5. Munculnya Rambut Ungu

135 29 1
                                    

Embusan angin menerbangkan rambut Laura yang tergerai, senyumannya begitu syahdu terlihat, dengan rias wajahnya yang tenang.

Laura merasakan sesuatu menempel di rambut, menyentuh rambutnya untuk meraih benda itu. Hanya sebuah daun kering, lalu aku membuangnya ke tanah.

Laura memperbaiki posisi ransel kecil di punggungnya. Melirik kanan-kiri saat melewati penyebrangan jalan.


Berdiri mengamati kendaraan yang melintas. Taksi sepertinya tidak ada yang melintas. Memang daerah ini dikenal sepi, terlalu lama berada di makam membuat Laura harus pulang sore.

Siapa juga yang tidak berlama-lama jika mengunjungi makam pacarnya. Tempat Laura mengadu pada batu nisan yang hanya terpaku di sana. Tidak ada jawaban, hanya desiran angin makam yang berembus pelan. Tapi Laura tahu, di sana Alfa mendengar semua perkataannya.

Mengatupkan bibir kecewa, Laura melirik ponsel yang terdapat dua notifikasi pesan. Ternyata itu dari Aksa lagi, lelaki itu tidak bosan menanyakan kabarnya walau ia tidak pernah meresponsnya.

Terpaksa Laura melangkah melewati trotoar, mungkin semakin jauh ke jalan utama, banyak mobil yang melintas. Walaupun itu angkot, ia tidak risi mengendarai kendaraan ramah dompet itu.

Puk!

Laura berbalik, merasakan seseorang menepuk pundaknya cukup keras.

"Laura? Sudah lama tidak bertemu?" tegur perempuan berambut ungu dengan jaket kulit yang ia kenakan.

Bibirnya merah darah dengan eyeliner yang menonjol di garis matanya.

Laura meneguk ludah, menatap tampilan Sahra yang begitu elegan. Ternyata Ferrary F430 kuning yang melintas pelan ternyata mobilnya. Sungguh melihatnya membuatnya mendadak mati kutu.

"Sahra," lirih Laura sumbang.

Sahra terkirim kecil sambil membungkam mulutnya dengan telapak tangan. Kukunya panjang dicat ungu mengkilap.

"Aku kira kamu sudah mati," katanya beralih memperbaiki tatanan rambut ungunya yang sedikit kusut.

Laura mendesah berat, menatapnya datar. "Aku tidak berhubungan lagi dengan Aksa."

Alis Sahra berkedut. "Bohong, tapi Aksa masih memperhatikanmu. Dia selalu mencegahmu bunuh diri," sindirnya.

Laura menarik napas lemah, sekarang pandanganku kosong. "Aku tidak peduli," katanya melewatinya.

"Yak! Aku tidak menyuruhmu pergi!" timpalnya menarik bahu Laura keras, membuat langkahnya terhenti.

"Ada apa lagi! Kamu seharusnya puas karena membuatku menderita, Aku sudah lelah hidup!" Laura menyemprotinya kekesalannya.

Sahra mengedipkan bahunya acuh. "Lelah ya, bagaimana jika aku membantumu mengakhirinya," decitnya mendorong Laura hingga bahunya menempel di besi lampu jalan. Ia meringis nyeri.

"Jangan macam-macam," dengkus Laura menatapnya tajam.

Sahra mempermainkan bibirnya genit. Hal itu membuat Laura langsung memberontak, tapi tenaganya semakin kuat ia rasakan.

"Bukannya ini yang ingin kau lakukan, agar cepat menyusul Alfa," cetusnya.

Laura terperangah, darahnya berdesir hebat mendengarnya menyebut nama sosok yang begitu sulit ia lupakan.

Wound BoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang