Chapter 3

1 0 0
                                    


"CLAUDIA! RAHMA! BERHENTI KALIAN!"

Teriakan Pak Anwar menarik perhatian semua orang yang berada di sana. Baik dari orang dewasa dan muda, kepalanya menjulur-julur mencari penyebab dari keributan. Ada seorang pria paruh bayah membantu menghadang jalur lari Claudia dan Rahma. Otomatis membuat mereka berhenti, tapi itu tidak membuat mereka habis akal. Claudia menggerakkan kepalanya pada Rahma untuk melakukan strategi mereka yang digunakan saat bermain permainan galasin di sekolah.

Claudia melirik ke belakang sebentar, penampakan tubuh tinggi Pak Anwar semakin mendekat. Jika mereka segera terlepas dari pria paruh baya ini, mereka akan tertangkap dan akan diawasi dengan ketat oleh guru mereka. Claudia dengan gesit berlari ke kanan dan Rahma berlari ke kiri secara bersamaan. Saat pria paruh baya itu bergerak mengejar Claudia, dan tangannya hampir meraihnya. Claudia melompat mundur sekali, lalu berlari cepat berlawanan arah menghindari tangan pria paruh baya itu yang belum juga menyerah mendapatkannya. Tubuh Claudia melengkung menghindari tangkapan dari pria paruh baya itu dan membuatnya menangkap angin kosong di tangannya.

Mereka berhasil lari dari cengkraman pria paruh baya itu. Dan melanjutkan pelarian mereka memasuki gang kecil, dinding yang dipenuhi berbagai macam gambar grafiti; seperti tugu selamat datang yang digambarkan dikelilingi oleh sekelompok orang yang membawa ransel dan kamera dan sebuah bendera merah putih. Di belakang mereka, beberapa pemuda ikut membantu mengejar mereka. Karena Claudia dan Rahma merupakan juara lomba lari di sekolah. Orang-orang itu sedikit kesulitan untuk mengejar mereka berdua. Mereka terus berlari berbelok-belok. kepala Claudia menengok kebelakang melihat jejak dari Pak Anwar sudah hilang, tangannya menarik tangan Rahma masuk ke dalam bangunan. Berlari mengarah meja yang berada di bagian belakang, tubuh mereka masuk ke dalam kolong meja.

Di kolong meja, nafas Claudia dan Rahma terengah-engah, tangan mereka saling tergenggam di atas lantai berdebu.

"Pak━"

Claudia mengangkat jari telunjuknya ke depan bibir, memberitahu Rahma untuk tidak mengeluarkan suara.

"Kemana mereka pergi?" ucap Pak Anwar.

Pria tinggi itu mengamati seisi ruangan. Barang-barang yang berjatuhan dari rak kayu, bolpoin yang berada di dalam etalase kaca berhamburan di atas lantai, dan etalase kaca yang bergeser dari tempatnya. Pak Anwar berteriak memanggil-manggil, tapi tidak terlihat satu batang hidung penghuni dari bangunan ini seperti ditinggalkan begitu saja. Langkah ringan Pak Anwar di atas ubin menimbulkan bunyi dari kerikil semen yang jatuh dari langit-langit bangunan. Tempat ini memang cocok untuk bersembunyi mengingat tubuh kecil kedua muridnya. Pak Anwar berjalan, menatap curiga pada meja yang berada di sudut ruangan.

Gadis itu mendengar suara gesekan kecil yang berasal dari kayu dan remukan batu yang tertimpa oleh benda berat. Tubuh Claudia membeku di tempat, dirasakannya tangannya digenggam erat oleh Rahma, dan menahan nafasnya untuk keluar. Suara langkah remukan semakin mendekati tempat mereka bersembunyi. Genggaman tangan Rahma semakin erat, membuat Claudia membekap mulutnya untuk menahan menyuarakan rasa sakit dan menuangkan kesalnya atas perbuatan Rahma. Semoga nggak ketahuan. Semoga nggak ketahuan. Claudia memanjatkan doa. Claudia tidak mau kembali ke Jakarta sebelum memastikan keadaan kakeknya.

"Pak, sebelah sini." kata seorang pemuda yang memiliki suara serak.

"Kalian menemukannya?" Pak Anwar berdiri tepat di depan meja.

"Belum. Tapi kemungkinan lari ke sana."

"Kita cari kesana."

Suara perbincangan yang semakin menjauh menandakan guru mereka telah keluar dan pergi dari rumah itu. Tubuh kedua gadis itu menjadi tenang. Tiba-tiba Claudia memaksa melepaskan genggaman tangan mereka. Dengan gerakan bibir memberitahu rasa sakit akibat tangan Rahma yang mencengramnya sangat erat dan memasang raut kesal. Dia memijat pelan telapak tangannya.

KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang