AYODHYĀ ; 04

199 21 1
                                    

AYODHYĀ ; 04

dalam sebuah pentas realita hidup ini adegan berbahaya sekalipun jika itu takdir hidup kita— kita tidak bisa memakai peran penganti ; jika harus sakit, maka sakit lah sekiranya seperti itu.

∘₊✧──────✧₊∘


Dalam pentas teater, yang menampilkan sejumlah orang-orang dengan macam-macam implementasi lakon yang diperankan, pertujukan yang memukai, skenario yang memainkan emosi juga estetika yang membuat jatuh hati, namun apakah kalian sadar? bahwa hidup juga layaknya sebuah pentas teater, sebuah skenario juga nuansa estetika yang berjalan dengan prolog juga epilog.

"sumpah, ini beneran epilog nya? gue ga expect endingnya—" Gavri menghentikan ucapan nya, berdecak kagum berkali-kali pada tulisan dea.

begitu juga dengan Kawa dan Nagara yang masih membaca dengan seksama.

"lo udah nentuin lakon nya bakal siapa aja ini?" tanya Nagara, Dea pun menggeleng.

"belum, biar gue serahin ke Gavri sama anak-anak yang lain nya aja itu mah, gue percaya pilihan mereka pasti tepat" katanya.

kisah Ramayana yang di remake dengan kisah lebih modern itu Dealova yang tulis, dengan awal dan akhir yang selalu tak akan pernah terbaca alurnya bagaimana bahkan sampai akhir pun hanya Dea sendirilah yang bisa memberi makna, atau masing-masing dari mereka yang menonton mencoba menebak-nebak apa maknanya.

"oke, gue akan buat proposal ini semua juga gue bakal pastiin akhir oktober kita bakal pentas!" Seru Gavri bahagia, dengan raut nya yang jauh dari kata kecewa dengan karya dari Dea ia bangkit berdiri dan berkata "ngga ada yang perlu di revisi, semuanya udah sempurna menurut gue" katanya.

Nagara dan Kawa pun sama menganguk nya, sementara Dea tersenyum dan bilang "good luck, semoga pentas nya bisa banyak yang nonton"

"Nanti berarti kita harus kumpul sama anak-anak teater yang lain ya? buat bahas pentas juga peran" kata Nagara, Gavri serta Kawa dan Dea setuju, lantas ketiga nya bangkit dari duduk menyusul Gavri.

"kalau gitu gue cabut dulu ya, ada kelas" pamit Kawa, yang diberi salam hati-hati oleh semuanya tinggalah Dea dan Nagara setelah Gavri yang ikut pamit juga.

"masih ada kelas atau gimana?"

"udah beres, mau nunggu azwin"

Nagara pun terdiam seperekian detik sampai akhirnya ia menganguk "hati-hati"

Dea tersenyum, menyampaikan pesan yang sama juga "lo juga, hati-hati bentar lagi mau hujan mata lo ga terlalu jelas lihat jalan"

Keduanya berpisah di akhir kolidor kampus, sampai mata Dea menemukan azwin yang sedang bercakap dengan seorang yang cukup asing, tak kenal namanya mungkin teman satu fakultas?.

"teh Dea!" sapa Azwin, sesaat setelah ia berpamitan dengan teman nya setelah ia melihat Dea menghampirinya.

Dea tersenyum, berjalan menuju gadis berambut sebahu itu ia bertanya "sorry lama, tadi nungguin Gavri lihat hasil naskah nya"

"Ada Kawa?" tanya nya, yang membuat Dea seketika terdiam, dan menelan saliva nya pengap dan kemudian mengaguk kecil sembari berkata ragu,

"ada"

Dan saat itu juga mata Azwin langsung berbinar "teteh ngobrol apa aja sama Kawa?"

Dea hanya tersenyum getir mendengar nya "ngga banyak, cuman ya mereka suka sama hasil naskah nya"

"serius? kawa seneng ngga lihat nya?"

"kayanya, seneng?"

Dengan raut paling bahagia itu, Azwin tersenyum senang "seneng, denger kawa seneng!, kata Kawa gimana ceritanya?"

"ya dia ngga banyak komentar sih—"

"terus Kawa bilang ngga dia mau ambil peran nanti?"

Dea nampak diam, bisu juga biru denyut nya nyeri dan bising saling mengadu— namun raut nya terlihat canggung meski dipaksa tetap tersenyum "ngga ada pembicaraan kesana sih, win"

Azwin pun mengaguk mengerti "mungkin ini bisa jadi topik pembicaraan sama Kawa kali ya malam ini? teh Azwin boleh baca naskah nya? biar lebih ngerti aja gitu kalau ngobrol"

hening sejenak, sampah dahi Azwin mengerut ; apakah teh Dea tidak memberinya izin untuk membaca?. Hingga akhirnya Dea mengganguk dan kemudian menyetujui Azwin membaca naskahnya itu.

Kawan, sama seperti sebuah pertunjukan teater begitu juga skenario dan peran dengan kepura-puraan yang banyak terjadi dalam setiap pentas seni yang membuat lakon membangun chemistry palsu bagaimana ia menangis, ia berdarah, ia mati rasa, ia mati raga, bahkan saat ia bahagia juga menyambut suka cita bahagia di sebagian akhir pertunjukan pula begitu juga kehidupan bak pentas seni yang sayangnya tangis adalah tangis, darah adalah darah, patah hati adalah patah hati ataupun mati ya akan tetap mati bahkan jikapun bahagia namun sayangnya semua akhir akan selalu menyedihkan dalam pentas seni realita hidup ini kawan. Semua chemistry itu nyata adanya terikat dalam sebuah takdir kehidupan yang lakon nya adalah kita.

jika dalam sebuah pentas seni jika adegan berbahaya yang membuat kemungkinan besar kita menjadi celaka maka akan diperagakan oleh ahli, namun dalam sebuah pentas realita hidup ini adegan berbahaya sekalipun jika itu takdir hidup kita— kita tidak bisa memakai peran penganti ; jika harus sakit, maka sakit lah sekiranya seperti itu.

maka di perjalanan yang cukup melelahkan, bersamaan dengan sang mentari yang mulai memudarkan atensi nya pada belahan bumi sebelah selatan ini, bersamaan itu juga Dea harus diam-diam menahan nyeri yang menjalar atas sebuah cerita jatuh cinta dari gadis kesayangan nya itu ; tentang rasa Azwin pada Kawa yang selalu menggebu-gebu meski seribu kali di teriakan bahwa mereka tak akan pernah jadi satu.

Namun rasa adalah rasa, mutlak nya cinta adalah sebuah tirani ia akan membelenggu, mengirimkan pada palung terdalam pengorbanan yang tak akan menemukan ujung— pilihan nya hanya dua ; semakin menyelam atau berhenti dan keluar.

Sakitnya jatuh cinta adalah pilihan, mungkin bagi Dea dan Azwin pilihan itu adalah balutan kain sakral yang di rendam dalam lautan ekspetasi, diperas melalui rasa nyeri dan dikeringkan dengan alasan ; dia adalah bahagia saya.

"jangan terlalu tidur larut nanti" pesan Dea dengan senyum yang tersaji paling apik, Azwin yang sudah berdiri di depan pagar rumahnya pun mengaguk.

"siap!, lagian pasti juga Kawa ngga akan mau nangepin aku lama-lama hahaha" katanya, yang padahal sudah tau rasa sakit akan menyapanya nanti, tapi ia masih memilih nekat.

Dea menganguk "telepon aja teh Dea nanti ya?, kalau ada yang ganjel"

"iya, terimakasih dan hati-hati teh maaf sering ngerepotin karna gabisa bawa motor hehe" katanya, Dea menggeleng.

"ngga kok, jangan gitu ngomong nya" lantas Azwin hanya tersenyum saja, dan melambaikan tangan nya sesudah Dea menyalakan mesin motornya untuk melaju pergi.

Mendengar Azwin terlalu bahagia jika menyangkut Kawa adalah hal yang nyeri yang jelas Dea rasa, namun mendengar Azwin yang selalu kecewa dan menerima luka dari Kawa itu jelas lebih menampar Dea— maka itu, jauh dalam lubuk hatinya ia ingin meminta dengan tidak tau diri pada semesta bahwasanya ia lebih layak membuat gadis itu bahagia, rasanya ah ia sangat membenci fakta bahwa rasa yang layak hanya untuk sepasang yang sempurna.

AYODHYĀ

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 27, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ayodhyā | JiminJeongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang