10. Hutan Kota

87 21 1
                                    

Raya sedari tadi berwajah masam saat Dirga menunjukkan video saat festival penerbangan lampion berlangsung. Tampaknya jelas kekecewaan di ekspresi wajahnya.

"Sekarang kau menyesal tidak datang," ledek Dirga. Semakin membuat Raya mendelik.

Laura tersenyum tipis, mengusap pundak Raya. "Nanti tahun berikutnya, kita datang lagi," ujarklnya memenangkannya.

Raya berdecak halus, menatap Laura nanar. "Nanti, kitar pergi berdua saja. Jangan mengajaknya." Ia menunjuk tepat di wajah Dirga.

Dirga langsung tergelak. "Tidak ada tahun depan, mungkin akan dilaksanakan lima tahun lagi," semburnya.

Laura mengernyit. "Kenapa begitu?" tanyanya.

"Ini kan acara untuk memperingati diangkatnya gubernur, kalau dia mencalonkan tahun depan dan menang. Pasti dia melakukannya lagi," ungkap Dirga.

"Yak! Sia-sia aku tidak pergi. Lebih baik aku kabur saja kemarin malam," cicitnya.

Tin tin

Bel universitas langsung menggema, menyita perhatian Laura, semua mahasiswa di tempat ini.

Dirga bergegas. "aku harus pergi, pagi ini materi dosen killer," pamitnya dengan gestur panik.

"Laura, aku ke ruangan sebelah," pamit Raya sebelum ke ruangan bedah jantung. Jujur, Laura penasaran alasan Raya tidak ikut kemarin.

***


Saat jam istirahat berlangsung, Aksa sejak tadi duduk di kursi taman universitas, fokus untuk menyapukan pensil di atas kertas. Mengabaikan sinar matahari yang terik. Alisnya sejak tadi bergerak, dengan sorotan sendu.

Tidak memedulikan beberapa orang yang melintas, ia tetap setia dengan pekerjaannya. Usai tersanjung dengan hasil gambarnya sendiri, membuat bibirnya tertarik ke atas.

Tiba-tiba seseorang mendekat, merampas kertas gambar di genggamannya. Ia langsung mendengkus tidak suka saat pensilnya jatuh di rumput.

"Sini," cetusnya merebut kertas gambarnya kembali, namun Sahra menyembunyikan benda itu di belakangnya. Ia tersenyum simpul.

Sahra mundur, mengamati gambar Aksa. Hingga keningnya berkerut dengan bola matanya bergetar. "Kenapa kau menggambar perempuan ini!" Wajahnya merah padam menatap jijik gambar itu.

"Jangan menganggukku. Enyahlah!" bentak Aksa mengusir.

Sahra tergelak, dadanya naik turun. "Sampai kapan kau selalu menyukainya. Percuma! Dia tidak akan membalas perasaanmu!" teriaknya lantang, menyita perhatian mahasiswa di sekitar.

Aksa menggeleng kuat. "Walaupun Laura menolakku, aku akan setia padanya. Jadi jika kau melukainya seujung jari pun, ada aku yang lebih dulu melindunginya," pungkasnya.

Hati Sahra tertohok. Senyumannya berubah miris. "Gila! Otakmu sudah dicuci olehnya!" sindirnya.

Aksa sejenak menghela. "Hentikan sekarang, berhentilah mengejarku," ketusnya.

Sahra berdecak. "Tidak! Kau hanya untukku, Aksa!" sergahnya. Ia langsung mereka gambar itu lalu dihempaskan ke tanah, menginjaknya dengan rendah.

Aksa tentu kesal, tapi ia berusaha untuk menepis amarahnya. Apalagi menyadari jika dirinya menjadi objek tontonan, tatapan mereka begitu dingin, seolah ia makhluk yang tidak diharapkan hidup.

Berusaha menghirup udara, ia mengabaikan bisikan yang memakinya. Sindiran yang sama, menyuruhnya untuk lenyap.

"Aksa!" panggil Sahra keras, kepalan tangannya terkepal erat.

Wound BoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang