Oleh: Penulis Baik
Nadia mengetuk pintu tiga kali. Cuma tiga kali. Namun, seseorang di dalam sana terdengar begitu tergesa menuju pintu dan segera membukanya. Nadia melirik jam murahan di pergelangan tangan kirinya. Oh... sial! Jam itu mati. Jarum-jarumnya tak bergerak lagi. Pada akhirnya, Nadia hanya bisa mengira-ngira. Agaknya, sekarang ini sudah jam satu dinihari, jika bukan jam dua atau bahkan jam tiga.
"Nad? Nadia? Oh Tuhan..." seseorang memeluk Nadia. Ibunya. Nadi diseret masuk. Ibu segera menutup pintu. Di luar terasa begitu sunyi.
"Kau dari mana saja? Kau bikin cemas aku dan bapakmu!"
Nadia dibawa ke ruang makan. Seingat perempuan di ambang empat puluh lima tahun itu, masih ada sisa dua potong ayam goreng dan nasi panas di dalam rice cooker. Kiranya cukuplah untuk Nadia andai saat ini Nadia merasa lapar dan minta makan. Kebetulan sekali. Ayam goreng adalah makanan kesukaan Nadia.
"Bapak mana, Bu?"
"Kau sudah lima hari tidak pulang, Nad. Bapakmu sekarang mungkin sedang bersama polisi. Mencarimu. Dan... Ya Tuhan... kau lusuh sekali. Bau sampah! Kau dari mana saja, Nad?"
"Polisi? Kenapa buru-buru lapor polisi?"
"Jika besok pagi kau tak pulang juga, mungkin bapakmu akan lapor presiden. Kau ini seperti tidak tahu bagaimana bapakmu saja. Dia orangnya gampang panik. Terlebih ini soal kau. Dan lagi... Ya Tuhan... berhentilah bermain-main dengan barang haram itu, Nad. Jika polisi menemukanmu bersama barang haram itu, kau bisa dihukum mati, Nad. Ibu sungguh tak mau itu terjadi padamu!"
Sepiring nasi panas sudah tersaji di meja makan bersama dua potong besar ayam goreng dari restoran cepat saji. Sembari terus saja ngomel, ibu Nadia cekatan menyeduh segelas teh untuk anaknya yang baru kembali setelah lima hari menghilang.
"Nah... itu yang Nad maksud, Bu. Harusnya bapak tak usah buru-buru lapor polisi. Itu sama saja menyodorkan Nad ke mereka!" Nadia berbicara agak keras. Nadia marah, tapi matanya tak berani beradu pandang dengan mata ibu.
Ibu diam. Nadia juga diam. Ayam goreng di atas meja sama sekali tak mampu menerbitkan selera makannya. Di kepala Nadia saat ini sedang berputar-putar berbagai masalah yang pada akhirnya akan bermuara pada satu hal; ganja!
oOo
Delapan bulan yang lewat, Nadia menjalin asmara dengan laki-laki yang mengaku bernama Guntoro. Guntoro sudah berumur dan begitu baiknya laki-laki itu pada Nadia. Guntoro begitu mengayomi Nadia. Apa yang Nadia minta selalu diberikan oleh Guntoro. Nadia senang bukan kepalang.
Sampai pada suatu ketika, Guntoro menjebak Nadia. Entah bagaimana awalnya, Nadia yang dalam keadaan hampir tak sadar, melakukan perbuatan nista bersama Guntoro. Lebih celaka lagi, setiap adegan telah direkam oleh Guntoro tanpa sepengetahuan Nadia.
"Video ini akan aku sebar kalau kau tak mau menuruti apa yang aku perintahkan!"
Guntoro menyeringai, di sebuah sore, saat kesadaran Nadia sudah pulih seutuhnya. Nadia menangis. Meraung sejadi-jadinya.
"Kau sudah mengambil segala apa yang aku punya, Bajingan! Apa lagi yang kau mau?"
"Sssttt... sssttt... sssttt..." Guntoro menempelkan telunjuknya ke bibir Nadia, "Jangan galak-galak, Manis. Kau pikir semua kemewahan yang sudah aku berikan kepadamu itu gratis, hah? Perempuan tolol!"
"Bajingan kau! Bajingaaan!" Nadia meronta-ronta, namun tubuh kekar Guntoro dengan mudah meringkusnya.
"Mulai besok," Guntoro berbisik ke telinga Nadia, "Kau antarkan barang-barang yang aku siapkan ke alamat para pemesan. Kau cantik, Nad. Kau lugu. Kau anak baik-baik. Tak akan ada yang curiga kepadamu bahkan andai kau memikul ganja lima kilo sekalipun."
Nadia menangis lagi. Tersedu-sedu.
"Atau..." Guntoro masih berbisik di dekat telinga Nadia, "Kalau kau menolak, seluruh dunia akan melihat betapa binalnya saat kau sedang..."
"Cukup, Bangsat!"
Guntoro menyeringai untuk kesekian kalinya.
oOo
Segala dosa yang telah dibuat oleh Nadia telah dia ceritakan seluruhnya kepada ibu dan bapaknya. Pada awalnya bapak murka dan dengan amarah yang meledak-ledak bapak hendak mencari dan membunuh Guntoro. Tapi, Nadia berhasil mencegah bapak. Nadia sungguh tak mau justru nantinya bapak yang akan mendapat masalah besar.
Begitulah. Hari-hari Nadia telah berubah. Nadia tak lagi bekerja di restoran ayam goreng cepat saji. Dengan penampilan yang santun, wajah cantik alami, dan lugu, Nadia sekarang bekerja sebagai pengantar ganja dan budak seks Guntoro si tua bangka keparat bekas kekasihnya itu. Nadia murka. Amarahnya telah sampai ke puncak saat tiga hari yang lalu Guntoro mengajak serta tujuh orang temannya untuk pesta ganja dan... dan bergantian mengerjainya!
"Video kita masih kusimpan dengan baik, Manis. Kau sudah hancur. Kepalang tanggung. Jadi... kau mau apa lagi? Ayolah..."
Nadia melihat Guntoro tertawa terbahak-bahak bersama tujuh orang temannya. Nadia marah luar biasa. Tak dapat ditahan lagi. Tak bisa dikendalikan lagi.
"Heh... malah melamun."
Ibu menepuk pundak Nadia yang seketika membuat Nadia tersentak kaget.
"Nad harus pergi sekarang, Bu."
"Hei... kau bahkan belum makan dan mandi, Nad!"
"Ini penting, Bu. Ini penting!"
oOo
Pagi hari, ibu Nadia masih terjaga. Sepeninggal Nadia, tak sedikitpun rasa kantuk hinggap di kelopak matanya. Di meja makan, sepiring nasi yang sudah tak lagi panas masih utuh. Pun begitu dengan dua potong besar ayam goreng dari restoran cepat saji tempat dulu Nadia bekerja. Tak disentuh sama sekali oleh Nadia. Dan... dan ada satu eksemplar surat kabar di atas meja makan. Tergeletak persis di sebelah piring berisi nasi dingin. Ibu Nadia menyipitkan mata. Seingatnya, tadi ketika masuk ke dalam rumah, Nadia tak membawa apa-apa.
Tergerak tangan ibu Nadia untuk membaca surat kabar yang tergeletak di atas meja itu. Surat kabar edisi kemarin pagi. Halaman pertama.
PESTA GANJA. TIGA TEWAS BERSIMBAH DARAH. ENAM BURON
N (21) ditemukan tewas bersimbah darah bersama G (48) dan EW (45) di sebuah kontrakan yang diduga digunakan sebagai tempat untuk pesta ganja.
Ibu Nadia menarik napas panjang. Ada rasa nyeri yang tiba-tiba menjalar di tiap tarikan napasnya. Kelopak mata ibu Nadia mulai terasa hangat.
Pintu diketuk. Terbuka. Dibuka dari luar. Seorang laki-laki berwajah keruh berjalan lunglai ke ruang makan. Dia duduk. Matanya sembab.
"Nad sudah mati. Tiga hari yang lalu." Suara laki-laki itu. Bapak Nadia. Lirih. Terbata-bata. Gemetar.
Ibu Nadia menyodorkan surat kabar edisi kemarin pagi yang belum selesai dia baca. Laki-laki di hadapannya menyambut dengan sedikit rasa antusias yang dipaksakan lalu bergegas membaca halaman pertama. Seketika mata laki-laki itu terbelalak. Bulat. Membesar.
"Ini... ini siapa yang... siapa yang memberimu surat kabar ini?" terbata-bata laki-laki itu bertanya kepada perempuan yang mulai tersedu-sedu di hadapannya.
"Nad. Nadia sendiri yang mengantar surat kabar ini. Tadi. Sekitar jam dua dinihari."
Ibu Nadia mulai tergugu. Tangisnya pecah membelah pagi.
Mei 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
BULAN JATUH KE PANGKUANMU
Short Story✅ KUMPULAN CERITA PENDEK ✅ DITULIS OLEH PARA PENULIS BAIK ✅ FOLLOW YA Dalam album cerita pendek 'Bulan Jatuh ke Pangkuanmu' ini kami suguhkan lima judul cerita pendek yang memiliki tema bervariasi. Silahkan dibaca. Jika kalian senang, tinggalkan kom...