Chapter 3 - Pohon Besar

451 72 15
                                    

Lush Paradisa, hari ke-3 (2)

***

Aku bergidik. Membacanya saja membuat bulu kudukku berdiri. Apa lagi mengalaminya langsung. Pasti berkali-kali lebih mengerikan.

Hembusan angin membalikkan halaman buku di tanganku, seolah menyuruhku lanjut membaca. Biasanya aku tidak tertarik membaca buku atau novel, tapi yang satu ini membuatku penasaran. Bagaimana bisa Topaz salah menciptakan ilusi? Apa yang akan kakakku lakukan setelah didatangi ilusi jadi-jadian tadi?

***

"Mas- Master?"

Aku mencoba memanggil namanya. Tidak ada jawaban. Tentu saja, karena ia hanya ilusi. Tidak nyata. Tidak bisa berbicara.

Aku mundur selangkah. Dua langkah. Mau mundur sekali lagi, tapi punggungku sudah menyentuh batang pohon. Aku terpojok.

Master Nevin di depanku masih tetap diam di tempat. Menatapku kosong. Tak bergerak barang sesenti. Baiklah. Seseram apapun bentuknya, ini cuma ilusi. Aku bisa menyuruhnya pergi dengan Topaz. Maka sekali lagi aku mencoba memejamkan mata, fokus membuat ilusi menyeramkan di depanku pergi. Seharusnya itu berhasil. Aku kembali membuka mata.

Dugaanku salah. Master Nevin tetap di sana. Tidak menghilang sedikit pun. Kucoba menghilangkan ilusinya sekali lagi, namun tetap gagal. Begitu juga di percobaan kedua, ketiga. Tidak ada yang berubah.

Rencana cadangan. Jika tidak bisa membuatnya pergi, biar aku saja yang pergi. Pelan-pelan aku bergerak menjauh dari Master Nevin. Memang ia tidak mengejar, tapi sepasang mata birunya terus mengikuti pergerakanku. Setelah yakin Master Nevin tidak bisa mengejar, aku mulai mempercepat langkah. Baguslah. Sudah kuduga ilusi tidak bisa mengejar.

Sekali lagi, dugaanku salah. Baru sesaat aku bisa menghela napas lega, kakiku menginjak sesuatu yang basah dan lunak. Napasku tertahan. Setengah otakku mencoba berpikir positif, aku cuma menginjak buah busuk. Setengah lagi berkata kalau itu jelas-jelas bukan buah busuk. Bau amis bercampur busuk mulai meruap masuk ke hidungku, membuatku semakin yakin akan dugaan kedua. Tentu saja buah busuk tidak berbau amis.

Aku memberanikan diri untuk menunduk. Mengangkat kaki kananku yang tadi menginjak sesuatu. Yang kuinjak barusan sama sekali bukan buah busuk. Itu potongan usus halus manusia. Bercampur darah yang mengalir lurus dari belakangku.

Bulu kudukku berdiri. Bahkan tubuhku mulai gemetar ketakutan.

Tidak perlu aku menoleh ke belakang, aku tahu ilusi Master Nevin mengikutiku. Masalahnya, kalau itu benar ilusi, mana mungkin ilusi sampai punya organ dan darah segala? Tanpa pikir panjang, aku lari tunggang-langgang menjauh dari ilusi jadi-jadian itu. Tak pentinglah lari ke mana, intinya lari saja. Napasku menderu. Aku menoleh ke belakang. Aman. Tidak ada siapa-siapa yang mengikutiku.

Aku kembali fokus melihat ke depan. Kali ini, aku tak bisa menahan diri untuk tidak berteriak. Bukan di belakangku, kali ini Master Nevin muncul terang-terangan persis di depan hidungku. Matanya yang menatap kosong nampak lebih mengerikan dari jarak lima senti. Perutnya yang berlubang tak habis-habis mengalirkan darah segar, membasahi sepatuku.

Dari jarak sedekat ini, Master Nevin seolah memaku tubuhku di tempat. Tak membiarkanku bergerak. Kakiku terasa lemas. Angin dingin berembus pelan melewati telingaku. Aku menggigit bibir. Tidak. Aku tidak boleh mengikuti kemauan Master Nevin. Jangan tatap matanya, Samsul. Jangan ikuti kemauannya. Lagi pula, itu bukan Master Nevin.

Atau, apa itu betulan Master Nevin?

Tidak. Jangan bodoh. Master Nevin sudah meninggal sejak setahun lalu. Raja Ikan sudah menghanyutkan mayatnya ke lautan. Aku menguatkan kaki, mengangkat kepala, bersiap lari lagi menjauhi ilusi itu. Mau berapa kali pun ia mengejarku, aku akan tetap menghindar.

Baru saja aku hendak lari menjauh, ilusi itu berubah. Lubang di perutnya menutup. Matanya yang sedari tadi menatap kosong kini terlihat lebih hidup. Bibirnya mengulas senyum. Kimononya yang tadi kotor berlumuran darah kembali bersih.

Astaga. Yang ini persis. Persis sekali dengan sosok Master Nevin yang kukenal. Master Nevin yang selalu tersenyum. Master Nevin yang selalu menjaga kimono birunya agar tetap bersih. Tidak mungkin. Tidak. Tidak, Samsul. Itu bukan dia. Bukankah aku sendiri yang menyaksikan saat Master Nevin menjemput ajal? Fokus, Samsul. Lari. Aku harus lari.

Aku memalingkan wajah, menolak menatap sosoknya. Kakiku mulai berlari ke kanan, memutar arah. Pokoknya ke mana saja, asal tak bertemu dengannya lagi. Fokus saja berlari secepat mungkin.

Yang lebih parah lagi, di kepalaku mulai muncul rasa bersalah. Seharusnya tadi aku tidak meninggalkan Master Nevin begitu saja. Seharusnya aku tidak berlari menjauh darinya. Begitu pikiran itu muncul, aku cepat-cepat menampar pipiku. Jangan gila dulu, Samsul. Baru tiga hari.

Kali ini aku sama sekali tak berhenti. Aku tahu, sekali saja aku lengah, Master Nevin akan kembali muncul di hadapanku. Baru dua menit aku berlari, aku merasa pundakku ditepuk dari belakang. Sekali ini, kakiku bergerak ligat mengubah arah, lanjut berlari. Begitu juga saat ia menepuk pundakku untuk kedua, ketiga, dan keempat kalinya. Tak akan kubiarkan ilusi jadi-jadian itu menghentikanku lagi.

Dan kegilaan itu berlanjut ke level berikutnya. Setelah entah berapa jam sekitarku senyap, untuk pertama kalinya di hutan itu, aku mendengar suara manusia. Bukan 'suara' Topaz, bukan juga suara berbahasa aneh di reruntuhan tempo hari.

"Selamat siang, Samsul. Kenapa kau lari?"

Suara itu lembut menyusup masuk ke dalam telingaku. Ya Tuhan. Tidak. Ini jelas tidak nyata. Ilusi tidak bisa berbicara. Aku tahu itu. Sekali lagi aku menampar pipiku. Sakit. Artinya aku tidak sedang bermimpi. Tapi... kalau bukan mimpi...

Kakiku mendadak memaksa ngerem mendadak. Kepalaku refleks menoleh ke arah sumber suara.

"Kau akhirnya berhenti berlari, Samsul. Kenapa kau lari?"

Akhirnya, aku menemukan sumber suara yang sejak tadi menyapaku. Master Nevin-lah yang menyapaku. Sepasang matanya menatapku lembut. Sementara itu aku termangu. Menatap tak percaya.

Memang bentuknya sudah tak semenyeramkan sebelumnya. Bahkan kini ia bisa bicara. Bisa menyebut namaku. Tapi itu justru lebih buruk. Mudah saja bagiku untuk lari dari sosok mayatnya. Tapi entah mengapa, kabur dari sosok hidupnya jauh lebih sulit.

Master Nevin melangkah maju mendekatiku. Bunyi daun kering dan ranting-ranting terdengar bergemerisik saat terinjak sandalnya. Lihat, bahkan sandalnya bisa menginjak ranting. Ilusi tak akan bisa senyata itu.

"Kenapa kau diam saja, Samsul? Apa ada yang salah?" Master Nevin tersenyum.

Sangat salah, Master. Keberadaan Master di sini saja sudah salah. Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. Terus lari, Samsul. Jangan pedulikan dia.

Sial. Bahkan saat aku berlari, suaranya terus mengikutiku.

"Kenapa kau pergi lagi, Samsul? Kita belum berbincang, kan?"

Aku menutup telingaku rapat-rapat.

"Jangan terburu-buru, Samsul. Tinggallah barang sebentar di sini."

Sial. Ini suaranya masuk dari mana sih??

"Hati-hati dengan akar di depan, Samsul."

Akar?

BRUKK!

Terlambat. Aku tersandung lagi. Sial betul aku hari ini, terjatuh dua kali sebab tersandung hal yang sama.

Aku mengangkat kepala, menggeleng-geleng pelan berusaha menjatuhkan satu-dua daun yang menyangkut di rambutku. Begitu aku menghadap ke depan, aku termangu. Loh? Ini kan pohon besar yang hendak kutuju sejak pagi. Bagaimana bisa aku tiba-tiba ada di sini? Bukankah aku tadi masih dikejar Master Nevin jadi-jadian di dasar hutan?

Aku beranjak berdiri, mendekati pohon itu. Meraba permukaan kayunya yang kasar. Oh hei, ini betulan pohon besar di tengah lapangan. Tujuanku sejak pagi. Saat itu juga aku sadar, ini sudah bukan pagi. Matahari sudah berpindah ke ujung barat, bersiap tenggelam. Hari sudah sore. Aku terdiam. Itu artinya aku terjebak seharian di hutan gelap tadi.

Malam ini, aku memutuskan beristirahat di bawah pohon besar itu. Tersesat seharian, ditambah kejar-kejaran dengan Master Nevin sudah cukup melelahkan. Berbagai macam pertanyaan terus bermunculan di otakku, membuat kepalaku terasa berat. Aku sudah malas berpikir. Besok sajalah kucari jawabannya.

Surat dari Hutan - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang