1: JALAN BUNTU

1.8K 63 12
                                    

Aku menuruni anak tangga dengan langkah yang hampa. Ikut berdesak-desak menanti Trans Jakarta yang telah padat pada halte yang sempit. Pikiranku terlalu lelah sedangkan tubuhku sudah terlalu letih. Entah sampai kapan hidupku terus berlanjut seperti ini. Aku sadar seharusnya aku bersyukur, masih diberikan pekerjaan yang mumpuni di ibu kota. Tetapi rasa syukur itu seakan tertelan oleh rasa lelahku tiap kali aku berangkat bekerja.

Sama seperti yang sebelum-belumnya, kesalahanku selalu berulang sama. Raguku terlalu besar, namun selalu timbul secara tiba-tiba. Hidupku tidak pernah terencana. Seperti daun yang terjatuh diterpa angin, yang tidak tahu akan berpijak kemana. Aku menghembuskan napasku lagi kala kondektur memulai menata penumpang Trans Jakarta. Memasuki dengan dihimpit-himpit, badanku seolah-olah melayang-layang.

Aku sadar rasa lelah ini memang sudah datang sejak berkuliah. Dulu aku dengan bangga memperkenalkan diri sebagai mahasiswi UGM jurusan Ekonomi. Sampai datang masanya, aku mulai merasa tercemplung pada jurusan tersebut. Aku memang tidak berpikir panjang saat mendaftar perkuliahan jalur undangan. Pikiranku hanya terpaku harus memasuki Perguruan Tinggi Negeri, tidak peduli apa jurusannya.

Oleh karena itu, ketika pendaftaran dibuka aku dengan asal mendaftar kampus. Berbekal informasi dari guru BK tentang banyaknya kakak kelas di sekolahku bisa tembus ke jurusan itu, aku pun memilik jurusan tersebut dengan harapan aku bisa lolos lewat jalur undangan.

Dugaanku benar aku lolos dengan mudah. Namun, dipertengahan jalan, aku mulai merasa tenggelam dengan teman-temanku yang lain. Aku berusaha mengejar, siang-malam kuhabiskan belajar dan membunuh rasa malas itu. Sampai aku memetik buah kerja kerasku, aku lulus tepat pada waktunya dengan ipk yang tinggi.

Mungkin karena berlari cukup cepat pada masa itu, kini aku merasa terlalu lelah untuk berjalan. Dulu setelah lulus aku berniat beristirahat dulu sejenak. Namun, dengan ipk ku yang tinggi banyak orang disekelilingku berharap lebih. Pada akhirnya, aku kembali dipaksa untuk berlari. Mengejar apa yang tidak kuketahui.

Diusiaku yang telah seperempat abad, sekarang aku bingung harus melakukan apa. Harus kah aku berhenti bekerja? Tetapi jika aku berhenti, kemungkinan besar aku tidak dapat lagi bekerja di ibu kota yang padat ini. Ya, peluang pekerjaan disini cukup kecil, sekali keluar aku tidak akan bisa masuk lagi.

Aku sampai lupa mengenalkan diriku. Aku bekerja sebagai digital marketing di sebuah perusahaan yang bernama beauty.id. Beauty.id sendiri adalah sebuah perusahaan start-up media daring yang bergerak dan memfokuskan dalam bidang kecantikan serta trend dunia mode. Kantorku terletak disebuah Gedung Wisma bilangan SCBD, sangat jauh dari rumahku yang berada di Condet.

Sebab, kepeningan ini sudah pada puncaknya, aku memutuskan untuk menghubungi sahabatku yang bekerja di bilangam Tebet. Kami saling bertemu di sebuah kedai kopi dekat dengan kantornya. Sahabat SMA-ku yang satu ini jauh lebih dekat denganku dibanding yang lainnya. Nama panggilannya Kibil kepanjangan dari keriwil dan bisul.

Aku tidak tahu banyak kenapa Kibil memiliki nama panggilan seperti itu. Namun, yang jelas selain Kibil yang memiliki rambut yang keriting, konon katanya ketika kecil Kibil sering kali izin tidak masuk sekolah karena bisulan. Persahabatanku pada waktu SMA terdiri dari lima orang, dua wanita termasuk aku dan tiga pria yang memiliki etnis dan agama yang berbeda.

Kibil pria salah satunya yang terdekat denganku. Kibil beragama Hindu dengan ibunya yang berasal dari Bali dan ayahnya orang Jawa. Keluarga Kibil mengadu nasib di ibu kota sejak Kibil lahir, yang artinya sudah sejak lahir Kibil merasakan asam garam ibu kota. Sama sepertiku, bapakku orang Jogja sedang ibu orang Tegal aku pun lahir di Jakarta, tetapi ketika kecil aku sempat berpindah kota sebelum akhirnya kembali ke ibu kota saat usiaku 15 tahun.

“Kenapa lo, gak danta banget nge chat-nge chat gue,” tuturnya setelah menyesap Americano pesanannya ketika aku baru duduk tepat di depannya.

Kita, Cerita, Kamera.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang