, dengan batalnya acara itu, maka artinya, ia tak akan bisa bertemu dengan Renjun dan suaminya. Alasan dirinya begitu antusias untuk acara besok, tak lain dan tak bukan, karena ingin melihat bagaimana sosok suami Renjun.
"Ya udah, deh. Gue tutup dulu telfonnya. Masih ada kerjaan gue" Pamitnya pada lawan bicaranya di seberang sana. Lantas segera mematikan sambungan telepon itu.
Pemuda tan itu melempar ponselnya ke atas meja dihadapannya. Tangannya mengusak kasar surai hitamnya, hingga membuatnya sedikit berantakan.
Haechan sedikit menimang, haruskah ia memberitahu Renjun, jika acara itu dibatalkan? Tapi akan sangat merepotkan, untuk memberitahu tentang pembatalan acara, dengan mendatangi cafe tempat Renjun bekerja, seharusnya ia meminta kontak milik sahabat lamanya itu, kemarin.
Sibuk dengan pemikirannya, tiba-tiba saja lelaki Lee itu berpikiran, untuk tak memberitahu Renjun, mengenai pembatalan acara itu.
"Apa ga usah gue kasih tahu aja, ya? Terus gue tetep dateng keacara itu, cuman buat liat suami dia?"