Chapter 6 - Papa

419 60 5
                                    

Lush Paradisa, hari ke-? (2)

Itu pertama kalinya aku bisa tidur nyenyak sejak beberapa bulan terakhir. Entah tidur entah pingsan, tak tahulah. Yang aku tahu, ketika aku bangun, rerumputan tempatku berbaring sudah kering. Sepertinya hujan sudah lama berhenti. Meski begitu, sepertinya langit di atas sana masih mendung. Tidak terlihat matahari.

Walau sudah tidur lama, itu ternyata sama sekali tidak membantu. Yang ada justru aku semakin lemas. Hanya ada satu hal yang melintas di kepalaku saat aku bangun : kenapa aku bangun? Saking lamanya tidur, aku merasa seperti sudah mati. Kalau pun aku bangun, toh nanti aku akan tetap diganggu, kebingungan, tersesat, hilang, lalu mati. Jadi kenapa tidak dipercepat saja prosesnya? Aku bisa membuat sihir petir bertegangan tinggi. Sekali petir itu menghantam jantungku, selesai sudah. Sakitnya hanya sebentar. Setelah itu aku bisa tidur tenang.

Ah, sudahlah. Dari pada aku terus diam di sini seperti orang mati, mungkin ada baiknya menulis catatan sebentar. Setidaknya supaya pikiranku tidak kosong. Aku merogoh saku besar di jubah, mencari buku catatan dan pensil. Masih ada. Aku mencoba duduk, beranjak (sebetulnya merangkak) ke dekat sebatang pohon. Duduk bersandar di sana.

Dan begitulah. Kurasa aku sudah menuliskan semuanya. Betulan semuanya, sebab setelah ini, mungkin tak akan ada surat lagi. Ini yang terakhir.

Tanganku bergerak membolak-balik buku catatan bersampul cokelat di pangkuanku. Dipikir-pikir, banyak juga aku menulis. Sampailah aku di halaman pertama. Aku terdiam membaca tulisanku di sana.

"Aku tahu betul, apa yang kutulis saat ini tidak akan sampai secara langsung kepada kalian. Kalaupun sampai, pastilah butuh waktu sangat lama. Tapi anggap saja aku sedang menulis surat untuk kalian. Anggap aku sedang bercerita, mengabarkan apa yang terjadi kepadaku selama berkelana. Dengan begitu, semoga kalian tidak terlalu khawatir tentangku. Terutama Papa. Semoga surat ini cukup untuk meyakinkan bahwa anak lelakinya baik-baik saja di luar sana. Kalau tidak percaya, baca saja 'surat' ini sampai halaman terakhir."

Aku terdiam. Aku hampir lupa kalau pernah menulis pesan ini di halaman pertama. "Maaf, Pa. Samsul tidak baik-baik saja di sini," aku berbisik pelan.

Benar juga. Papa sedang apa ya sekarang? Apa Papa masih suka berdiri lama di makam Peppey? Apa Papa masih telaten mengurus kebun di belakang rumah?

Kalau Marvel? Mungkin sekarang dia sedang sibuk mengerjakan semua tugas rumah sendirian sambil mengomel. Berburu, mengurus persediaan makanan, menimba air dari sumur. Semoga saja tingkat kecerobohannya sedikit berkurang. Terakhir kali kami menimba air bersama, syal merah-hitamnya tenggelam dalam sumur. Untung saja masih bisa diambil kembali.

Apa masakan Kak Azre masih enak seperti terakhir kali? Atau malah lebih enak? Aku kangen masakan Kak Azre. Kalau Kak Azre-nya sih tidak.

Aku terdiam lama. Selalu menyenangkan memikirkan mereka bertiga. Sekali pun ketiganya bukan keluarga sedarah, itu bukan masalah untukku. Mereka tetap keluargaku.

Apa kata mereka kalau tahu aku bunuh diri di sini? Apa kata Papa?

Akankah mereka khawatir sebab aku tak kunjung pulang? Akankah mereka mencariku? Atau justru melupakanku?

Mungkin Papa akan sangat sedih kalau tahu. Marvel akan marah sebab aku meninggalkannya sendirian. Sejak kecil, adik bungsuku itu rewel sekali. Selalu menangis kalau aku dan Peppey meninggalkannya saat bermain.

Ah... jadi begitu ya?

Aku masih punya mereka. Aku punya keluarga. Aku punya orang-orang yang menyayangiku. Masih ada yang menungguku pulang. Biar kami terpisah jauh, tak bisa melihat satu sama lain, tak bisa mengobrol, mereka tetap keluargaku. Biar bukan keluarga sedarah, mereka tetap keluargaku.

Terbersit rasa bersalah di kepalaku sebab terpikir untuk meninggalkan mereka begitu saja. Aku menggeleng kuat-kuat. Tidak. Aku tidak ingin menyerah duluan. Kasihan Papa. Aku tidak ingin mati. Aku ingin bertahan. Aku ingin keluar dari hutan ini. AKU INGIN HIDUP!

Tapi, di satu sisi, aku tidak ingin hidup dengan rasa bersalah. Apa yang harus kulakukan?

Aku kembali membolak-balik lembar buku catatan. Kalau tidak salah, aku pernah menulis rangkuman pendek buku tua tentang Lush Paradisa di sini. Nah, ketemu. Menurut rangkuman pendek yang kutulis, Lush Paradisa menampilkan ilusi berupa keinginan terdalam seseorang. Kalau begitu, apa keinginan terdalamku?

Apa aku ingin Master Nevin hidup kembali? Tidak. Atau aku ingin Peppey hidup lagi? Juga tidak. Tapi jika tidak, kenapa mereka masih muncul dan menyalah-nyalahkanku?

Eh, tunggu. Lagi-lagi tanganku bergerak membolak-balik halaman buku. Apa lagi yang mereka katakan kepadaku? Selama ini aku selalu menutup telinga, menolak mendengarkan mereka. Tapi kurasa aku pernah menuliskan beberapa di sini. Mereka bilang aku lemah. Pengecut. Tidak berani mendengarkan diri sendiri.

Aku tersentak. Itu dia! "Tidak berani mendengarkan diri sendiri." Bisa jadi, itulah keinginan terdalamku. Aku ingin mendengar diriku sendiri. Bukankah Master Nevin pernah menasihatiku soal itu?

"Kau harus bisa jujur pada dirimu sendiri. Sadarilah segala penyesalan, rasa takut, apapun itu, sadarilah dan akuilah."

Kurasa aku mulai menemukan benang merah dari segala macam kejadian beberapa waktu terakhir. Mulanya, Topaz memunculkan ilusi Peppey di rumah, lalu menyuruhku ke sini. Dari awal, hutan ini memang sudah aneh. Suara aneh di reruntuhan, kejar-kejaran dengan Master Nevin, dan hal-hal abnormal lainnya. Selepas kejar-kejaran itulah mereka mulai menyalah-nyalahkanku. Ini cuma perkiraan, tapi kurasa, mereka sama sekali tidak menyalahkanku. Akulah yang menyalahkan diriku sendiri. Suara dan kehadiran mereka hanyalah perantara.

Kesimpulannya, semua yang mereka katakan adalah perwujudan dari suara hatiku. Hanya saja, aku selalu menolak mendengarkan mereka. Menutup suara itu rapat-rapat. Menganggapnya tidak penting. Nyatanya, saat aku mengacuhkan dan memendam mereka, suara-suara itu akan keluar dalam wujud yang tidak menyenangkan. Dalam wujud ilusi yang mengerikan dan rangkaian kata-kata yang menyudutkan.

Tadi aku bertanya, apa yang harus kulakukan? Mudah. Dengarkan mereka. Jangan menolak, jangan lari, jangan melawan. Tapi jangan juga menelan semua perkataan mereka mentah-mentah. Pokoknya dengarkan saja.

Selepas aku bersedia mendengarkan mereka, apa yang harus kulakukan? Ah, itu nanti saja. Jalankan saja dulu rencana yang sudah ada.

Aku tersenyum tipis. Sepertinya ini akan berhasil. Untuk pertama kalinya, aku punya harapan untuk keluar hidup-hidup. Aku akan pulang ke Spadia. Bertemu lagi dengan Papa, Marvel, dan Kak Azre. Meski belum tahu kapan tepatnya bisa pulang, tapi aku akan pulang. Itu pasti. Tunggu aku pulang, Pa!

[writer's note]

Alo!

Pendek jugak chapter malam ini. Jujur, saya selaku penulis pun awalnya bingung bagaimanakah cara menyadarkan Samsuludin untuk bangkit dari keterpurukan. Setelah dipikir-pikir ulang, nyatanya memang sesederhana itu. Mengingat kalau kita masih punya keluarga, entah sedarah entah tidak. Mengingat kalau masih ada yang mencintai dan menunggu kita pulang.

Sesederhana itu.

Saya tidak akan berpanjang-panjang, sebab saya sudah tepar mengerjakan review Pena Muda hari ini. Itulah mengapa update wattpad yang biasanya jam delapan mundur jadi jam sembilan lebih. Ngomong-ngomong soal Pena Muda, juri yang satunya juga sudah tepar menulis review. Siapa hayo yang kemarin berpartisipasi? Pemenangnya sudah ditentukan loh~ :p

Baiklah, itu saja. Melihat hasil chapter kemarin yang sepi lantaran pembaca takut lalu kabur dari cerita saya (itu asumsi saya, koreksi jika salah), sepertinya saya tidak akan menulis segila itu lagi. Sebab saya juga tidak mau ikutan gila untuk kedua kalinya.

Malam, semua!

Surat dari Hutan - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang