PESAN TERAKHIR BAYANGKULANA

11.2K 51 6
                                    

Oleh: Penulis Baik

Namanya Bayang. Dalam sebuah pesan singkat pertama yang dia kirimkan kepadaku, dia menyebutkan nama lengkapnya. Bayangkulana. Pesan singkat itu tak kutanggapi sebab memang aku tak kenal dengan dia dan, Demi Tuhan, aku tak suka mendapat pesan misterius dari orang yang nomor ponselnya tak terdaftar di buku kontak ponselku.

Assalamualaikum.

Mardia, aku Bayang. Lengkapnya Bayangkulana.

Aku tak punya maksud jahat. Aku hanya ingin berteman.

Salam kenal.

Segera aku hapus pesan singkat yang tak penting itu. Setelahnya, aku segera mencari Nita dan Evi, teman satu kontrakanku, untuk kutanya-tanyai dan akan kumintai pertanggungjawaban.

Nita sedang merebus mie instan di dapur ketika aku menghampirinya dan bertanya dengan intonasi yang langsung meninggi, "Kau ke yang ngasik nomer hape aku ke orang yang namenye Bayang?"

Bukannya menjawab iya atau tidak, Nita malah bengong memikirkan nama orang yang aku sebutkan barusan.

"Bayang? Ade ke name orang macam gituk?"

"Eh, jawab lah lok! Iye ke tadak?"

Nita menggeleng, "Tadak, Mar. Sumpah! Evi kali tu ha. Cobe kau tanyak die. Die agik bace buku di kamar kalok tak salah."

Kuhampiri Evi ke kamarnya. Benar kata Nita. Evi sedang membaca buku sambil tiduran di kasur.

"Vi... kau ke yang..."

"Bukaaan!"

"Kok kau tau aku nak nanyak ape?"

"Suare kau tu nyaring benar. Curige aku dolok mak kau ngidam toa masjid pas hamilkan kau."

"Mak... celake!"

Aku kembali ke kamarku. Untuk kali ini, emosiku rasanya masih bisa aku kendalikan. Aku berharap situasi seperti ini akan terus begini. Tapi, ternyata aku salah. Pesan singkat dari seseorang bernama Bayangkulana selalu saja muncul di ponselku. Paling sering isinya mengingatkan supaya aku tidak lupa untuk memberinya kabar. Sinting.

oOo

Rumah kontrakanku yang kutinggali bersama Nita dan Evi berada di dalam gang kecil, di sudut Kota Pontianak. Agak masuk ke dalam sedikit, gang tempatku tinggal sudah mentok di tepi Sungai Kapuas. Jika tak ada yang aku buat di kontrakan, biasanya aku dan Evi duduk-duduk di geretak yang ada di tepi Sungai Kapuas. Nita jarang mau ikut.

Di suatu sore, persis satu hari sebelum aku mendapat teror pesan singkat dari seseorang yang mengaku namanya Bayangkulana, aku berpapasan dengan seorang laki-laki saat aku dan Evi berjalan di geretak. Laki-laki itu mengangguk dengan sopan. Kulitnya agak hitam seperti terlalu sering terpanggang cahaya matahari. Tatapan matanya teduh. Senyumnya juga memikat. Saat laki-laki itu mengangguk, aku membalas dengan anggukan juga. Hanya anggukan. Tak tersenyum apalagi menyapa. Tidak. Aku tidak suka bertemu dengan orang asing.

Kemudian, setelah perjumpaan itu, setiap aku dan Evi duduk-duduk di tepi Sungai Kapuas, aku selalu saja berjumpa dengan laki-laki itu. Kami tak saling sapa. Hanya saling menganggukkan kepala saja. Bedanya, laki-laki itu tersenyum, aku tidak.

Semakin sering aku berjumpa laki-laki di tepi Sungai Kapuas itu, semakin sering juga aku menerima pesan singkat dari Bayang. Sialan! Aku merasa seperti sedang dihantui, seperti sedang dibayang-bayangi oleh dua hal yang kukira adalah satu. Laki-laki itu dan pesan singkat yang entah seperti apa wujud si pengirimnya. Aku curiga jangan-jangan laki-laki yang sering aku temui di tepi Sungai Kapuas itulah yang bernama Bayang. Tapi... ah... entahlah. Kepalaku pusing.

BULAN JATUH KE PANGKUANMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang