BAB 4

3 2 0
                                    

Kata orang kalau orang itu menguap, tandanya dia belum mandi atau tidak mencuci mukanya saat baru bangun. Namun, kalimat itu tidak berguna di diriku. Buktinya sekarang, aku menguap lebar sampai-sampai keluar setitik air dari ujung mataku. Padahal aku sudah mandi dan cuci muka, sampai mataku perih akibat kebanyakan busanya dan tidak bersih saat membilas wajahku tadi.

Aku mendongak melihat jam yang terpasang di dinding ruang tamu menunujukkan pukul 6.50 pagi. Aku panik lalu menggerutu sendiri sambil membuka ponselku, hendak mengirim pesan ke Alvin karena ada waktu sepuluh menit lagi sebelum jam perkuliahan dimulai. Tidak biasanya dia telat seperti ini, paling tidak biasanya dia tiba di depan rumahku sekitar pukul 6.45.

Baru saja saat aku hendak berinisiatif untuk menelponnya, suara klakson motor berbunyi di depan pagar rumahku. Tanpa aku memeriksa siapa itu, karena aku sudah kenal dengan bunyi klakson motornya, langsung saja aku berpamitan dengan nenekku dan segera menaiki motorku.

Akan tetapi, saat aku sudah duduk di atas jok motorku dan menyalakan mesin motorku, aku merasakan jok belakangku berguncang kemudian disusul dengan beban berat.

"Jingga!" teriakku begitu menoleh ke belakang, sedangkan dia hanya mencengir tanpa beban.

"Cepat turun! Aku mau ke kampus sekarang. Udah telat, nih!" seruku dengan lantang.

"Tidak mau! Aku bosan disini, aku mau ikut."

"Tidak boleh! Sangat merepotkan kalau kau ikut ke kampus. Kita juga tidak tahu kalau kau nanti bisa saja membuat onar disana."

"Aku janji! Aku janji tidak akan membuat keributan dan tetap duduk manis menunggu, oke?"

Pupil mata hitam jernih berkilauan miliknya melebar dan menatap intens ke arahku dengan tatapan merengek dan memohon padaku seperti kucing kecil yang sedang meminta kepada majikannya. Oh iya, dia kan ikan, bukan kucing. Kenapa aku bisa samakan dia dengan Kuro yang benar-benar kucing tulen.

Aku menghela napas. Kemudian, aku melihat Alvin yang berada di depanku dengan motornya hanya mengendikkan bahu kepadaku awalnya, lalu ia memberi isyarat melalui wajahnya menyuruhku untuk membiarkan Jingga ikut. Aku pikir ya sudahlah, aku mengalah saja kali ini. Daripada terus membuang-buang waktu dan akhirnya benaran telat, alhasil aku menyetujui dan menyuruh Jingga untuk duduk diam di belakangku selama di perjalanan. Setelah aku memeriksa semuanya sudah siap dan merasa tidak ada yang ketinggalan, aku menjalankan motorku hingga menjauh dari rumah secara perlahan.

Jalanan cukup ramai seperti pagi biasanya, namun tidak sampai macet hingga kendaraan bertumpuk memanjang hingga beberapa kilometer. Sekitar 10 menit berlalu, setelah melewati perempatan lampu lalu lintas dan berbelok menuju jalan perkomplekan kampus, akhirnya kami sudah sampai di kampus. Sekitar 100 meter dari pos satpam, tepatnya di belakang gedung jurusanku adalah tempat parkir untuk mahasiswa dari seluruh jurusan. Disitulah tempat aku memarkirkan kendaraanku sekarang.

Aku melepaskan helm, dan begitu juga jaketku lalu kumasukkan ke dalam jok. Sedangkan helm yang dipakai Jingga kutaruh begitu saja di salah satu kaca spion motor. Aku menyampirkan salah satu tali tas ransel hitamku di bahu, kemudian aku berbalik badan menghadap Jingga dengan kedua alis mataku bertaut.

"Duduk disana dan tetap diam sampai aku keluar dari gedung," kataku sambil telunjukku mengarah ke sebuah gazebo kecil yang ada di sisi parkir.

Sekarang, aku kelihatan seperti sedang menyuruh anak kecil agar tidak nakal dan berkeliaran kemana-mana

"Hah? Aku nggak boleh masuk ke dalam kelasmu?"

"Iyalah! Masuk ke dalam gedung saja tidak boleh, apalagi masuk ke kelas. Jika kau masih tetap memaksa untuk masuk, satpam akan menggeretmu keluar."

Musi River and LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang