Oleh: Penulis Baik
Enam lima belas.
Rahman tahu betul jika jam segini Paman Bacok pasti sedang mengelap sepeda motornya di halaman rumah. Paman Bacok, laki-laki yang usianya mungkin sudah sampai di angka lima puluh tahun itu, adalah seorang tukang ojek biasa. Tidak menggunakan Hp untuk menerima panggilan. Paman Bacok cuma mangkal di pos ojek dekat Pasar Kuala Mempawah sana, menunggu orang-orang yang terlalu banyak membawa barang belanjaan dan rasanya tak mungkin pula memikul semua barang belanjaan itu sampai ke rumah yang jaraknya lumayan jauh untuk ukuran jalan kaki. Untuk perkara yang seperti ini, orang-orang itu butuh jasa tukang ojek seperti Paman Bacok.
Rahman berdiri di ambang pintu, menahan senyum sambil sedikit-sedikit matanya melirik Paman Bacok yang masih saja asyik mengelap sepeda motor kesayangannya itu. Tak berselang lama, Mardiah, istri Rahman, keluar sembari mengikat asal-asalan rambutnya yang panjang sepunggung.
Rahman berdehem sekali. Matanya melirik lagi ke arah Paman Bacok. Sementara, di hadapannya, muka Mardiah berbinar-binar.
"Papah berangkat ke kantor dulu ya, Mah." Lalu Rahman mengecup kening Mardiah yang seketika itu juga tergelak-gelak melepaskan tawa yang renyah betul kedengarannya. Rahman sendiri tak kalah terpingkal-pingkal.
"Halah Man Man... tebiat kau tu dah macam pemaen pelam di Indosiar."
Rahman masih tertawa geli, "Ngape pulak, Paman?"
"Aok lah dah. Tebiat orang kaye nak mampos. Rumah besak. Bini cantek. Tiap pagi sarapan roti selai same susu. Ndak suah abes kutengok sarapan die tu. Nak pegi kerje nyium kening bini lok. Haaa... macam tebiat kau tu lah. Eh... bukan name risau aku meliat kelakuan kitak nih."
Rahman dan Mardiah tergelak lagi. Rahman merasa senang betul hatinya sebab berhasil menggoda tetangga yang sudah dianggapnya sebagai pamannya sendiri itu.
"Tadak bah, Paman. Gurau-gurau jak bah. Kutengok Paman pun serius benar ngelap motor tu. Nak dilap pakai aek susu pun tak kan lah Supra tue Paman tu berubah jadi Ninja." Rahman terpingkal-pingkal lagi.
"Memang celake kau ni, Man."
Rahman menyalakan sepeda motornya yang tak kalah tua dari motor Paman Bacok. Motor keluaran tahun satu sembilan sembilan lima itu terbatuk dua kali sebelum menyala mesinnya. Asap mengepul sesekali dari knalpot yang sudah terlalu banyak karat di bagian-bagiannya.
"Pegi lok, Paman." Pamit Rahman kepada Paman Bacok. Lalu, kepada Mardiah pun Rahman tak lupa pamit.
"Jangan lupak, Bang. Jam empat. Biar ndak lamak kite ngantri."
"Iye. Doekan jak Abang dapat duit banyak hari ini."
"Aamiin." Mardiah tersenyum. Senyum yang luar biasa manis. Dada Rahman menghangat.
"Dah... pegi lok."
"Usah lupak. Balek sebelum jam empat," Paman Bacok menggoda Rahman.
oOo
Enam tiga tujuh.
Rahman menyusuri jalan Parit Kedaung yang lengang. Udara pagi terasa sejuk dan segar. Di kiri dan kanan jalan masih banyak kebun kelapa milik penduduk dahan-dahannya akan menjadi payung alami saat matahari siang mulai menebar sengat. Suasana yang seperti inilah yang disukai oleh Rahman. Pun demikian dengan Mardiah.
Dalam perjalanannya menuju Pasar Tradisional Sebukit Rama, Rahman tersenyum demi mengenang percakapannya dengan Mardiah, tadi, seusai salat subuh. Mardiah minta dibawa ke dokter. Mardiah minta di-USG. Begitu katanya. Rahman sendiri tak tahu betul USG itu apa. Tapi, kedengarannya seperti periksa kesehatan kandungan dan semacamnya. Rahman tersenyum lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
BULAN JATUH KE PANGKUANMU
Short Story✅ KUMPULAN CERITA PENDEK ✅ DITULIS OLEH PARA PENULIS BAIK ✅ FOLLOW YA Dalam album cerita pendek 'Bulan Jatuh ke Pangkuanmu' ini kami suguhkan lima judul cerita pendek yang memiliki tema bervariasi. Silahkan dibaca. Jika kalian senang, tinggalkan kom...