Bab 1 Secret

4 3 1
                                    

"Mimpi itu datang tanpa pamrih, seperti yang aku lakukan sekarang—kepadamu." Pria dengan bola mata cokelat tersentak dari tempat tidurnya dan bergerak mencari suara itu.

Kosong.

Hanya ada tempat tidurnya dan beberapa buah apel yang berada di atas mejanya. Pria itu hanya melihat sinar malam dari balik jendela rumahnya. Keadaan di luar juga sangat sepi. Hanya ada banyak bintang malam yang menyinari kamarnya.

"Barnard ...." Seorang wanita memanggil namanya, ia merasakan tubuhnya di peluk dari belakang dengan lingkupan jari jemari yang lentik.

"Siapa?" Tanyanya yang membuat pelukannya terasa lebih erat. Barnard merasakan dirinya tercekik, namun tidak bisa melepaskan pelukan yang ia dapatkan. Kepalanya bahkan tidak bisa menengok ke belakang untuk mengetahui siapa wanita yang sedang memeluknya.

"Kamu tidak perlu tahu aku, yang kamu tahu ... kamu harus menyerahkan segalanya—hanya untukku, sayang."

Suara itu datang sebelum matanya tiba-tiba terpejam erat.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Kau menyelesaikan patungnya secepat ini?" Barnard menatap patung dewi Aphrodite yang ditaruh di pojok ruangan bengkelnya dan mengangguk. "Beberapa hari ini aku tidak bisa tidur, jadi aku pergi ke bengkelku dan dengan cepat menyelesaikannya."

Chiron, pria tua yang telah duduk hendak mengobrol singkat terheran melihatnya. Patung itu kurang lebih setinggi 1 meter. Ia sebetulnya hanya ingin ke bengkel milik Barnard untuk sekedar melihat perkembangan patungnya dan menanyakan suatu hal. Namun tidak ia sangka patung tersebut telah jadi bahkan dalam waktu 20 hari.

Benar-benar pria yang rajin.

"Aku belum memberinya pembungkus, mungkin besok bisa langsung dibawa." Barnard masih sibuk dengan patung lainnya segera menuntaskannya untuk mengobrol dengan pelanggan langganannya dengan duduk di sebelahnya. Mungkin bisa dikatakan patung di rumah saudagar kaya itu seluruhnya dibuat olehnya selama 3 tahun ia tinggal di pulau serifos. Ia tidak boleh kehilangan pelanggannya yang satu ini.

"Tidak. Sebenernya saya tidak ingin mengobrol tentang itu." Barnard memperhatikan pria tua itu yang seperti tengah dilanda kecemasan. Ia tidak paham dan selagi menunggu ia membersihkan tangannya yang kotor karena tanah liat dengan kain di meja bengkelnya.

"Kamu tahu anakku, bukan? Cassia sudah berumur 15 tahun. Dia juga sudah mengalami menstruasi pertamanya beberapa bulan yang lalu. Apakah kau berniat menikahinya?"

Barnard terbatuk saat mendengarnya. Ohhh tentu saja ia tidak berekspektasi mendapat pertanyaan yang mengejutkannya. Setelah memikirkannya, sudah lama sekali ia tidak bertemu dengan anak bungsu Chiron itu, terakhir sekitar dua tahun yang lalu disaat ia membantu membawakan patung-patung ke dalam rumahnya. Perempuan mungil itu berada di pelukan Ibunya karena takut melihat orang asing masuk ke rumah.

"Maaf, tentu saja aku tidak siap untuk menikah. Aku yakin Cassia memiliki lelaki yang disukainya, bukan?"

Chiron menghela napas panjang. Sedikit frustasi. "Tidak, tapi banyak pria lajang yang melamar putriku. Tentu saja aku selalu mendengar para pria itu hanya menginginkan harta kekayaan milikku bukan karena mencintai anakku. Aku tidak ingin anakku mendapat laki-laki yang buruk yang hanya membuat putriku menangis." Barnard mengangguk paham akan apa yang Chiron pikirkan.

Chiron adalah saudagar kaya yang telah pensiun karena umurnya yang sudah tidak  kuat untuk berdagang mengarungi lautan menuju pulau lain hingga luar negeri. Saat ini ia fokus menjaga istri dan putrinya di rumah dengan banyak berdoa kepada dewa dewi. Tentu saja kedua anak lelakinya yang lain sibuk mengejar karir mengikuti jejak Ayahnya sebagai pedagang.

"Tentu saja aku takut stereotip buruk akan hinggap jelas kepada anak bungsuku. Jadi aku ingin segera menikahinya dan kamu tentunya bisa mendapatkan anak bungsuku. Aku menilaimu selama 3 tahunan ini dan kamu adalah pria yang pantas."

Pantas? Barnard saja tidak datang ke rumah Chiron untuk menikahi putrinya. Bagaimana bisa ia pantas untuk menikahi anaknya?

"Maaf, tentu aku tidak memiliki keinginan untuk menikah dengan seseorang saat ini." Barnard berucap tenang dan pelan tanpa merugikan orang di depannya. Ia memang tidak ingin menikah. Pernikahan tidak ada dalam pemikirannya saat ini. "Apa pernikahan yang ingin kamu lakukan ini sesuai dengan impian anak bungsumu?" Chiron menggeleng pelan.

"Dia hanya ingin hidup sebagai pengrajut handal dan tidak berniat untuk menikah, tapi bagaimana dengan stereotip—"

"Dewi Athena, dewi kebanggaan kita bahkan para dewi lainnya juga berniat melajang seumur hidupnya. Mungkin pilihan Cassia saat ini dia sedang dalam tahapan tidak ingin menikah atau ... dia ingin mencari lelaki yang tepat, lelaki yang menyukai dirinya apa adanya. Kamu ingin yang terbaik untuk anakmu, bukan?" Chiron mengangguk dan berterima kasih atas penjelasannya dan mulai pergi dan berjanji akan kembali besok untuk melakukan pembayaran dan mengambil patungnya.

Barnard menghela napas lega. Chiron bukanlah orang kaya yang merampas kebahagian orang lain. Ia mampu mengimbangi dirinya untuk berpikir lebih jernih. Tentu saja seseorang harus memberikan pendapat terbaiknya.

"Menikah ya?" Tiba-tiba kata itu terlintas dalam pikirannya akibat pernyataan Chiron tadi.

Tidak ada pendekatannya dengan seorang wanita akhir-akhir ini. Bisa dikatakan ia sudah nyaman dengan kesendiriannya. Ia masih memiliki pekerjaan dan sepupunya yang sangat baik padanya. Ia juga bisa belajar di perpustakaan untuk menambah wawasan tanpa memikirkan seorang wanita anggun yang pantas untuk dia miliki. Banyak hal yang bisa ia lakukan tanpa mengatasnamakan cinta.

Lagian, cinta itu tidak abadi. Dia juga hanya seorang manusia dengan umur yang pendek, tidak seperti dewa dewi yang ia agungkan. Ia lebih baik banyak berdoa kepada dewa dewi demi keselamatan dan juga kebahagiannya.

Barnard menghela napas panjang memilih untuk tidak memikirkan permasalahan pernikahan lebih jauh. Ia yakin Chiron tidak akan memaksanya untuk menikahi anaknya lagi.

"Sudah dua hari aku tidak tidur." Barnard benar-benar sangat mengantuk dan tak lama ia tertidur lelap dan tak merasakan pergerakan seseorang yang mengintip dan mendekati dirinya.

"Dia pasti tampan dan baik. Tentu saja pria tua itu ingin menikahkan anaknya dengannya." Wanita itu menyisir lembut rambut Barnard yang menutupi sebagian matanya.

"Tampan sekali." Wanita itu duduk terdiam di sebelah Barnard tepat di kursi pria tua tadi. Barnard terlihat tidak tidur selama beberapa hari. Kantung matanya yang menghitam terlihat aneh, namun tidak mengurangi kadar ketampanan manusia di depannya. Wanita itu segera menengok ke arah bengkel milik Barnard yang dipenuhi oleh patung.

"Itu aku?" Ia terdiam melangkah perlahan menatap patung di pojok kanan ruangan. Itu dirinya yang tengah berdiri sembari memegang gaun di pinggangnya. Ia kagum melihat patung yang telah dibuat Barnard.

"Dewi?! Kau di mana?" Wanita itu terkejut saat sahabatnya memanggil namanya. Dia pasti mencarinya sejak tadi.

"Aku ingin sekali membangunkannya, tapi sepertinya aku harus segera pergi dari sini." Dewi itu segera menghilang dari sana. Namun tidak membuat Barnard sadar akan kehadirannya karena tidurnya yang pulas hingga beberapa jam ke depan.

Wangi lembut dewi itu tercium saat Barnard terbangun nanti. Sesuatu hal yang tak pernah ia sadari sampai saat ini bahwa segala hal yang tidak mungkin untuknya bisa terjadi begitu saja.

⋇⋆✦⋆⋇ 









Chasing Love PathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang