11. Garis Start

56 14 0
                                    

Tempat apa ini?
Itu adalah pertanyaan sekilas di benakku yang langsung terjawab begitu aku melihat versi kecil dari diriku sendiri yang berada di suatu gang. Aku lantas memperhatikan ke sekitarku. Begitulah aku langsung paham bahwa ini adalah mimpi.

Sama seperti waktu itu.

Tapi, kenapa mimpi kali ini jauh berbeda dari sebelumnya? Yang ku lihat sekarang bukanlah sosok Archmage yang terkenal elegan juga berwibawa, melainkan sosokku saat masih berusia sekitar 10 tahun. Lalu apa-apaan penampilanku itu? Kenapa aku dekil banget, sih?!

Oh, setelah di pikir-pikir, itu juga penampilan yang cocok dengan area yang kumuh ini.

"Hoi, mau sampai kapan kau di sana?" Seru seorang pria bertudung yang baru datang dan langsung mengajak anak itu berbicara.

Mendengar dari kata-katanya, sepertinya ini bukan kali pertama ia datang.

"Kau masih gak mau menjawabku? Aku akan memberimu roti yang sama seperti kemarin kalau kau mau bicara."

Tetap tak ada jawaban.

"Aku kasih dua potong kali ini."

Anak itu masih bergeming.

"Oke-oke, kamu, nih, kecil-kecil pinter nawar, yah! Aku kasih sebanyak yang kau mau kalau kau menjawabku."

Pria bertudung itu menggunakan jurus andalan terakhirnya. Nampaknya berhasil karena si anak sampai mendangakkan kepalanya guna berkontak mata dengan pria itu.

"Kalau begitu, aku mau lima potong."

"Setuju! Padahal kau boleh minta lebih banyak kalau kau mau."

"Apa yang ingin kau tanyakan?"

"Namamu. Siapa namamu?"

"Kau memberiku lima potong roti hanya untuk mengetahui namaku?"

"Asal kau tahu aja, yah! Uangku terlalu banyak sampai aku bingung harus ku kemanakan."

"Sayang sekali, aku tak punya nama."

"Eeh? Mana ada orang yang gak punya nama?!"

"Ada, aku."

"Hhaa..." pria itu menghembuskan napas frustasinya. Meski aku hanya bisa melihat punggungnya, tapi aku bisa tahu seberapa kecewanya dia.

"Kau sudah mendapatkan jawabannya, sekarang berikan aku rotinya." Si anak menagih bayarannya tanpa peduli si pria yang lagi depresi akut itu.

"Aku akan memberimu lebih banyak. Ah, tidak! Aku akan memberimu semua yang kau inginkan. Tapi ingatlah satu hal ini, namamu mulai sekarang adalah Cal. Kau mengerti?"

Cal? Itu nama panggilan Cael untuk Callipa, kan? Tunggu! Apa aku berada di mimpi yang sama seperti yang waktu itu? Kalau begitu, apa jangan-jangan yang ku lihat sekarang adalah masa kecil Callipa? Lalu pria bertudung itu.... Cael?

"Kenapa namaku jadi Cal?"

"Karena kau akan jadi Archmage yang menyelamatkan dunia ini nantinya, jadi setidaknya kau harus punya nama."

"Archmage itu apa?"

"Itu adalah gelar tertinggi dari seorang Penyihir. Kau akan mengerti saat sudah lebih dewasa nanti."

"Tolong berikan saja aku rotinya dan enyahlah dari sini. Orang kaya memang suka sekali mempermainkan orang-orang seperti kami, yah!"

"Hoi, bocah! Aku ini lagi menawarkan masa depan yang lebih cerah padamu, lho! Kalau kau ikut denganku, aku jamin kehidupanmu akan lebih baik dari pada di selokan seperti ini."

"Aku tidak tertarik. Lupakan saja rotinya, sana pergi."

"Namaku Cael. Aku akan datang lagi besok jadi pastikan untuk mengingatku, yah! Dah~"

Pria itu beneran Cael, rupanya. Tapi kalau ini adalah mimpi masa kecilnya Callipa, kenapa sosok Cael masih sama seperti yang ku lihat di mimpi sebelumnya? Apa dia tak bisa menua?

Saat itu aku masih sibuk berpikir sampai-sampai tak sadar kalau hari sudah berganti. Aku masih di tempat yang sama, begitu pula dengan Callipa kecil yang masih di dalam gang gelap itu. Selang beberapa lama, sosok Cael datang lagi, persis seperti yang ia katakan.

"Nih, aku bawain roti yang ku janjikan kemarin." Katanya sembari meletakkan bungkusan roti di depan Callipa.

"Mau apa lagi kesini?"

"Aku ini orang yang pantang menyerah, tahu!"

"Pergilah, aku terlalu lelah untuk menanggapimu."

"Maka dari itu, ikutlah denganku. Memangnya kau tak penasaran sudah seperti apa dunia di luar sana?"

"Dunia yang ku tahu cuma gang sempit ini, dari ujung sana sampai ujung sini. Segini saja pun aku sudah kesulitan, untuk apa aku mencari tahu dunia yang lebih luas lagi dari ini?"

"Tapi Cal, roti yang ku bawakan itu cuma ada di dunia luar, lho! Memangnya kau gak mau memakan roti seperti itu setiap hari? Bukan cuma roti itu aja, ada lebih banyak makanan enak yang bisa kau temukan di sana."

"Kalau begitu bawakan saja kesini setiap hari. Aku sanksi sepertinya kau akan terus datang."

"Hmph... kalau begitu, biar ku tanyakan satu hal lagi. Selama kau di sini, hewan apa saja yang sudah pernah kau lihat?"

"Kenapa tiba-tiba menanyakan tentang itu?"

"Jawab aja."

"Tikus got, kucing liar, burung gagak, lalat, yah semacam itu lah."

"Syukurlah karena sepertinya kau belum melihat yang seperti ini---" Cael mengepal satu tangannya, lalu membukanya tepat di depan wajah Callipa. Dari dalam kepalannya tadi, muncul seekor kupu-kupu yang cantik kemudian terbang.

"Woaaa~!!!"

Callipa tanpa sadar telah di buat terpesona oleh kupu-kupu tadi. Arah pandangnya pun seperti tersihir karena bergerak begitu saja mengikuti kemana kupu-kupu tadi terbang. Selama itulah ia terus ter-wah-wah takjub.

Tak sampai di sana, tubuhnya juga bergerak sendiri untuk bangkit lalu melompat-lompat dengan tangan yang terangkat ingin menggapai kupu-kupu itu. Namun saat kupu-kupu itu terbang keluar gang, Callipa sontak berhenti mengikuti. Kakinya berhenti tepat ketika hanya tinggal beberapa senti dari cahaya.

"Kenapa berhenti?" Tanya Cael.

"Karena di luar gang ini terlalu terang."

"Tentu saja. Karena ini pagi hari yang cerah."

Cael kemudian berjalan keluar gang dan berdiri tepat di hadapan Callipa yang masih berada di sisi yang gelap. Di antara mereka sekarang seperti ada garis pembatas yang memisahkan antara area yang bercahaya dan area yang kelam.

"Ayo, kemarilah! Bukankah kau mau mengejar kupu-kupu itu?"

Cael pun mengulurkan tangannya. Tapi hingga beberapa jeda hening ke depan, Callipa masih tak bergerak untuk menyambutnya.

"Aku akan tunjukkan yang lebih indah dari kupu-kupu tadi. Untuk itu, kau hanya perlu meraih uluran tangan ini. Sangat sederhana, kan? Cal."

Callipa masih bergeming. Tapi kali ini dia tak bisa pungkiri bahwa tangan yang mengulur padanya itu memang sangat menggoda. Pada akhirnya, setelah melalui pergulatan panjang dalam dirinya, Callipa, untuk pertama kalinya, keluar menuju cahaya.

"Kerja bagus. Selamat untuk cahaya matahari pertamamu, Cal." Ucap Cael beriringan dengan senyum tulusnya.

Entah sejak kapan aku menangis. Tahu-tahu aku mendapati ada dua jalur basah di kedua pipiku. Sepertinya aku tak pernah tak emosional kalau bermimpi tentang kehidupan masa laluku. Waktu itupun aku juga menangis seperti ini.

Tapi omong-omong, kenapa, yah, aku balik ke mimpi ini lagi? Terlebih, aku di tunjukkan awal dari segalanya. Padahal Cael sudah segitu baik dan tulusnya pada Callipa. Dia yang menarik Callipa keluar dari kegelapan.

Lalu kenapa setelah menjadi Archmage, Callipa membunuhnya?

Ini jadi seperti garis start yang belum ada akhir hingga masih terhubung dengan hidupku sebagai Calliope.

When The Sun Goes Down (DEMON SLAYER FANFIC)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang