BAB 9

2 2 0
                                    

Aku membuka mataku spontan. Jantungku berdegup kencang disertai dengan peluh keringat yang membanjiri pelipisku. Aku bangun dari posisi tidurku. Hal yang kutemukan disini sekarang adalah diriku sedang berbaring dengan beralaskan terpal plastik. Aku memutari kepalaku melihat sekeliling dan samar-samar aku bisa mendengar suara dari petugas Basarnas yang sibuk mengarahkan untuk menempatkan para pengungsi dan juga suara pilu dari pengungsi itu sendiri. Barulah aku tahu kalau aku sekarang berada di tenda pengungsian dan aku ditempatkan di tenda yang berukuran cukup kecil sehingga tidak ada satu seorangpun disini.

Hal yang kubingungkan saat ini ialah mengapa aku sendirian di tenda ini?

"Kau sudah bangun?" Aku mendongak ke depan menuruti asal suara. Di depanku, tiba-tiba ada seorang wanita berpakaian kebaya putih berdiri menatapku dengan penuh selidik sambil melipatkan tangannya di depan dada.

Sejujurnya, jantungku rasanya seperti ingin melompat dari tempatnya dan hampir berteriak memberitahu orang diluar kalau disini ada hantu. Padahal, aku sudah memastikan saat aku menoleh kiri dan kanan tidak ada siapapun disini sebelumnya. Aku menjadi bertanya-tanya kapan dan bagaimana dia bisa masuk tanpa sepengetahuanku. Lalu, mengapa dia berpakaian kebaya seperti itu? Apakah dia baru saja menghadiri acara pernikahan? Tetapi, kan tidak mungkin orang mengadakan pesta di saat sedang bencana.

Ya sudahlah, tidak usah terlalu kupikirkan. Soalnya, akhir-akhir ini aku sudah banyak mengalami hal-hal yang diluar nalar dan aku malah menjadi menunggu kejutan apalagi yang akan dihadapi olehku.

"Bagaimana aku bisa disini...?" tanyaku dengan pelan. Lalu, aku memegang kepala belakangku yang masih terasa nyeri.

"Sepertinya kau mengalami mimpi yang panjang, ya sampai-sampai kau tertidur seharian penuh. Percayalah. Apa yang kau mimpikan sebelumnya adalah sungguhan. Itu adalah kejadian di masa lalu saat kau dan Jingga bertemu pertama kalinya dan juga di saat kau hampir tenggelam di sungai 15 tahun yang lalu."

Aku mendelik, "Siapa kau?"

Ekspresi yang kudapat darinya hanya sebuah decihan, walaupun pada akhirnya pertanyaanku tetap dijawab olehnya dengan sepele. "Aku hanyalah makhluk yang suka membantu. Sepertinya orang-orang sekarang biasanya menyebutnya peri. Ya, begitulah denganku. Kau bisa menganggapku peri."

Omong-omong, mengenai Jingga, aku baru ingat dan sadar kalau Jingga tidak ada di sekitarku bahkan datang ke tenda ini untuk mencariku, apakah aku sudah bangun atau belum seperti yang dia lakukan setiap pagi di depan pintu kamarku.

"Jingga! Dimana dia?" Aku melonjak bangun dan berjalan ke depan sampai kakiku berhenti berhadapan dengan wanita peri tersebut. Akan tetapi, setelah kutatap lamat raut wajahnya dengan sorot tajam dariku, aku tahu kalau dia sedang menyembunyikan sesuatu.

"Kenapa kau diam saja?"

Mungkin karena aku terus menodongkan tatapan tajam yang terkesan untuk mengancam membuat dia semakin kebingungan dan ekor matanya sengaja dialihkan untuk melihat sisinya. Pada akhirnya, ia menghela napas sebelum mengatakan sebenarnya, "Kenapa kau mencarinya? Bukankah kau sudah tidak mau menemui dia lagi? Dasar labil!"

Kemudian, wanita itu melanjutkan kembali, "Dia dibawa pergi oleh orang-orang pemerintah dan aku juga tidak tahu apa yang mereka lakukan disana. Lagipula, hari ini Jingga harus meninggalkan kota ini sebelum kota ini menghilang ditelan banjir. Sudah seharusnya kalian tidak bisa bersama. Karena..."

"Kau manusia dan dia ikan."

Kalimat terakhir yang dilafalkannya membuat tubuhku semakin bergetir begitu mendengarnya. Aku tahu kalau kami berbeda. Tapi, tidak bisakah aku bersama dengannya sedikit lebih lama lagi sampai-sampai Tuhan tidak mengizinkan dan membuat alam semesta sedih dan murka?

Musi River and LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang