"Ini, minummu," ujar Emi seraya menaruh gelas ke meja bagian Jay.
Lantas Jay segera meminum air pemberian Emi selagi diri sang gadis duduk di sampingnya, tidak memperhatikan Emi yang memandangnya dengan senyuman kecil.
"Apakah sudah merasa lebih baik?" Pertanyaan tersebut membuat Jay menoleh ke arahnya, dia pun menganggukkan kepala sebagai jawaban.
Kemudian bibir lelaki itu terbuka, seakan mengucapkan sepatah kata. Suaranya sangat kecil, benar-benar kecil. Bagi orang awam, mereka tidak akan bisa mendengar suara tersebut. Hanya beberapa orang terpilih-alias yang memiliki pendengaran super bisa mendengarnya. Salah satu contoh ialah tokoh utama kita, Takara Emi.
"..."
"Sama-sama, Jay. Tak perlu sungkan," balas sang gadis.
Kemudian mereka makan dalam keheningan. Emi memakan makannya dengan anggun, dia menarik satu helai rambutnya ke belakang saat ia meniup sup yang panas di atas sendok. Sedangkan Jay sendiri makan sambil memandang Emi. Di matanya, gadis tersebut terlihat sangat cantik.
PRANG!
Suara piring pecah membuat perhatian mereka berdua teralihkan. Bukan hanya mereka, namun orang-orang di kantin ikut menoleh, bersamaan pula dengan kebisingan yang berubah menjadi sunyi. Dalam penglihatan Emi, terdapat dua orang lelaki tengah berdiri berhadapan di sekitar pecahan piring itu.
"Hei sialan, apa-apaan kau? Tanpa minta maaf?" Lelaki dengan rambut tersisih rapih dalam satu arah berbicara, ia melotot pada orang di depannya yang tanpa rasa bersalah mengedikkan bahu.
"Apa masalahnya? Kau saja yang megangnya terlalu lemah sampe disenggol dikit jatoh," balas lelaki bertopi dan kacamata hitam itu.
Meski dari kejauhan, Emi dapat melihat bagaimana urat kekesalan muncul di pelipis cowok rambut rapih. Dia mendekati si lelaki berkacamata hitam tersebut, berupaya mengintimidasi dirinya dengan lebih menjulangkan tubuh.
"Hei, brengsek... Kau mengajakku berantem apa gimana?"
"Berantem? Boleh juga. Kebetulan tubuhku butuh pemanasan sekarang."
Emi baru pertama kali lihat perselisihan yang cukup kekanak-kanakan dibanding orang-orang yang berada di bawah kuasanya. Berantem tanpa adanya senjata, sangat normal dan biasa bagi Emi. Tapi dia juga berpikir kalau mereka berdua hanya seorang pelajar biasa di sini, jadi rasanya malah aneh jika berantem antar sesama remaja memakai senjata.
"..."Kepala coklat sang gadis menoleh pada lelaki pirang di sampingnya. "Cowok jabrik di sana satu kelas sama kamu, Jay?" Dia bertanya lagi untuk memastikan kebenaran.
Jay mengangguk.
"Ohh... Memangnya kamu berada di departemen apa?"
"..."
"Fashion? Ya, itu sangat cocok untukmu!" Rasanya dada Jay berdesir merasa senang terhadap pujian Emi.
"..."
"Aku? Aku berada di Departemen Kecantikan." Gadis itu menggaruk pelan pipinya dengan satu jari. "Kau tahu kan, kalau Kakakku punya impian untuk menjadi tukang salon. Tapi sayangnya dia tidak bisa mewujudkannya sekarang..."
"Jadi kupikir, jika aku masuk ke departemen ini, ilmu yang kudapat-terutama tentang salon, dapat kubagikan kepada kakakku... Lalu kita bisa bermain salon-salonan di saat waktu kakakku senggang."
Jay memperhatikan bagaimana ekspresi wajah si gadis ceria ketika menceritakan hal ini. Meski poni pirangnya menutupi kedua mata, dia tetap bisa melihat binar iris coklat Emi yang terlihat cantik. Sudah lama Jay tidak melihatnya semenjak sang ayah memberi hukuman tak boleh melihat Emi untuk waktu yang lama. Ayahnya juga memutus kontak Jay dengan Emi beserta kakaknya. Membuat Jay merasa hampa dalam kesendirian selama setahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗘𝗠𝗜 -: ̗̀➛ Lookism
Fanfiction✎ HANYA ada satu kalimat yang bisa mendeskripsikan dirinya; "Kukira cuma gadis culun biasa dari departemen kecantikan, ternyata yakuza yang berhasil mengalahkan Jonggun." Lebih baik jangan gegabah. _________ Lookism is not mine! Th art is not mine...