Pertama kali melihatnya

10 0 0
                                    

"Sama Mala, bu. Yang waktu itu nginep di sini," Aku menjelaskan ke ibu sama siapa aku berangkat ke acara majelis sholawat kali ini. Tempatnya di kampung sebelah dalam rangka khitanan.

"Oooh Mala yang itu. Yaudah yang penting hati² ya," pesan ibuku.

"Iya, bu. Insyaallah, assalamualaikum," pamitku.

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,"

Aku langsung memutus sambungan telepon. Siap-siap berangkat ngaji ba'da maghrib nanti. Setelah adzan maghrib terdengar, aku menunaikan sholat maghrib dan aku langsung meluncur ke rumah ustadzah.

"Alhamdulillah, ngajinya cepet. Jadi bisa langsung ke lokasi," gumamku.

Aku langsung meluncur pulang ke kost. Mengeluarkan Al-Qur'an dan Risalatul Mahid dari tas. Ya, aku memang belum lama ngaji, jadi baru kitab itu yang aku pelajari. Itu pun harus diulang sampai dua kali selama setahun ini.

Aku lanjut mengisi tasku dengan sebotol air minum, juga jas hujan. Lalu bergegas mengendarai motorku menuju rumah buliknya Mala. Sesampainya di sana aku memarkir motorku di depan rumahnya. Mala udah keluar rumah. Tapi sebelum berangkat...

"Mba Mala, aku mau numpang ke kamar mandi. Hehe," aku bisik-bisik ke Mala.

"Oalah, Mba El kenapa ngga bilang dari tadi," Mala ketawa geli sebentar.

"Ya udah, ayo ke belakang," ajaknya kemudian.

Aku ngebuntutin Mala ke kamar mandi. Setelah selesai, kami langsung jalan ke lokasi majelis yang nggak jauh dari rumah buliknya Mala.

Nggak lama, cuma beberapa menit kami tiba di sana sama ibu dan buliknya Mala juga. Setelah dapat tempat duduk, aku sama Mala mulai sibuk ngobrol sana sini. Apapun bakal jadi bahan obrolan kami. Mengingat susahnya kami berdua bisa ketemu langsung kaya sekarang.

Ngerekam video, cekrak cekrek foto, sambil dengerin hadroh yang ngalantunin berbagai macam sholawat. Itu yang kami lakukan sambil menunggu Gus Dzaki tiba di sini.

Akhirnya yang ditunggu-tunggu pun tiba. Gus Dzaki rawuh diikuti rombongannya. Mereka lewat persis di sebelah Mala, karena memang Mala duduk paling pinggir jalan dadakan yang membelah kumpulan jama'ah.

"Eh itu Mas Agus kan ya, mba?" tanya Mala tiba-tiba. Tanya ke aku tentunya.

"Mana? Oh itu yang pake kacamata. Iya bener Mas Agus," sahutku setelah melihat cowok berbaju abu kebiruan dan berkacamata. Dia itu salah satu admin paling aktif di grup kami, juga salah satu penderek (pendamping/pengikut/asisten) Gus Dzaki.

Tapi, ada satu yang mencuri perhatianku. Cowok yang pakai jaket bertulisan AZ-ZAHIR yang selalu ngikutin Agus. Agus maju ke area depan panggung pun dia ikut juga.

"Siapa sih yang pake AZ-ZAHIR itu? Kok kaya mencolok banget," batinku.

Padahal kalau diperhatikan, penampilannya itu wajar aja. Yang pakai jaket itu juga bukan cuma dia aja.

Acara pun segera dimulai. Kami mengikuti acara dengan riang. Serius, entah kenapa ada di antara jama'ah terus melantunkan sholawat bersama kaya sekarang ini rasanya menyenangkan sekaligus menenangkan buatku. Walau waktu tausiah aku ngantuk berat bree😂. Banyak setannya kali aku ye.

Waktu mahalul qiyam pun tiba. Kami beranjak berdiri dan maju ke area depan panggung. Aku sama Mala gandengan tangan biar nggak kepisah dengan tetap menjaga jarak sama lawan jenis.

Tanpa sadar, aku berdiri tepat di belakang Agus. Agus lagi live di akun instagramnya Gus Dzaki. Dan di sebelah kirinya itu cowok yang semenjak datang tadi bikin salfok melulu. Ah, takdir macam apa ini?

"Eh mumpung di belakang Mas Agus. Foto dulu dah siapa tau dinotice di grup," Tiba-tiba aja ide tengilku muncul. Aku buru-buru ngarahin kamera hp ke arah panggung. Jadi di hp ku keliatan ada hp yang disambung pake tongsis yang dipegang Agus sekaligus Gus Dzaki-nya juga keliatan. Nggak tahu deh itu hp Gus Dzaki apa punya Agud sendiri.

Sukses dapat fotonya, aku langsung kirim ke grup majelis. Terus lanjut rekam video dari ujung kiri ke ujung kanan. Sebelum akhirnya aku salfok lagi. Si Mas AZ-ZAHIR itu ternyata berdiri di sebelah kirinya Agus. Dia kelihatan lagi noleh sana sini, kaya mantau sesuatu. Nggak sadar aku merhatiin dia.

"Item, mayan manis juga," batinku.

"Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullahaladzim,"
Aku bolak-balik mengusap dadaku. Berusaha nenangin pikiran sendiri.

"Aku ini ngapain sih? Harusnya nggak gini. Nggak boleh kaya gini. Apa-apaan sih,"  Aku ngomelin diri sendiri dalam hati.

Aku sadar ini salah. Tapi memang nggak biasanya aku begini. Aku terlalu cuek kalau di keramaian begini. Tapi, kenapa gini? Harusnya aku nunduk. Ini waktunya mahalul qiyam. Nggak sepantasnya aku malah mantengin dia. Detik berikutnya aku cuma berusaha istighfar mengingat kelakuanku. Walau sudah begitu masih aja aku curi pandang ke arahnya walau sebentar.

"Astaghfirullah, Ya Allah. Nyuwun agunging pangaksami," batinku terus meminta ampunan pada-Nya sampai acara selesai.

.
.
.

Assalamualaikum readers. Ini cerita pertamaku yang aku publish. Diambil dari kisah nyata dengan penyamaran nama. Mungkin di antara kalian ada yang tahu kisah ini.

Ceritanya emang masih random. Bahasanya pun masih random. Tapi yang aku harap semoga readers bisa mengambil pembelajaran dari sekelumit cerita yang abal-abal ini. Hehe. Karena aku bukan penulis handal.

Untuk yang berkenan mampir, vote, ataupun komen saya ucapkan terimakasih.

Selamat membaca. Salam aksara😉

Yang Lebih MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang