16. Jejak Alasan

78 17 0
                                    

Beberapa orang berpakaian medis tersenyum simpul ke arah dua orang yang menginjakkan kakinya lagi di University of Tokyo Hospital, Rumah sakit tersohor di Jepang. Ternyata sudah banyak perubahan setelah lima tahun yang lalu usai keduanya mempelajari ahli  bedah di sana. Bahkan beberapa unit ruangan spesialis ditambah untuk bisa menampung datangnya pasien.

“Kau berkeliling saja dulu, Aku ingin bertemu temanku,” kata Naya memasukkan tangannya di jas medis.

Alan menyandarkan tubuhnya di tembok, mengamati beberapa orang melintas. “Pergilah, banyak tempat yang ingin kulihat di sini, ternyata sudah banyak yang berubah,” balasnya melipat lengan.

Naya mangut-mangut, bergegas dengan langkah terburu memasuki lift yang baru saja terbuka. Sejenak melambai ke arah Alan dengan alisnya yang terangkat.

Tanpa sadar, Alan menyunggingkan senyum lembut, merasakan suasana hatinya yang mengangat. “Apa yang Aku pikirkan,” cebiknya saat pikirannya berkelana ke hal yang membuatnya malu sendiri.

Alan akhirnya melangkah, menelosori koridor rumah sakit yang menjadi lengang, namun sebuah sosok yang datang dengan langkah tergopoh membuatnya mengernyit. Saking penasarannya, ia mengekori lelaki bermasker hitam dengan hoodie hitam yang dikenakan.

Sebenarnya Alan sendiri penasaran dengan dirinya yang berminat mengikuti lelaki itu, bahkan membawa tungkainya di kawasan bedah forensik.

“Aneh, untuk apa dia memasuki kawasan ini,” pikirnya semakin penasaran.

Alan langsung menyembunyikan tubuhnya di tiang saat seorang perawat wanita keluar dari ruangan. Gestur wajah wanita itu tampak khawatir, bahkan menarik tangan lelaki itu masuk ke dalam.

Semakin merasa ada kejanggalan, Alan berinisiatif menguping. Ia semakin mendekatkan telinganya mendengar bias suara yang ia kenal. Apalagi mereka menggunakan bahasa Indonesia.

“Tidak! Bagaimana bisa kau tidak melakukan autopsi, bahkan aku menyuruhmu membeda tubuh ayahku untuk mengetahui kematiannya!” Suara itu nyalang juga putus asa.

Alis Alan berkedut, detak jantungnya berpacu kuat.

“Itu sulit, Ibumu bersikeras untuk tidak melakukan autopsi, tidak mau merusak tubuh ayahmu,” ungkapnya.

Terdengar suara gelakan hambar. “Ibuku, wanita itu ikut campur lagi. Jelas aku curiga jika dia yang membunuh ayahku.”

“Sudah jelas jika ayahmu mati karena henti jantung!” hardiknya.

Hening, sekarang tidak ada suara dari dalam. Hanya suara kipas angin yang menyala. Hingga suara selop sepatu terdengar samar, lama-kelamaan suaranya semakin jelas.

“Kau memang suka buat drama, Nak. Aku tahu jika kehilangan ayahmu saat bertugas di Jakarta membuatmu begitu naif untuk mencari penyebab kematiannya.”

“Profesor Miu,” bisik Alan meneguk ludah. Ia adalah Direktur forensik dan patologi di rumah sakit ini. Wanita berdarah Jepang-Indo, juga beliau sendiri yang memberikan undangan khusus untuknya ke sini.

“Lalu bagaimana sekarang, kalian membiarkan mayatnya disemayamkan begitu saja? Mengklaim dengan mudah karena akibat henti jantung. Aku tahu betul kondisi ayahku, dia tidak pernah punya riwayat jantung ataupun saraf,” jelasnya. Suaranya mulai memelan.

Wound BoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang