Mereka bilang bandara adalah salah satu tempat dimana tangis air mata selalu tumpah. Aku pikir aku menyetujuinya, karena aku pun mengalaminya. Satu tahun yang lalu kuputuskan untuk melangkahkan kakiku menuju bandara, meninggalkan kenangan yang tersimpan dengan apik di setiap sudut kota.
Pun aku meninggalkannya, dia yang terbaring sendiri. Enggan untuk bangun kembali. Jangan pernah menuduhku untuk tidak membangunkannya, karena aku sudah melakukannya. Dia yang tak ingin mendengarkanku, dan dengan keras kepalanya mengabaikanku. Dia yang memilih terbaring, sendirian, tidak ditemani siapapun.
Itu kejadian tahun lalu, tidak usah kembali dipikirkan, kataku kala kenangan itu tetap menghantui walau aku sudah menginjak kota orang.
Aku putuskan untuk pergi jauh, dengan alasan menuntut ilmu. Syukurnya ibu mengijinkanku dan melepaskanku dengan lapang. Sekarang aku berada disini, di salah satu mini market yang tidak jauh dari tempat tinggalku sekarang. Aku mengambil part time untuk menambah uang jajanku ditengah kesibukan kuliah. Dan saat ini aku kedapatan shift malam.
Setelah kupastikan semua pekerjaan sudah dilakukan dengan sangat baik, aku menutup pintu dibantu oleh rekanku. Dia berpamitan kala semua sudah selesai dan pacarnya yang menjemput sudah menunggu sejak 15 menit yang lalu.
"Aku pulang ya, Disa. Hati-hati kamu, ini sudah larut banget loh."
Aku tersenyum menanggapinya dan mulai kulangkahkan kakiku menjauhi minimarket untuk segera pulang. Ku perhatikan jam yang melingkar dengan di pergelangan tangan, benar kata Vina ini sudah terlalu larut, jam sudah menunjukkan pukul 11.00.
Ini kali pertamaku mendapatkan shift malam seperti ini, aku jadi sedikit takut. Masalahnya, akhir-akhir ini begitu banyak beredar geng-geng motor yang meresahkan warga sekitar. Untuk ukuran seorang wanita umur 19 tahun tentu aku ketakutan untuk pulang di jam segini.
Dan sesuai dugaanku, salah satu geng motor yang aku tidak tahu siapa namanya menghampiriku. Mereka banyak sekali! Dan memaksaku untuk ikut dengan mereka. Orang gila! Manusia normal mana yang mau ikut dengan kumpulan orang konyol seperti mereka? Menjalani hidup yang tidak berguna dengan menakuti warga sekitar.
"Darimana aja dek baru pulang jam segini? Ayo abang-abang antar pulang." Kata salah satu dari mereka yang memiliki rambut gondrong. Jijik sekali. Ketahuilah meskipun aku hanya terdiam tidak menanggapi mereka, dalam hati aku sudah mengumpat dan merapal doa secara terus-menerus.
Tapi diamku tidak berlangsung lama saat salah satu dari mereka dengan lancang memegang wajahku. Reflekku bermain, aku menampar orang yang memegang wajahku. Aku tahu ini bodoh, aku wanita dan sendirian sementara mereka banyak sekali dan aku tidak sempat menghitungnya, keburu ketakutan.
Mereka marah? Jelas. Tapi aku tidak merasakan apapun yang menyakitkan selain lenganku yang ditarik dengan lembut untuk berlari. Dia yang memiliki sosok yang tinggi dan jangkung dengan jaket denim yang menutupi kulit putihnya. Apa hatiku semudah ini untuk berpaling? Tentu tidak, tak ada yang bisa menggantikan posisi Angga.
Aku kaget dan hanya terdiam kala dia memberikan helm untuk dikenakan. Tapi karena respon lambatku, dia yang memasang sendiri ke kepalaku dan dengan suara berat yang tadi menyihirku, "naiklah, sebelum mereka bisa mengejar."
Dan tidak tahu mengapa aku mempercayai malamku sepenuhnya pada dia, sosok yang belum aku kenali sama sekali. Hanya karena aku yang terpesona oleh suara serak-basah khas miliknya. Dan harapan akan ada malam-malam yang sama dimana aku bisa menemuinya itu muncul begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
BumantaraKu
Teen FictionKepada sang dewa cinta aku menitipkan rasa yang selalu siap untuk berlayar. Lelah rasanya kala bertahun diri ini hanya menunggu di pelabuhan tanpa ada seorang nahkoda pun yang menyuruh untuk memasuki kapalnya.