BAB 5

2 2 0
                                    

"Kau sudah siap?"

Aku yang tengah berjongkok di samping tangga menuju pintu masuk pagoda, langsung kudongakkan kepalaku keatas begitu mendengar suara Alvin yang bertanya padaku.

Aku kembali menundukkan kepalaku sambil mataku melihat secarik kertas yang tengah kupegang di tanganku.

"Kau dulu saja. Aku masih belum hapal teksnya," jawabku tanpa melihat kearahnya, masih terpaku dengan kertas.

Bayangan Alvin yang tadinya ada di depanku segera bergerak menjauh perlahan. Aku menghela napas, kemudian aku melepaskan pandanganku dari kertas dan menengadah ke langit biru cerah yang dipenuhi oleh awan tebal dan berlapis membentuk secara horizontal seperti permen kapas putih. Rasanya baru kali ini aku melihat pemandangan langit seperti ini, atau aku yang jarang keluar dan melihat langit?

"Viewers, I am currently on Kemaro Island and you can see behind me a 9-storied pagoda that is standing tall."

Ditengah-tengah Alvin yang sedang meliput, suaranya bisa kudengar dengan jelas walaupun suara angin dan arus gelombang sungai saling bertabrakan ikut meramaikan layaknya latar suara. Aku melihat ke arah asal suara. Disana, Alvin berdiri dan sambil berbicara di depan kamera ponsel yang sedang dipegang oleh Jingga layaknya seorang reporter sungguhan dengan latar pagoda ciri khas Cina yang menjulang tinggi berwarna dominan merah dan kuning dan di kedua sisi tangga terdapat ukiran naga dan patung singa.

"Reporting from Palembang, I'm Alvin. Have a nice day."

Dua kalimat barusan tadi telah menunjukkan kalau Alvin sudah selesai mengambil video. Kini saatnya giliranku. Aku merapikan pakaianku terlebih dahulu sebelum aku berjalan menghampiri mereka dan mengambil video di tempat yang sama seperti Alvin.

"Wah keren! Kau seperti pembawa berita sungguhan!"

"Benarkah? Terima kasih, Jingga."

Apa-apaan ini? Aku akui kalau Alvin memiliki kemampuan Bahasa Inggris yang bisa dikatakan bagus bahkan logatnya hampir menyerupai penutur asli kalau berbicara. Tetapi, aku juga merasa tidak kalah bagus, kok. Akan kubuktikan setelah ini.

Omong-omong, aku bingung, kenapa aku jadi kesal sendiri daritadi? Bodoh amat, ah! Lagipula, kenapa juga tiba-tiba atmosfer diantara mereka ada bunga-bunga merah muda bermekaran? Padahal pohon pun tidak ada satupun di dekat sini apalagi bunga yang jatuh.

"Ayo, aku sudah siap!"

Aku menyerahkan ponsel milikku ke Alvin dan aku mengatur napasku sebelum aba-aba untuk merekam dimulai.

"SEMANGAT SAYANG!"

Teriakan Jingga membuat semua orang yang berada di sekitar kami sontak menoleh dan di antara beberapanya ada yang berusaha menahan suara cekikikan mereka sambil berbisik dengan orang di sebelah mereka. Aku benar-benar malu setengah mati saat itu juga setelah melihat respon di sekeliling, namun aku berusaha untuk tak bergeming agar orang-orang berpikir kalau kata-kata itu bukan ditujukan kepadaku.

###

"HAHAHA... HA... HA... Aduh.... perutku keram gara-gara lihat ini," kata Jingga dengan napas ngos-ngosan seperti orang yang habis dari lari maraton satu kilometer. Sorot matanya masih fokus dengan layar ponsel miliknya yang dia pegang di tangan kanannya dan tangan lainnya memegang perutnya menahan kelelahan akibat tertawa.

Asal kalian tahu, Jingga sudah tertawa terbahak-bahak seperti itu selama 15 menit. Itupun belum termasuk, dia tertawa di sepanjang perjalanan pulang setelah dari Pulau Kemaro yang membuatku harus banyak-banyak bersabar dan pasrah. Aku merasa apa yang dia tertawakan daritadi sebenarnya tidak lucu. Dasar saja, selera rumor dia rendah.

Musi River and LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang