Tanggapan Ibu

2 0 0
                                    

Ba'da maghrib aku ke rumah Bulik Wima. Aku nyari-nyari ibu tapi nihil. Nggak ketemu sama sosok yang aku cari. Akhirnya aku duduk di kursi ruang makan yang nyambung sama dapur.

Nggak lama, Okta nyusul ke situ. Dia juga langsung nyariin ibu soalnya aku bilang mau ketemu ibu waktu keluar dari rumahnya tadi.

"Loh? Katanya nyari ibumu? Mana?" Okta nanya ke aku.

"Nggak ketemu. Padahal di rumah Bulik Ana juga nggak ada," sahutku.

Okta melenggang ke ruang tengah, ruang tamu, bahkan kamar Nesty (anaknya Bulik Wima) terus balik lagi ke ruang makan.

"Iya, nggak ada. Terus kemana ya?" Okta ikutan bingung deh.

Tiba-tiba ada yang buka pintu kamar Bulik Wima. Ternyata itu ibu yang baru selesai sholat maghrib.

"Oalah buuu. Aku nyariin dari tadi sampe ke ruang atas juga nggak ada ternyata di situ, to," seketika aku ngomel.

"Barusan sholat maghrib," jawab ibuku.

"Pantesan dicariin kemana-mana nggak ketemu. Ternyata dalem kamar," sahut Okta.

"Itu bajumu yang dikecilin udah jadi," kata ibu.

"Di mana, Bu?" Tanyaku penasaran.

"Itu di tas Ibu," jawabnya singkat.

"Tasnya di mana?" Aku kembali bertanya.

"Di kamar Nesty, tas warna merah," jelasnya.

Aku yang kegirangan langsung masuk ke kamar Nesty, sepupuku. Sepupunya Okta juga otomatis. Hehe. Okta nyusul ke sana juga. Aku langsung coba pakai. Baju itu nantinya bakal aku pakai pas acara nikahan sohibku. Oke pas banget menurutku. Walau ukurannya tetap dilonggarin si mengingat aku nggak suka baju yang ketat.

"Nah gitu kan bagus. Tadinya kegedean banget," komentar Ibu.

"Hehe, iya," aku nyengir gaje.

Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Aku langsung nyambar hp-ku. Buka aplikasi terus ngatur ukuran font nya, digedein. Terus aku kasih ke ibu.

"Ini, Bu. Ibu baca aja, terus menurut Ibu gimana nantinya," pintaku.

Aku duduk di lantai dekat Ibu yang duduk di kasur dan kelihatan serius baca chatku.

"Sini lah tiduran aja sama aku. Ngapain sih duduk di situ, dingin," komentar Okta. Dia lagi santai scroll tiktok sambil tiduran di kasur.

"Nggak deh, aku tuh kepanasan tau dari tadi," sahutku.

Suasana hening sejenak sebelum sebuah suara dari luar menginterupsi keheningan kami.

"Lah? Katanya di sini? Kok nggak ada?" Itu suara Bulik Ana dari ruang tengah.

Kami bertiga yang jelas-jelas dengar langsung ngerapetin pintu kamar Nesty. Hehe. Sesekali iseng gitu biar nggak tegang.

"Nggak tau. Pokoknya tadi pada di situ," sahut Bulik Wima dari dapur. Agak teriak sih.

"Iih pada di mana sih," Bulik Ana mulai sewot.

Kami cuma cekikikan di kamar. Nahan tawa, perut sakit. Tapi akhirnya ada yang dorong pintu kamar Nesty dari luar.

"Looo. Ternyata di sini!" Omel Bulik Ana waktu tahu kami di kamar Nesty. Sontak kami bertiga jawab pake ngakak doang.

Akhirnya sepakat keluar kamar Nesty walau ibu belum kelar baca chatting-anku. Kami kumpul di ruang tengah. Malam ini tepat malam takbiran menyambut Hari Raya Idul Adha. Usah beberapa malam terakhir ini aku nginap di rumah Okta. Okta sering sendirian di rumah. Tinggal berdua sama bapaknya, Paklik Yasa aku biasa manggilnya. Dan akhir-akhir ini Paklik Yasa lagi jarang pulang karena kerjaan di kabupaten sebelah. Tapi khusus malam takbiran ini sih Paklik Yasa ada di rumah.

Yang Lebih MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang