Chapter 1 - Marduk

1.3K 109 27
                                    

 Spadia, pagi lainnya di akhir musim gugur.

Angin berembus kencang sekali pagi ini, memaksaku merapatkan syal lebih erat. Rambut unguku yang sudah dikuncir rapi jadi kembali berantakan. Tapi tidak masalah. Aku sudah membuat janji dengan seseorang pagi ini.

Tanganku menggenggam erat-erat buku catatan bersampul cokelat. Kemarin, saat membereskan barang-barangnya, tak sengaja kutemukan buku ini. Tak dapat aku menahan rasa penasaran untuk membaca sedikit bagian awalnya. Tulisan tangan yang berantakan, huruf S yang ditulis agak miring. Tidak salah lagi. Ini pasti tulisan tangannya. Begitu membaca halaman pertama, aku langsung tahu bahwa aku tak boleh membacanya sendirian. Masih ada yang lebih berhak mendengarkan isi buku itu dari pada aku.

Aku melangkah masuk ke dalam bangunan batu yang dibangun Papa beberapa tahun lalu. Tanganku mengusap lembut nisan-nisannya. Lantas aku duduk bersila di antara deretan batu nisan. Kuletakkan buku catatan itu di atas pangkuanku. Aku masih sempat menoleh kanan-kiri, memastikan tidak ada yang melihat aksiku pagi ini. Sekali lagi aku tersenyum lembut, menghela napas panjang. Baiklah. Aku siap membacakan isi buku (lebih tepatnya surat-surat) ini untuk mereka.

***

Lush Paradisa, hari ke-1

Aku tahu betul, apa yang kutulis saat ini tidak akan sampai secara langsung kepada kalian. Kalaupun sampai, pastilah butuh waktu sangat lama. Tapi anggap saja aku sedang menulis surat untuk kalian. Anggap aku sedang bercerita, mengabarkan apa yang terjadi kepadaku selama berkelana. Dengan begitu, semoga kalian tidak terlalu khawatir tentangku. Terutama Papa. Semoga surat ini cukup untuk meyakinkan bahwa anak lelakinya baik-baik saja di luar sana. Kalau tidak percaya, baca saja 'surat' ini sampai halaman terakhir.

***

"Kau benar-benar akan pergi pagi ini, Sul?" Marvel bertanya. Aku mengangguk mantap. Keputusanku sudah bulat.

Kemarin, aku sudah bicara dengan semuanya saat makan malam, bahwa aku akan pergi pagi ini. Berkelana. Setidaknya itu yang aku katakan kepada mereka.

"Tapi kenapa sekarang, Samsul?" Papa bertanya. Nada suaranya khawatir. Mungkin dipikirnya aku tidak senang lagi tinggal dengan mereka.

"Bukankah Papa sendiri yang menyuruhku mencari arti dari bato topaz sejak setahun yang lalu? Belakangan, batu Topaz seakan memintaku pergi ke suatu tempat. Mungkin di sana aku bisa meneruskan latihan memperkuat sihirku." Aku tersenyum tipis. Papa masih menatapku khawatir.

"Ke mana kau akan pergi, Sul?"

"Belum tahu, Pa. Tapi pasti nanti aku akan tahu."

Penjelasanku tadi sebetulnya kurang lengkap. Memang, belakangan ini, batu Topaz tidak bisa diam. Selain terus-menerus menyuruhku pergi ke suatu tempat, batu kuning itu juga tak henti-henti memperlihatkan ilusi kakakku di setiap sudut rumah. Ketika bangun pagi, aku melihat sosoknya di kasur tingkat. Ketika berburu, aku melihat sosoknya berdiri di sampingku. Juga ketika makan malam, aku bahkan melihatnya duduk di samping Papa.

Setelah mengonfirmasi beberapa hal lagi, Papa akhirnya mengangguk. Mengizinkanku pergi. Keesokan paginya, aku sudah siap. Tak banyak yang kubawa. Hanya tas kecil berisi beberapa keperluan dan sedikit uang dari Kak Azre. Papa, Kak Azre, dan Marvel berdiri di halaman. Papa memelukku erat-erat, berbisik menyuruhku hati-hati di perjalanan. Marvel dan Kak Azre menepuk-nepuk pundakku, bilang selamat jalan. Selepas berpamitan, aku segera balik kanan. Mempercepat langkahku meninggalkan rumah. Tidak menengok ke belakang lagi.

***

Matahari bersinar terik sepanjang perjalanan. Pertengahan musim panas. Di tengah perjalanan, aku sempat mampir sebentar ke Elheims. Dulu Master Nevin pernah bercerita sedikit tentang Perang Atlantia. Tapi hanya sedikit. Ada beberapa bagian yang hilang dalam ceritanya. Menurutnya, ia bertarung bersisian dengan Raja Ikan di perang itu. Jadi tentulah Raja Ikan punya versi lengkap dari cerita tersebut.

Surat dari Hutan - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang