Bandung, 18 agustus 2032
Sore itu, Naya duduk santai diteras rumahnya sembari menikmati secangkir teh hangat yang lima menit lalu ia buat. Bertemankan rinai hujan yang mengeluarkan aroma petrichor tanah Bandung. Senja kala membuat suasana terlihat damai dan tentram, terlebih awan mendung yang mendukung untuk berbaring dibawah selimut yang hangat.
Melihat anak laki-lakinya yang tengah asyik bermain hujan mendadak Nazaya teringat sesuatu. Genangan hujan memang selalu membawa kenangan, baik itu kenangan manis maupun kenangan pahit sekalipun.
"Udah puas belum mainnya? Nanti masuk angin lho, Bar."
Nazaya memanggil putra semata wayangnya yang masih berbaring diatas rumput basah.
Bocah bernama Barra itu seketika bangun dan berjalan menghampiri Nazaya.
"Bentay Ma, masih seyu," jawabnya cadel.
Xabarra Rizki Adzani. Nama yang indah seindah rupanya. Namun terkadang Naya merasa tidak menyukai nama itu karena nama Barra mengingatkan Naya pada pemuda berusia delapan belas tahun yang dulu sering mengganggunya. Pemuda bernama El Barra Adzani yang kini telah berada di sisi Tuhan-Nya.
Ah, rasanya begitu jahat ketika Nazaya masih saja mengenang pemuda itu sementara saat ini dirinya sudah menjadi milik orang lain.
"Sayang?"
Nazaya seketika menoleh, dan melupakan apa yang tengah ia pikirkan barusan.
"Baru pulang, A?" Nazaya mencium punggung tangan suaminya dengan takzim.
"Kenapa Barra dibiarin hujan-hujanan begitu? nanti dia sakit lho." Jefri segera menggendong putra semata wayangnya yang masih asyik bermain hujan.
"Bentay duyu atuh, Pa. Abay masih mau main," rengek Barra sembari berusaha membebaskan diri dari pelukan sang papa.
"Nanti kamu masuk angin, Sayang. Ayo masuk."
"A?" Nazaya menepis tangan Jefri yang ingin menggandengnya masuk ke dalam rumah.
"Aku masih penasaran deh kenapa kamu kasih nama anak kita Barra." Nazaya melanjutkan.
"Kenapa emangnya? Nama Barra bagus kok."
"Iya sih. Cuma aku---"
"Iya, aku tahu." Jefri memotong.
"Karena hal itu jugalah aku kasih nama dia Barra. Barra kan emang enggak pernah pergi dari hati dan pikiran kamu," tutur Jefri seolah tahu isi kepala istrinya.
"Enggak begitu juga lah, A." Nazaya mencoba menyangkal.
"Udah, enggak usah terlalu dipikirkan. Kamu enggak lupa 'kan kalau malam ini mama mengadakan haul untuk adik aku?"
"Lho emang malam ini acaranya? Bukannya besok ya, A?"
"Malam ini, Sayang." Jefri merangkul bahu istrinya dengan lembut, tak lupa mengecup pucuk kepalanya sekilas.
"Buruan siap-siap, nanti Barra ngambek kalau kita telat kirim dia do'a."
Mendengar itu, bayangan Barra remaja seketika kembali melintas dibenak Nazaya.
"Barra, gue rindu."
KAMU SEDANG MEMBACA
El Barra (On Going)
Novela Juvenil"Jika harus memilih antara napas dan cinta. Maka aku akan memilih napas terakhir untuk mengatakan, "aku cinta kamu."" "Gila! Gue cewek abang lo, Barra." Dua tahun berlalu dan Barra merasa jika perasaannya kepada Nazaya tumbuh semakin kuat. Barra mul...