PERJUMPAAN DENGAN IBU

12.3K 35 0
                                    

Oleh: Penulis Baik

Lampu merah pertama. Percakapan dengan ibu beberapa hari yang lalu terngiang lagi di kepala. Mulai dari saling menanyakan kabar. Mengingatkan soal aku yang sudah lama tidak pulang. Menanyakan kabar ayah. Lalu, ini yang membuatku merasa risih, menanyakan tentang calon suami. Jika bukan ibu yang bertanya, tentu sudah kudebat, bahkan, bisa jadi sudah kumaki-maki.

"Apa kabar, Riska?"

Begitu kalimat pertama ibu setelah kami saling memberi salam. Kukatakan bahwa aku baik-baik saja. Seperti biasa. Tak kurang suatu apa.

"Ibu sendiri apa kabar?"

Di seberang sana, ibu tertawa kecil. Dikatakan ibu bahwa dia juga baik-baik saja. Pun demikian dengan Rina, adik perempuanku satu-satunya, yang memilih untuk tidak melanjutkan kuliahnya hanya demi bisa terus bersama ibu, menjaga ibu, katanya, kata adikku itu. Melanjutkan kuliah berarti harus pergi meninggalkan kampung. Itu berarti, mau tidak mau, harus meninggalkan ibu juga. Begitu penjelasan Rina lagi. Ibu tak bisa memaksa. Apalagi aku.

"Rasanya sudah lama sekali kamu tidak pulang, Ris. Tidak kangen sama Rina?"

Beginilah jika hidup di kota besar. Lampu merah akan selalu jadi musuh bagi mereka yang terburu-buru. Untungnya aku tidak. Aku cukup tenang di dalam mobil yang tidak bergerak sambil mengenang percakapanku dengan ibu lewat telpon beberapa hari yang lalu. Ah... ibu selalu saja begitu. Aku yakin bahwa sesungguhnya dialah yang kangen dengan aku dan dia juga tau aku kangen berat padanya, tapi selalu saja Rina yang dijadikan umpan.

"Tentu saja kangen, Bu. Baru juga... mmm... tujuh atau delapan bulan Riska tidak pulang ya? Delapan bulan ya, Bu?"

"Kalau hitungan Ibu tidak salah, dua hari lagi, sudah pas sembilan bulan kamu tidak pulang. Sibuk sekali rupanya anak Ibu ini."

Ibu tertawa kecil. Bersuara. Aku juga tertawa kecil. Tidak, maksudku, hanya menarik sedikit garis bibir. Tak ada suaranya. Kalimat ibu yang ini sungguh tepat benar menohok dadaku.

"Ah... tidak juga seperti itu, Bu. Mmm... Maksud Riska, Riska tidak pulang bukan karena terlalu sibuk, tapi ya memang tidak ada hari libur yang cukup di akhir pekan. Terlebih, di awal semester dulu, Riska ada kelas di hari Sabtu. Rasanya Riska sudah memberi tahu Ibu soal ini."

Di seberang sana, ibu tertawa lagi. Suaranya sungguh menyenangkan.

"Iya, Ris. Ibu masih ingat. Ibu hanya bercanda saja kok. Jangan senewen gitu ah."

Lalu kami berdua tertawa.

Lampu hijau. Mobil yang kukendarai bergerak pelan. Percakapan dengan ibu masih tertus terngiang di kepala.

"Eh, Ris... Ayahmu pernah menemuimu? Atau kamu pernah main ke rumah ayah?"

Ketika itu aku terdiam agak lama. Aku tak tahu mesti menjawab apa.

"Ris?"

"Eh... iya, Bu. Waktu itu ayah ada datang ke rumah."

"Sendirian atau..."

"Ya itu..." aku menelan ludah, sungguh... sulit sekali mengatakan ini, "sama... sama Bu Saskia."

Tuhan... kuharap batin dan raga ibu baik-baik saja di seberang sana. Aku takut ibu jadi sedih setelah kukatakan kalimat terakhirku tadi. Tapi, rupanya aku salah. Ibu malah tertawa.

"Syukurlah kalau ayahmu masih ingat sama kamu, Ris. Kamu juga. Kalau sedang tidak sibuk, sempat-sempatkanlah berkunjung ke rumah ayahmu. Kalian kan tinggal satu kota. Mudah sekali berkunjung ke rumah ayah. Biar bagaimana pun juga, dia tetap ayahmu."

Aduh... sekarang malah aku yang tidak baik-baik saja. Seketika, rasa benciku pada ayah meluap berkali-kali lipat dari yang sudah-sudah. Mendengar kabar kedekatan ayah dengan Bu Saskia saja rasanya hatiku sudah sangat marah. Terlebih, ketika menyadari bahwa pada akhirnya ayah jatuh ke pelukan teman satu kantornya itu, aku sudah tak bisa berkata-kata lagi. Waktu itu, aku menangis di depan ayah dan menyebutnya sebagai laki-laki paling jahat di dunia ini.

BULAN JATUH KE PANGKUANMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang