Chapter 4 - Rubuh

405 66 10
                                    

Lush Paradisa, hari ke-14

Sebelum itu, aku minta maaf telah absen menulis catatan terlalu lama. Ada banyak sekali yang terjadi beberapa hari terakhir. Biar kuceritakan satu per satu.

Selepas kejar-kejaran di hutan gelap hari itu, aku memutuskan kembali ke reruntuhan. Saat aku menelusurinya di hari pertama, aku melihat banyak rak-rak buku tua di sana. Mungkin satu-dua di antaranya menjelaskan tentang macam-macam keanehan di sini. Keesokan paginya, aku berangkat dari pohon besar. Kali ini aku tidak mau berlari. Pelan-pelan saja, supaya aku tetap bisa memperhatikan sekitar. Mau selihai apapun hutan ini menipuku dengan trik perpindahan tempat seperti kemarin, pasti tetap ada tanda-tandanya. Tidak mungkin langsung berpindah begitu saja. Bisa jadi aku saja yang kurang memperhatikan sekitar.

Syukurlah, nampaknya hari itu aku sedang beruntung. Tepat satu jam aku sampai di sana. Jam pasir yang kuletakkan tempo hari masih tetap berdiri di tempatnya. Reruntuhan itu juga tidak berubah. Tetap terlihat tua dengan lumut dan lantai kayu lapuk di sana-sini.

Aku beranjak duduk di dekat salah satu rak, sembarang mengambil buku apa saja yang terlihat masih bisa dibaca. Nyatanya, semua buku di sana ditulis dengan aksara kuno. Tak ada yang bisa kupahami. Aku menatap tidak senang buku bersampul merah di tanganku. Ayolah, kenapa manusia zaman dulu senang sekali menciptakan hal-hal yang sulit dipahami?

"Ini percuma, Bocah. Kau tidak akan bisa memahami apapun kalau membaca hurufnya saja kau tak bisa."

Aku mengangkat gelang Topaz di tanganku, sedikit terkejut. Tumben-tumben batu menyebalkan ini mau berbicara.

"Lalu bagaimana supaya aku bisa membacanya?" aku memutuskan bertanya. Meski masih agak kesal sebab ia sama sekali tak membantu saat aku dikejar-kejar kemarin, kemungkinan besar ia bisa membantuku sekarang.

Topaz tidak menjawab, tapi ia bersinar. Seperti kunang-kunang, atau lentera kecil. Cahayanya mengenai salah satu paragraf di buku yang kupegang. Bagian yang terkena cahaya itu berubah menjadi tulisan dengan huruf yang bisa kubaca. Aku tersenyum senang. Ini keren! Seperti alat penerjemah otomatis.

"Wuih, makasih, Topaz!" aku berujar senang.

Dengan bantuan Topaz, aku bisa membaca semua buku tua di sana. Kebanyakan berisi sejarah dunia, kerajaan-kerajaan lama, dan berbagai macam hal membosankan lainnya. Mirip koleksi buku Kak Azre. Aku tidak tertarik belajar sejarah. Sebagian lagi adalah buku dongeng dan legenda lama. Aku iseng mencoba membaca beberapa judulnya. Ada Malin Kundang, Legenda Divine King, Hikayat Enam Batu, dan entah apa lagi. Tapi bukan itu tujuanku. Aku mencari buku tentang hutan ini.

Di bawah barisan buku dongeng, aku akhirnya menemukan apa yang kucari. Tanganku meraih buku tebal bersampul hijau itu. Meniup permukaannya yang berdebu. Barulah nampak jelas judulnya, "Lush Paradisa : Hutan Ilusi Maut".

Buku itu tebal sekali, dan aku malas membaca seluruhnya. Aku hanya bertahan setengah jam sebelum akhirnya menutup buku itu. Tetapi isinya cukup menjawab pertanyaanku. Menurut buku itu, Lush Paradisa selalu menampilkan ilusi kepada siapapun yang masuk ke dalamnya. Ilusi yang ditampilkan berupa keinginan terdalam dari orang tersebut. Siapapun yang sudah masuk, tak akan pernah bisa keluar sebelum mengalahkan keinginan terdalamnya. Terjawab sudah pertanyaanku mengapa aku tak bisa menemukan celah tempatku masuk ke hutan ini.

Aku berpikir-pikir sejenak. Kalau begitu, apa keinginan terdalamku adalah Master Nevin? Apa aku ingin dia hidup kembali? Kurasa tidak. Tapi, kalau tidak, mengapa ilusinya muncul kemarin?

Tanganku bergerak membolak-balik halaman buku. Apa yang dikatakan pemilik sand runner tempo hari ternyata benar. Memang nyaris tak ada orang yang bisa keluar hidup-hidup dari sini. Kebanyakan terjebak terlalu lama dalam tipuan ilusi, hingga akhirnya mati kelaparan. Opsi lain, orang tersebut terlalu lama diganggu ilusi hingga berakhir bunuh diri di dalam hutan. Menyeramkan.

Surat dari Hutan - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang