BAB 6

2 2 0
                                    

Pagi ini dingin sekali. Aku membuka kedua mataku dengan berat, rasanya kotoran-kotoran berukuran besar mengganjal sekeliling mataku. Walaupun otakku menyuruhku untuk bangun dari tempat tidur, tetapi tidak dengan tubuhku. Rasanya sulit sekali untuk menyingkirkan kain selimut yang telah membuatku tubuhku sedikit terasa lebih hangat.

Mendengar suara gemuruh hujan di waktu seperti ini, aku langsung mencari ponselku karena aku ingin tahu jam berapa sekarang. Ketika aku membuka layar, ternyata sudah menunjukkan pukul 7.30 pagi. Namun, saat aku melihat dari kaca ventilasi, langitnya masih terlihat gelap seperti jam lima pagi di hari cerah seperti biasa. Aku kembali lihat di layar ponsel kalau suhu kota Palembang untuk saat ini 20 derajat celcius dengan perkiraan cuaca hujan lebat.

Pantas saja hari ini terasa sangat dingin. Suhu seperti ini sudah hampir mirip dengan suhu AC di kelasku. Lagipula, sepertinya baru hari ini suhu terdingin dalam dua minggu terakhir semenjak hujan kali pertama di musim kemarau di hari itu.

Tok tok tok! Aku mendengar suara pintu kamarku diketuk tiga kali dari luar. Berjeda sedikit, aku bisa mendengar seruan suara perempuan.

"Bahran! Apa kau sudah bangun?"

"Ada apa?"

"Cepat keluar kalau sudah bangun. Nenek memanggilmu di ruang tamu."

Setelah itu tak ada lagi suara. Sepertinya Jingga sudah pergi dari depan kamarku. Lantas, dengan gontai aku bangun dari tempat tidurku lalu sedikit meregangkan tubuhku sebelum berjalan membuka pintu dan keluar dari kamarku.

Aku sedikit mengucek-ucek kedua mataku dan menguap sembari menuju ke ruang tamu untuk menemui Nenek seperti yang dikatakan. Mataku memicing memastikan kalau Nenek yang sedang duduk di kursi tamu dengan secangkir teh panas di atas meja sambil melihat ke arah luar teras menikmati pemandangan hujan mengalir turun dari atap dan jatuh di atas tanah dalam pot tanaman. Aku juga jadi ikut melihat apa yang Nenek lihat dengan lekat sehingga aku merasa hujannya bergerak lamban dan begitu jatuh aku bisa melihat rintik itu langsung terpecah menjadi bulir-bulir.

###

Sekarang hujannya sudah tidak terlalu deras seperti sebelumnya. Hanya hujan gerimis deras. Nenek tadi memanggilku ke ruang tamu tadi karena ingin memintaku untuk membeli gula dan juga balsem di warung saat hujan sedikit mereda. Oleh karena itu, aku sekarang baru pulang ke rumah dengan mengendarai motor milikku. Walaupun warungnya cukup dekat dengan berjalan kaki, akan tetapi aku teringat kalau di sekitar sana daerah yang rawan banjir apalagi hujan deras seperti ini. Saat aku kesana, tebakanku benar. Genangan airnya sudah mencapai di atas mata kaki sedikit.

Setelah menempatkan motorku di teras samping rumah, aku membawa kantong belanjaan yang berisi gula langsung kutaruh di dapur. Sedangkan, balsem langsung saja kuberikan pada Nenek di atas meja. Nenek mengucapkan terima kasih kemudian nenek langsung mengambil balsem tersebut dan membukanya.

Semenjak akhir-akhir ini, hujan terus turun tanpa jeda satu hari pun, membuat persendian tangan dan kakinya sakit karena penyakit Rematiknya kambuh. Terkadang, hanya dengan diolesi balsem atau sejenisnya masih tidak cukup mempan sehingga nenek harus meminum obat anti nyeri sendi yang ada di apotek.

Melihat tangan keriput nenek yang memijit-mijit lututnya dengan gerakan lembut sekaligus lamban, membuatku berinisiatif untuk membantunya karena kupikir tangannya juga pasti nyeri.

"Sini, Nek. Bahran bantu pijit badan Nenek. Di bagian mana yang sakit?" kataku dengan mengambil balsem.

"Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot pijitin badan Nenek. Nenek sendiri bisa, kok." Meski berkata seperti itu, aku tidak bisa membiarkan nenek melakukannya sendiri.

"Tidak apa-apa kok, Nek."

"Jingga juga! Jingga mau bantu juga, boleh?"

Entah habis dari mana saja anak itu, kehadirannya yang tiba-tiba muncul dari balik kursi yang nenek duduki sekarang membuat kami hampir terperanjat kaget. Jingga masih setia menunggu respon dari nenek dengan wajah yang bersemangat seperti suaranya tadi barusan. Nenek kelihatan bingung. Lalu, nenek melihat aku dan Jingga secara bergiliran sekitar dua kali.

Musi River and LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang