Temu tanpa rencana dan percakapan sederhana. Sesederhana itu arti bahagia.
Hari Sabtu. Hari yang tenang untuk Janest bergulat dengan selimut dan menyelami alam mimpi lebih lama. Mamanya ada arisan bersama teman-temannya. Sedangkan sang Papa sudah berangkat kerja. Laki-laki itu belum beranjak dari tempat tidur meski matahari sudah beranjak naik.
"Mas Janest, itu di bawah ada yang cari!" Suara dari pembantunya tidak mendapat respon apapun dari Janest. Laki-laki itu hanya menggeliat dan memeluk guling erat. Suara ketukan pintu kini sudah terdengar tidak bersahabat untuk terus membangunkan anak dari majikannya tersebut.
"Mas Janest," panggil Bibi sekali lagi.
"Janest masih ngantuk, Bi. Bibi temuin aja," jawab Janest dengan suara yang sedikit serak. Janest benar-benar masih mengantuk, hingga untuk membuka mata saja rasanya enggan.
"Tapi—" Ucapan Bibi terpotong dengan suara dari luar.
"PERMISI, PAKET!" Janest langsung membelalakkan mata dan bangkit duduk dari tidurnya. Laki-laki berpiyama pororo itu lari ke arah jendela. Mendapati seorang pemuda yang masih menggunakan helm tampak menekan-nekan bel rumah Janest.
Ah, ya. Janest baru ingat ia memesan sepatu di online shop milik Gelangga. Dengan tergesa laki-laki itu berlari membuka lemarinya. Mengambil asal baju yang ada di sana lalu segera menuju kamar mandi. la hanya membasuh wajah, gosok gigi kilat, lalu mengganti bajunya. Ternyata yang ia ambil kali ini adalah training berwarna hijau dengan dua garis memanjang berwarna putih pada bagian saku ke bawah, dan kaos berwarna merah.
"Buset ini warna nabrak banget, sih," rutuk Janest saat melihat tampilan dirinya di cermin.
"Mas Janest, mas paketnya teriak lagi, tuh. Ini masakan Bibi hampir gosong. Mas!" Teriak Bibi dari arah dapur.
Janest mengembuskan napas pelan. Toh yang mengantar bukan Gelangga, untuk apa harus berpenampilan rapih? Janest mengambil dompetnya yang tergeletak di meja, lalu melangkah turun.
Rumah sebesar ini sepi. Hanya ada dirinya dan asisten rumah tangga yang pulang pukul lima nanti. Janest membuka pintu rumahnya, lalu berlari menuju gerbang. Laki-laki itu tampak kesusahan mendorong gerbang. Pemuda yang mengantar paket pun mengerti, ikut membantu Janest mendorong gerbang dengan helm yang masih bertengger di kepalanya.
"Maaf, Mas, nunggu lama," cakap Janest dengan mengulas senyum dan merapikan rambutnya yang masih berantakan.
Pengantar paket itu menuju motornya. Membuka helm dan menaruhnya ke atas jok motor. Lalu mengambil plastik putih yang sudah ada di atas jok motor. Sedangkan Janest masih mengamati baju merahnya yang nabrak dengan training hijau. Ditambah sekarang ia mengenakan sandal biru miliknya. Janest geli sendiri melihat dirinya seperti cosplay pelangi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ambivalen {Sungjake}
Novela JuvenilDalam hidupnya, hari dimana ia mendapat kenangan bahagia bersama Gelangga, adalah hari yang paling menyenangkan. Walau potongan memori itu sudah tidak tersisa lagi pada Gelangga, Janest tetap menjaganya baik-baik dalam ingatan. Tidak dibiarkan siapa...