18. Tertimbun Luka

68 12 0
                                    

“Pak, kumohon. Temanku hilang, kami butuh kepolisian untuk mencarinya!”

Cika sejak tadi memelas, meminta bantuan pada nomor kepolisian yang dihubunginya. Saat panggilan terputus, membuatnya memekik kesal.

“Bagaimana? Mereka mau mencari Yuna?” tanya Laura penasaran.

Kepala Cika menggeleng lemah, duduk di atas sofa. “Mereka tidak mau melakukan pencarian sebelum dua puluh empat jam,” ungkapnya menatap kosong kecewa.

Laura meneguk ludah, menunduk dengan perasaan kacau. "Semoga saja Yuna tidak diculik."

Suara langkah langsung membuyarkan pikiran Laura yang kacau, langsung melempar pandangan pada sosok yang baru muncul dengan tatapan polosnya.

“Siapa yang hilang, kenapa melapor ke polisi?” tanyanya linglung.

Akhirnya Laura bernapas lega. Sosok yang dicari telah muncul batang hidungnya. Cika langsung memeluk Yuna, membuat yang dipeluk mengernyit kebingungan.

“Sesak, Cika,” lirih Yuna terimpit.

“Kami baru saja melaporkan kasus orang hilang, kenapa kau tidak pulang sejak semalam, juga tanpa kabar?” tukas Laura tidak habis pikir.

Akhirnya Yuna bisa terbebas dari pelukan Cika, tampak Cika berbalik untuk menghapus air matanya.

“Itu, maaf. Aku berada di restoran pamanku, dia ada diskon roti besar-besaran, jadi Aku datang untuk membantunya saking banyaknya pelanggan.”

Tampak ada yang salah dengan perkataan Yuna. Dia agak terbata.

“Yak! Kau tidak mengajak kami! Sekarang mana rotinya, apalagi sudah membuat kami khawatir. Kau tahu, tidurku tidak nyenyak karena kamu belum pulang,” ungkap Cika cemberut.

“Tunggu!” Yuna menuju pintu masuk, lalu kembali membawa dua buah keresek besar. Ia mengeluarkan empat kotak roti, tiap kotak berisi beberapa jenis roti yang berlainan.

Bibir Laura tertarik ke atas, air liurnya terasa ingin jatuh.

Cika langsung merampas satu kotak, membukanya lalu memasukkan potongan roti ke dalam mulutnya.

“Laura, makanlah. Ini enak,” tawar Yuna tersenyum.

Laura mengangguk samar, mengambil potongan roti lalu memakannya. Itu roti bentuk hati, tapi melihat bentuknya membuatnya langsung teringat dengan roti yang didekorasi indah, dengan coklat dan karamel. Hingga dadanya mulai terasa sesak mengingat tulisan dengan krim merah.

You are my destiny “

Laura bergumam samar, membayangkan tampilan roti yang pernah dihidangkan Alfa kepadanya. Sukses membuat darahnya berdesir.

***

Sahra memekik keras saat pintu dihempas kuat oleh lelaki yang baru saja keluar. Semakin membuat kekesalannya menjadi-jadi.

Prang!

Ia melempar gelas kaca bekas anggur merah, lalu menatap hina pada keping kaca yang berserakan. Tangannya terkepal, dengan napasnya menggebu-gebu.

Zela mendekat, tersenyum simpul.

“Lihat, dia berani memarahimu karena merampas barang-barangnya. Apa itu pantas sebagai kepercayaan,” decitnya memanasi.

Pundak Sahra semakin naik turun, matanya memerah. “Sepertinya Aku memberinya pelajaran, tingkahnya sudah membuatku muak akhir-akhir ini,” pungkasnya.

Zela menghela, duduk di atas sofa. Menuangkan anggur merah di gelas kosong lainnya, meneguknya dengan satu tegukan. “Jangan ceroboh lagi, bagaimana bisa peluru itu mengenai seorang mahasiswa lain yang kau kira sebagai Laura. Beruntung tidak ada yang melihatmu memegang pistol.” Ia mendesis meremehkan.

Wound BoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang