38: MEMORI TERAKHIR

632 18 8
                                    

Pernikahanku dan Cahyo berlangsung bahagia, bagaimana tidak. Penantian untuk menyandang menjadi isteri Cahyo sudah kutunggu sampai bertahun-tahun. Kami menjalani rumah tangga dengan banyak bernostagia bersama. Berjalan dan tertawa bersama hingga melewati hingga 15 tahun lamanya.

Aku yang sering mendampinginya berobat begitu pula sebaliknya. Kita memang tidak tumbuh besar bersama, melewati masa-masa emas masing-masing, tapi setidaknya sekarang kita menua bersama. Duduk pada sofa yang berdampingan yang menghadap ke jendela kaca menyaksikan pohon manga yang tumbuh dan menjadi rumah cinta bagi burung pipit yang telah berkeluarga.

“Awan datang,” kata Pras duduk dekat jendela melihat burung sejoli burung pipit yang sedang beriul-siul mesra.

Aku terkesiap, berjalan dengan tertatih menggunakan tongkat lalu duduk di sebelah Pras. “Embun pasti sangat kegirangan.”

Kami berdua memerhatikan burung pipit yang bermesraan pada dahan pohon manga yang dulu kami tanam saat rumah kami jadi. Dua anak burung pipit yang besar bersama sekarang saling menjalin kasih pada dahan tersebut. namun, belakangan ini Awan burung pipit laki-laki yang kami beri nama itu hilan kabarnya. Membuat Embun burung pipit perempuan bersiul-siul sedih berharap mendapat jawaban dari Awan. Hingga dua pekan lamanya Awan hilang, dia kembali.

“Kemana saja dia membuat Embun merindu,” timpal Pras melihat dua kelakar yang masih mengelus-eluskan tubuhnya di atas dahan.

Aku tersenyum. “Masih baik Embun tidak mencari burung pipit laki-laki lain.”

“Atau mungkin Awan mencari gadis lain pada dahan yang lain. Lalu setelah bosan dia baru kembali pada Embun.”

Kami sama-sama tergelak. “Kenapa kamu tahu sekali Awan terbang kemana.”

Pras menggedikkan bahunya.

“Kamu gak akan seperti itu kan?” tanya menuntut dengan bercanda.

“Bukannya kamu sudah menunggu cukup lama?” ucapnya balik bertanya.

“Ya, mungkin aku seperti Awan, membuatmu menunggu dan beralih pada wanita lain. Tapi, pada akhirnya aku kembali padamu.”

Aku tersenyum. “Tapi aku juga bersama pria lain waktu itu.”

“Setidaknya kita sekarang bersama.”

“Sampai maut memisahkan kita.”

Pras tersenyum simpul. “Kuharap kita kembali berasama pada dunia yang abadi,” ucapnya memelukku.

Kata-kata itu mengiang pada kepalaku, kuharap begitu. Kharap tidak dari kami yang saling meninggalkan lagi. Kuharap, jika harus mati kita mati bersama-sama, sehingga tidak ada yang saling menunggu lagi. Kuharap ucapannya benar, kita kembali bertemu pada kehidupan abadi yang tuhan janjikan. Menjalin rumah tangga dalam indahnya surga.

Setelah solat isya bersama, kami memutuskan untuk langsung beristirahat. Biasanya setelah membaca serangkai doa tidur, kami masih menyempatkan untuk mengobrol. Menceritakan banyak hal dari yang tidak penting hingga sampai ke inti. Kali ini, karena tubuh kami yang semakin hari semakin renta, entah mengapa mata kami merasa terasa sangat berat.

Setelah membaca serangkai doa tidur. Dengan saling berpelukkan, kami menutup mata kami. Selamanya. Hingga tidak ada yang membuka mata lagi. Kami berdua pergi, menuju alam berikutnya. Bersama-sama dengan tubuh yang saling memeluk.

Kini, kameraku telah mati. Kamera yang selalu menangkap kenangan-kenangan indah dalam hidupku sudah penuh memorinya. Tak akan ada lagi kenangan baru. Dan cerita kameraku telah tamat.

Kita, Cerita, Kamera.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang