1 - TREVOR

198 55 55
                                    

Happy Reading!

. . .
. .
.

┊⌇ ⌦ Chapter one: She's not my girlfriend ❞


"Lihat, Trev, pacarmu kemari."

Aku menoleh ke belakang. Sudut bibirku berkedut melihat gadis itu berjalan ke arah meja kami. Dengan dagu terangkat angkuh, pinggul rampingnya melenggok seraya ia melangkah mendekat, sepasang mata birunya tertuju lurus ke arahku.

Beberapa laki-laki yang ia lewati bersiul, mata mereka mengikuti lekuk tubuhnya, namun gadis itu mengacuhkan mereka, fokusnya tetap tertuju padaku.

Lilybeth Davis, adalah nama gadis itu. Dia adik dari sahabatku, Michael. Bukan sebuah rahasia lagi jika gadis itu mengincarku. Lily tak pernah menyembunyikan perasaannya. Gadis itu terlalu gamblang dengan rasa sukanya padaku.

Jadi begini.

Aku tahu teman-temanku akan menyebut Lily sebagai pacarku, tapi bukan. Gadis itu bukan kekasihku. Lilybeth memang begitu gencar mendekatiku, tapi aku tak pernah mengatakan bahwa aku juga menyukainya.

Jika aku mengatakan bahwa aku melihat Lily hanya sebagai adik dari sahabatku, bahwa aku melihatnya seperti adikku sendiri, maka aku adalah seorang pendusta.

Dengan wajah yang cantik nan menggemaskan, lekuk tubuh yang molek, dan kaki yang ramping, sangat susah rasanya untuk tak melihat Lily sebagai seorang perempuan.

Kami terlihat cocok bersama, itulah yang dikatakan teman-temanku setiap kali kami bersama. Lalu kenapa aku ragu-ragu?

Salah satu alasan kenapa aku tak mau memacari Lily adalah, karena ayahnya orang yang cukup menyeramkan. Begitu pula dengan Michael, kakak laki-laki gadis itu. Mereka tak akan segan menghabisiku jika melihatku terlalu dekat atau bersikap terlalu intim dengan Lilybeth.

Jadi, aku mengambil jalan amannya. Karena aku tidak ingin dicincang oleh dua bodyguard pribadi Lily.

"Hei, Trev," sapa Lily begitu dia sampai di meja kami. Tanpa permisi, ia mendudukkan bokong sintalnya di kursi sampingku.

"Apa yang kau lakukan di sini, Lil?" tanyaku. "Kau tidak pergi ke sekolah?"

"Aku membolos hari ini," jawab Lily enteng.

Alisku melonjak tinggi, terkejut dengan jawaban gadis itu. Bahkan Michael tak pernah berani membolos ketika masih sekolah dulu.

Aku berdecak. "Kau sudah kelas tiga SMA, Lily. Lebih giatlah bersekolah. Apa yang akan dikatakan ayahmu jika dia tahu kau bolos sekolah dan malah pergi ke kampusku?"

Kini giliran gadis itu yang berdecak. Lily melipat lengan di dada, bibirnya yang dipoles lip gloss mengerucut lucu. Aku harus menahan diri untuk tak melirik ke arah bibir tebal itu terlalu lama dan menepis pikiran-pikiran jorok yang muncul di benakku.

"Memangnya kenapa? Dad tidak akan memarahiku, kok. Dia terlalu memanjakanku untuk melakukannya," balas Lily dengan nada angkuh.

Sudut bibirku terangkat, dan aku mengalihkan pandangan kembali ke makan siangku yang kini telah berubah dingin. Aku mendorong piringku ke tengah meja, tak lagi berselera untuk menghabiskan sandwich daging yang kubeli dari kafetaria kampus.

"Dia terlalu memanjakanmu, itu benar," balasku menyetujui.

Seseorang berdehem, dan aku seakan baru menyadari bahwa kami tidak duduk sendirian di meja itu. Teman satu kampusku, Spencer Graham, mengulum senyumnya.

"Aku ada kelas sebentar lagi. Jadi aku harus pergi," dia berpamitan.

"Oh, okay," balasku.

"Dah, Spencer!" Lily berseru sambil melambaikan tangannya. Keningku sontak mengerut. Bagaimana Lily bisa tahu nama Spencer, I have no idea.

Spencer juga terlihat terkejut, tapi lelaki itu tidak mengatakan apa-apa dan hanya tersenyum sopan untuk membalas lambaian Lily.

"Nah, sekarang setelah temanmu pergi, mau pergi jalan-jalan bersamaku?" ajak Lily. "Aku ingin menghabiskan waktu denganmu. Kau sudah tidak ada kelas, 'kan?"

Aku melajukan tangan menyisir rambutku. Ah, kurasa aku harus segera memotongnya. Panjang rambutku telah menyentuh kerah, dan aku benci ketika rambutku jatuh menutupi muka setiap kali aku beraktivitas.

"Boleh," balasku.

Aku merasakan sebuah tangan ikut menyentuh rambutku. Dan aku menoleh, hanya untuk mendapati bahwa Lily-lah yang tengah melakukannya. Gadis itu berdehem rendah, matanya tertuju pada rambutku, jemari lentiknya berdansa di sana.

"Kau terlihat seperti pria berandal dengan rambut panjang, apa kau tahu itu?" celetuk Lily.

Aku mendengus lalu mengulas sebuah senyum simpul. "Begitu?"

"Ya," balas Lily. Gadis itu mencondongkan tubuh ke arahku, salah satu dadanya menempel pada lenganku ketika ia tersenyum dan berbisik dengan nada menggoda. "It makes you look hot, and I like it."

Jantungku seakan hendak melompat dari rusuk mendengar ucapan berani gadis itu. Senyum yang terulas di bibir gadis licik itu seolah memberiku tanda bahwa ia tahu apa dampak dari kata-katanya.

Karena aku tak mengatakan apa-apa untuk membalas ucapannya, Lily pun bangkit dari duduknya. "Kau bilang akan menemaniku jalan-jalan, 'kan? Tunggu apa lagi?"

ㅤㅤ
Aku berjalan mengikuti Lily dari belakang dengan dua buah kantong belanja di tangan kiriku. Gadis itu baru saja membeli dua jenis gaun berbeda, namun toko ketiga yang kami masuki masihlah sebuah toko baju.

Aku tidak mempermasalahkannya. Bukan maksudku untuk menghakimi apa yang ingin dan tidak ingin ia beli. Toh, gadis itu membayar semua barang belanjaannya sendiri.

Kenapa tidak aku? Well, kalian pasti sinting karena berpikir jika aku mau membelikan sebuah gaun berharga lebih dari $500 untuk gadis itu. Ayah Lily jauh lebih dari kata mampu untuk memanjakan putrinya. Tiga buah gaun dengan harga total mencapai $2.000 hanya uang receh bagi keluarga Davis.

Namun kuakui, menyenangkan rasanya melihat raut bersemangat yang tercetak di wajah Lily setiap kali gadis itu mengambil sebuah gaun yang menarik perhatiannya dari rak baju dan berlari kecil menuju ruang ganti untuk mencobanya.

Lily keluar dari ruang ganti untuk yang ketiga kalinya, mengenakan sebuah gaun pendek berlengan panjang berwarna taupe.

"Apa gaun ini terlihat bagus padaku?" tanyanya sambil berputar di hadapanku, bagian bawah gaun itu bergerak luwes mengikuti pergerakannya.

Aku tersenyum dan mengangguk. "Bagus, kok. Kau akan membeli gaun itu?"

"Tidak," Lily menjawab. "Aku hanya ingin mencobanya."

Aku hanya menghela napas dan menggelengkan kepala ketika gadis itu kembali ke ruang ganti, bola mataku memutar jengah. Dua orang wanita melenggang melewatiku, salah satu dari keduanya secara terang-terangan menatapku dari atas ke bawah dengan pandangan yang menyiratkan bahwa aku berhasil menarik perhatian mereka.

Aku segera mengulas senyum miring untuk menggodanya, setengah melupakan keberadaan Lily ketika aku mengikuti kedua wanita itu dan menghentikan mereka.

• • •
• •

TO BE CONTINUED.

HAIIII!

Akhirnya aku memutuskan buat mempublish cerita ini juga. Setelah beberapa bulan mengendap di draft 😪

Gimana buat permulaannya? Menarik??

Lanjut nggak nih?


November 23rd, 2023.
With love,
Haza Rory.

Meant To BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang