Chapter 7 - Samsul dan Papa

763 84 36
                                    

Lush Paradisa, hari ke... ah sudahlah, hari tidak penting. Mulai sekarang, aku langsung menulis saja. Peduli amat dengan hari.

Sejak hari itu, aku meneruskan latihan seperti biasa – sekaligus menjalankan rencanaku. Kapanpun mereka muncul dan mengganggu, aku akan menoleh ke arah mereka, tersenyum tipis, lantas diam mendengarkan.

"Heh, tumben kau diam saja, Sul? Kau tidak ingin menutup telingamu?" begitu kata ilusi Peppey beberapa waktu lalu.

Aku tersenyum tipis, menggeleng pelan, lantas kembali diam sementara ilusi itu lanjut mengoceh. Begitu terus sampai ia hilang sendiri. Master Nevin juga begitu. Intinya dengarkan sajalah.

Ada kalanya aku tak tahan hendak menutup telinga, lari menjauh. Tapi kutahan diriku untuk tetap diam mendengarkan. Kalau tidak didengarkan, besok-besok suara ini akan berkembang menjadi lebih keras, lebih kuat, lebih menyakitkan. Biarkan dirimu mengatakan apa yang ingin ia katakan. Tugas kita hanya mendengarkan.

Siapa sangka, lambat laun rencana mendengarkan ini mulai menunjukkan hasilnya. Setelah aku mendengarkan segalanya dan mereka kehabisan topik, mereka mulai diam. Wujud ilusinya tetap muncul, tapi mereka hanya memperhatikanku. Tidak berkata barang sepatah.

Kurasa aku mulai menguasai mereka (lebih tepatnya menguasai diriku sendiri). Hanya sesekali saja mereka mengoceh. Contohnya pada suatu siang, saat aku sedang sibuk mengembangkan jurus-jurus yang dulu diajarkan Master Nevin. Seperti biasa, Master kembali datang, mengoceh bebas, begini dan begitu. Tapi siang itu, ada yang berbeda. Alih-alih banyak menyalahkanku, ilusi Master Nevin justru menanyaiku.

"Hei, itu salah satu jurus yang pernah kuajarkan, Samsul. Mengapa kau masih melatihnya?" ia bertanya.

Sejenak aku terdiam heran. Lah, tumben-tumben dialog Master berbeda dari biasanya. Apa Master lupa baca skrip?

"Eh, yaa, aku ingin bertambah kuat, Master." Akhirnya kuputuskan untuk menjawab seadanya. Dipikir-pikir, jawabanku klise sekali.

"Mengapa kau ingin jadi lebih kuat, Samsul?" Ilusi Master Nevin bertanya lagi.

"Eee, aku..." aku menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Apa jawabanku?

"Aku... aku tidak ingin melihat lebih banyak orang terdekatku pergi di depanku, Master. Aku ingin jadi lebih kuat, supaya bisa melindungi mereka." Aku menegakkan kepala, menatap ilusi Master Nevin. Tersenyum senang dengan jawabanku sendiri.

Lengang. Master Nevin terdiam lama menatapku. Melihat tak ada tanda-tanda Master akan berbicara, aku memberanikan diri memanggilnya.

"Master..." aku menunduk. Kalimat ini sudah lama kusiapkan di kepalaku. Beberapa minggu terakhir aku bersabar menunggu waktu yang tepat untuk mengatakannya. Kurasa inilah waktu yang tepat itu.

"Master... Master boleh pergi dari sini..." kalimatku terputus, sementara Master Nevin terus menatapku. Aku menarik napas, kali ini memberanikan diri menatapnya balik.

"Bukan berarti aku mengusir Master... tapi... kalau Master masih ada di sini, selain karena Master adalah perwujudan dari suara hatiku, juga karena aku belum sepenuhnya merelakan kepergian Master. Aku baru menyadari itu beberapa waktu terakhir."

"Jadi... terima kasih, Master. Master boleh pergi sekarang." Aku menutup kalimatku. Di satu sisi, aku senang berhasil menyelesaikan kalimat panjang itu, tapi juga takut melihat reaksi ilusi Master Nevin.

Satu detik.

Dua detik.

Lima detik.

Master Nevin tersenyum lembut. Tak berkata sepatah apapun. Tubuhnya menguap, menyatu dengan udara. Lantas hilang begitu saja.

Surat dari Hutan - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang