Oleh: Penulis Baik
Kepalaku menjulur, melihat ke sekeliling. Gang komplek terlihat lengang. Sepi. Hampir tak ada manusia yang lewat. Padahal ini masih jam delapan malam. Di hadapanku, Bang Lukman juga melakukan hal yang sama. Kami sama-sama celingukan. Melihat ke sekeliling. Seperti sama-sama takut jika pertemuan kami ini dilihat oleh orang.
Kuulurkan bungkusan berisi nasi dan lauk-pauknya kepada Bang Lukman. Kukatakan bahwa nasi dan lauk-pauk ini untuk dia dan keluarganya. Untuk makan malam. Bang Lukman mengangguk beberapa kali, mengucapkan terima kasih yang tak terkira tulusnya, dan cepat-cepat pergi meninggalkan ambang pagar rumahku. Aku sendiri bergegas masuk. Tak lagi peduli dengan pintu pagar yang belum aku tutup kembali.
Sampai di dapur, kulihat Bibi Mardiah membereskan peralatan memasak dan sisa-sisa makanan dengan begitu cekatan. Aku sendiri seperti linglung, tak tahu mesti mengerjakan apa terlebih dahulu.
"Situasi masih belum pulih, Ratna. Orang-orang masih takut untuk keluar rumah. Penyakit ini belum benar-benar hilang. Tak usah kau risaukan. Orang-orang cuma takut, bukan benci pada almarhum suamimu." Begitu ucap Bibi Mardiah saat melihatku duduk termangu di depan tabung gas. Aku mengangguk dan percaya dengan semua yang barusan dia katakan.
"Yang kupanggil untuk datang ke rumah sekedar menjemput makanan yang kuberikan pun tak semuanya datang, Bi. Aku sedih."
Bibi Mardiah tak menjawab. Pikiranku terbang ke beberapa jam yang lalu. Ketika hari masih sore. Aku memang sudah berniat untuk menyelenggarakan acara untuk memperingati tujuh hari wafatnya Bang Amin, suamiku. Kusampaikan kepada Bibi Mardiah, tetangga yang rumahnya di sebelah kanan, berjarak tiga rumah dari rumahku. Bibi Mardiah bersedia membantu untuk memasak dan menyiapkan segala hal yang perlu untuk disiapkan. Bahkan, dengan kerelaan hati yang tak terkira kadar kebaikannya, Bibi Mardiah sendiri yang menyanggupi untuk berkeliling mengundang para tetangga untuk hadir di acaraku nanti malam. Tiga puluh tujuh tetangga di lingkungan RT tempatku tinggal kuundang semua. Tak ada yang terlewat.
Namun, yang terjadi kemudian adalah sesuatu yang sungguh tak kena di hatiku. Tiga puluh tujuh yang kuundang, hanya lima orang saja yang datang. Betapa sedih rasa hatiku. Lebih-lebih lagi saat kulihat jumlah makanan yang melimpah ruah. Tersisa banyak. Siapa yang akan menghabiskan ini semua? Aku membatin dengan pilu.
"Bagi-bagikan saja, Ratna. Kau panggil orang-orang untuk datang ke rumah. Kabarkan kepada mereka, tak ada kontak fisik, hanya mengambil bungkusan nasi saja." Bibi Mardiah memberi saran yang rasanya itu adalah saran yang bagus. Maka dengan cekatan, aku membantu Bibi Mardiah untuk membungkus nasi beserta lauk-pauknya menjadi satu paket yang siap dibagi-bagikan ke tetangga yang bersedia datang.
Dan... sekali lagi, perasaan pilu menghantam dadaku. Tiga puluh dua orang yang aku hubungi lewat pesan singkat, hanya tiga yang berkenan datang untuk menjemput bungkusan nasi yang sudah aku siapkan. Kukira memang benar kalau orang-orang di lingkungan tempat tinggalku ini benci kepada almarhum Bang Amin. Aku yakin sekali.
***
Sudah setahun lebih pandemi manjadi momok yang begitu menakutkan di sini, di lingkungan tempatku tinggal. Setiap hari rasanya ada saja yang mati. Jika bukan dari RT-ku, maka kabar kematian itu akan datang dari RT sebelah. Masjid-masjid, surau-surau, rajin memberikan pengumuman kematian. Pagi. Siang. Sore. Bahkan, malam hari pun ada saja orang yang mati. Pandemi ini betul-betul membuat orang-orang semakin takut. Takut untuk keluar rumah. Takut untuk berinteraksi dengan orang lain. Takut untuk berkumpul dan bercakap-cakap. Semua memilih untuk diam saja di rumah.
Bang Amin, yang kebetulan adalah Ketua RT, memberikan pengumuman kepada seluruh warga lewat pesan singkat, bahwa akan ada bantuan dari pemerintah kabupaten. Bantuan ini akan disalurkan beberapa hari lagi. Tak sampai seminggu, kata Bang Amin.
Berselang dua hari, ada truk yang datang ke rumah. Truk yang membawa bantuan untuk warga. Tengah malam. Mungkin sekitar jam satu atau jam dua malam ketika itu. Tak ada yang tahu. Tak ada yang melihat. Orang-orang berpakaian aneh, seperti pakaian seorang astronot, dengan sigap menurunkan puluhan dus mie instan, gula, minyak, berdus-dus sarden kalengan, berkarung-karung beras, dan entah apa lagi. Bang Amin tak kalah sigap membantu. Segalanya berjalan dengan sangat cepat. Tahu-tahu, ruang samping di rumahku, yang biasanya aku gunakan untuk menaruh kendaraan, sudah penuh dengan barang-barang bantuan untuk warga.
Esoknya, Bang Amin bermaksud untuk menemui kepala desa, hendak bertanya mekanisme penyaluran bantuan untuk warga ini. Tak lama. Hanya dua jam Bang Amin pergi ke kantor kepala desa. Entah dengan siapa saja Bang Amin berjumpa. Ketika hari belum sampai ke malam, masih di hari yang sama, Bang Amin mengatakan kalau badannya terasa panas. Sebentar-sebentar menggigil. Seperti merasa kedinginan yang sangat. Lalu panas lagi. Begitu terus. Dan... tak pernah aku sangka, selang beberapa jam kemudian, Bang Amin pergi untuk selama-lamanya. Bang Amin wafat dan hampir seluruh warga mengatakan kalau Bang Amin terjangkit virus laknat itu.
Seperti lazimnya rumah yang ditinggal mati oleh salah satu anggota keluarga, aku pun bermaksud untuk menggelar acara pengajian untuk mendoakan almarhum suamiku. Namun aneh. Tak ada warga yang berkenan datang. Bahkan, setelah dibujuk oleh Bibi Mardiah pun tetap saja mereka tak mau datang.
Bibi Mardiah bilang mereka takut terjangkit. Bukan tanpa sebab. Kata orang, virus itu bahkan bisa menular hanya dengan bersentuhan saja. Mengerikan memang.
Aku memilih percaya dengan kata-kata Bibi Mardiah hingga di hari ketiga Bang Amin wafat, sempat kudengar selentingan yang tidak mengenakkan telingaku. Sebuah kabar burung yang sangat busuk yang menuduh suamiku sengaja menimbun bantuan untuk warga dan tidak akan membagikan semua bantuan yang datang tengah malam itu.
Betapa sakit hatiku mendengar kabar yang kurang ajar itu. Entah siapa yang memulainya. Yang jelas, kabar itu seketika membuat mentalku hancur. Aku menangis sejadi-jadinya. Kuceritakan seluruh perasaan sedihku pada Bibi Mardiah, tetangga yang sudah kuanggap sebagai bibiku sendiri. Bibi Mardiah menyabarkanku dan memang tak ada lain hal yang bisa kulakukan selain sabar.
Di hari kelima kepergian Bang Amin, kuminta Paman Zulkar, suami Bibi Mardiah, untuk membagikan barang-barang bantuan pemerintah kabupaten itu ke warga. Semuanya. Jangan ada yang tersisa satu kardus mie instan pun di rumahku. Paman Zulkar menyanggupi. Dalam sehari, seluruh barang bantuan untuk warga yang menumpuk di ruang samping rumahku sudah tidak ada. Habis.
Kukira, dengan tak ada lagi barang-barang itu di rumahku, orang-orang tak lagi menuduh almarhum Bang Amin dengan tuduhan yang aneh-aneh. Ternyata masih saja ada selentingan yang membuat telingaku panas. Kata mereka, aku juga terjangkit virus keparat itu. Aku tidak mati lantaran, kata mereka lagi, imunku kuat. Namun, tetap saja ada virus di dalam tubuhku, bisa menular ke siapa saja dan bisa membunuh mereka yang imunnya lemah. Aku marah. Aku ingin memaki. Aku ingin berteriak dan bilang ke orang-orang bermulut jahat itu bahwa aku tidak terjangkit virus. Tapi, rasa sakit di dalam dadaku membuat aku tak punya tenaga untuk melakukan semuanya.
***
Pada suatu pagi, di rumah Bibi Mardiah, di hari kesembilan wafatnya Bang Amin, aku mendapati Paman Zulkar tergopoh-gopoh keluar dari pintu. Aku yang ingin bertandang dan ingin bercerita tentang segala rasa sakitku pada Bibi Mardiah jadi terkejut dan ikut-ikutan gugup.
"Ada apa, Paman? Mana Bi Mar?"
Paman Zulkar berlari menyongsongku dan segera memegang pundakku. Kulihat napas Paman Zulkar memburu, seperti sedang dikejar sesuatu.
"Bibimu, Ratna... Bibimu... badannya panas dingin. Kau jaga dia. Paman akan ke Klinik Desa untuk memanggil ambulans."
Tak ada lagi percakapan di antara kami. Paman Zulkar segera pergi meninggalkan rumah sedangkan aku bergegas masuk ke dalam untuk memastikan keadaan Bibi Mardiah. Sampai di dalam, kulihat Bibi Mardiah terbaring di depan televisi. Selimut berwarna biru tua membungkus rapat tubuhnya. Dadaku berdegup kencang. Di dalam hati aku berdoa semoga Bibi Mardiah baik-baik saja.
"Bi... Bibi... ini Ratna, Bi. Bibi tunggu sebentar ya. Paman Zulkar sedang menjemput ambulans. Nanti Bibi ke rumah sakit dengan Ratna. Bibi akan sembuh. Bibi harus sembuh. Bibi tidak boleh..."
Kupegang pergelangan tangan Bibi Mardiah. Tak ada lagi denyut nadi di situ. Sama... sama seperti ketika kupegang pergelangan tangan Bang Amin sesaat sebelum aku sadar kalau suamiku itu sudah meninggal.
Maret 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
BULAN JATUH KE PANGKUANMU
Short Story✅ KUMPULAN CERITA PENDEK ✅ DITULIS OLEH PARA PENULIS BAIK ✅ FOLLOW YA Dalam album cerita pendek 'Bulan Jatuh ke Pangkuanmu' ini kami suguhkan lima judul cerita pendek yang memiliki tema bervariasi. Silahkan dibaca. Jika kalian senang, tinggalkan kom...