2. Gelangga

257 48 12
                                    

Memangnya lirih, bersama diam yang semakin lama terasa perih. Ingin berlari walau terlatih, tetapi sudah terlanjur nyaman pada posisi pengagum rahasia meski tahu itu perih.

"Janest, ada Kak Gege!" Suara itu sukses membuat Janest langsung menutup novelnya dan celingukan mencari keberadaan pemuda yang namanya baru saja disebut oleh Juan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Janest, ada Kak Gege!" Suara itu sukses membuat Janest langsung menutup novelnya dan celingukan mencari keberadaan pemuda yang namanya baru saja disebut oleh Juan. Tetapi, hasilnya nihil. Tidak ada Gelangga disana. Hanya ada beberapa anak yang sedang memarkirkan kendaraannya sebelum memasuki lobby sekolah.

Janest berdecak. Kesal karena ternyata dirinya hanya menjadi korban kajahilan sahabatnya. "Ju, kenapa sih, nggak berubah sistem jahilnya? Pasti bawa-bawa Kak Gege, deh," rutuk Janest dengan menatap Juan geram.

Juan justru hanya tersenyum tak berdosa. "Ya habisnya lo, kalau soal Kak Gege aja cepetnya nggak ada obat. Pas gue panggil tadi, nggak ada respon."

"Emang lo manggil gue, ya?" Tanyanya bingung.

Juan memukul tangan Janest dengan paper bag yang berisikan seragamnya. Sekarang ini, mereka sedang berada di pos satpam. Juan memang meminta tolong Janest untuk menemaninya menunggu driver ojek online yang ia pesan untuk mengantarkan seragam sekolahnya yang tertinggal. Laki-laki itu lupa memasukan seragam olahraganya ke dalam tas.

"Duh, kok gue dipukul, sih?" Protes Janest.

"Gue tuh dari tadi manggil-manggil ya, Janesta! Lo nya diem aja malah asik baca novel. Kalau udah ketemu novel, dunia asik serasa cuma punya lo, yang lain mah ngontrak. Giliran nama Kak Gege disebut aja, langsung tuh ndongak. Cih," sewot Juan sembari merotasikan bola matanya malas.

Dalam hati, Janest membenarkan ucapan Juan. Bagi Janest, membaca novel memang seasik itu. Ia sering lupa segalanya ketika sudah bertemu dengan tumpukan novelnya. Tetapi, pengecualian dengan Gelangga.

Seasik apapun ia dengan novelnya, telinganya akan peka, dan responnya sigap kapanpun saat nama Gelangga disebut. Karena memandang Gelangga, nyatanya lebih asik dari membaca novel.

"Tuh, kan, ngelamun lagi. Ayo dah Nest, buruan ke kelas. Bentar lagi bel masuk, kita belum ganti baju olahraga juga," tegur Juan sembari merangkul bahu Janest.

"Ya kan belum ganti baju olahraga karna nunggu lo dulu, Juan! Pikun, nggak bawa seragam olahraga. Prihatin gue. Kasian, mana masih muda," cibir Janest yang mulai melangkahkan kakinya. Secara otomatis Juan pun mengikuti, mengingat ia sedang merangkul Janest.

Juan terkekeh, "Ya gimana dong? Namanya juga lupa. Untung ini baju udah kering, kalau belum kering gimana coba?" Gerutu Juan.

"Ya nggak gimana-gimana. Lo nggak boleh ikut pelajaran olahraga dan dihitung nggak hadir. Nggak papa, Ju, tinggal ke kantin aja kalau gitu," sahut Janest sembari terkikik melihat wajah muram Juan.

"Janest mah sesat ngajarinnya. Masa Juan yang rajin ini disuruh bolos?" Gerutu Juan.

Janest menoyor kepala Juan gemas. "Halah, rajin apanya. Rajin bikin emosi, sih, iya! Lagian, yang kenalin gua ke dunia perbolosan itu lo ya, Juan! Pas SMP, inget nggak? Pamitnya ke kamar mandi, tapi nggak balik dua jam pelajaran."

Ambivalen {Sungjake}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang