BAB 8

2 2 0
                                    

Permukaan air sungai mengalir tenang dan pemukiman rumah panggung milik warga yang bertempat tinggal di tepi sungai bermandikan oleh sinar matahari terik dari ufuk barat. Pemandangan itu menjadi indah apabila dilihat dari kejauhan. Ditambah dengan suara-suara dari ibu-ibu yang sedang memisahkan kulit padi dan sekelompok anak yang sedang bermain dengan riang tanpa ada kekhawatiran, membuat suasana itu tampak hidup dan hangat.

"ABANG!"

Seorang anak laki-laki yang tampak masih berusia enam tahun itu langsung berlari kencang setelah keluar dari rumah untuk memanggil kakak laki-lakinya. Orang yang dipanggil pun memutar badannya ke belakang dan terkejut saat adiknya mengejar bahkan sudah berdiri di depannya.

"Abang mau cari ikan? Adek, mau ikut!"

Laki-laki berparas tinggi dan berwajah lembut dan tampan yang dipanggil sebagai abang oleh anak kecil di depannya pun berjongkok untuk menyamakan tingginya. "Tidak boleh. Tunggu abang di rumah saja, ya main sama bibi. Soalnya bahaya kalau kamu ikut abang ke tengah sungai."

Bukannya mengerti dan menurut dengan apa yang dikatakannya, malah adiknya semakin rewel dan memaksa dengan segala cara yang dilakukan agar kakaknya luluh dan membiarkan dirinya ikut seperti memeluk kaki kakaknya bahkan sampai menangis keras sehingga seorang wanita paruh baya buru-buru keluar dan menarik adiknya lalu menggendong agar bisa tenang.

"Pergilah Banar. Jangan khawatir, Bibi yang akan menjaganya." Dia melirik adiknya yang masih menangis walaupun sudah digendong oleh bibi yang merupakan tetangganya. Kemudian, dia izin untuk pergi ke sungai bersama paman yang merupakan suami dari bibi yang menjaga adiknya.

Banar dan adiknya merupakan anak yatim piatu sejak Banar berusia 10 tahun. Kedua orangtua mereka meninggal, namun tidak secara bersamaan. Ibunya meninggal setelah melahirkan adiknya. Sedangkan, ayahnya meninggal berselang tiga bulan setelah kematian ibunya akibat tenggelam saat cuaca ekstrim melanda di kala sedang menangkap ikan. Semenjak itu, mereka berdua diasuh oleh tetangganya yang merupakan pasangan paruh baya. Kebetulan, pasangan tersebut sudah tak bersama anak tunggalnya lagi setelah anaknya pindah ke kota seberang.

Langit yang tadinya berwarna jingga kemerahan, kini menjadi gelap gulita. Dibantu dengan penerangan yang berasal dari api obor, membuat mereka masih bisa melihat dan menyadari kapal mereka memberat di satu sisi dan hampir oleng setelah beberapa jam melemparkan jaring ikan di tengah sungai.

Banar dan paman tersebut segera berlari dan masing-masing meraih salah satu ujung sisi jaring dan menarik dengan sekuat tenaga.

"Satu... dua... tarik!"

Di raut wajah mereka tercermin kalau mereka tidak menyangka dan tak habis berpikir rupanya banyak jenis-jenis ikan sungai yang terperangkap di jaring mereka. Namun, ada suatu hal yang menarik perhatian, khususnya Banar. Dia berjongkok dan tangannya mendekat dan hendak menyentuh ikan berukuran besar dan panjang yang tampak diam.

"Woah... ikan apa ini?" tanyanya dengan penasaran dan wajah penuh kagum.

Banar menoleh ke arah paman tersebut seolah meminta penjelasan. Paman itu ikut berjongkok di sebelahnya dan mulai melihat tubuh ikan berwarna kuning dan sedikit kecokelatan dengan seksama.

"Mirip seperti ikan Tapah yang selalu aku tangkap. Tapi, bagaimana bisa ada yang sebesar ini dan badannya juga berkilau seperti emas," kata paman tersebut dengan penuh heran.

"Baiklah. Ayo kita lepaskan ikan ini."

Mendengar apa yang dikatakan Banr barusan membuat paman itu membelalak dan melayangkan protesannya, "Apa? Kau menyia-nyiakan kesempatan bagus ini, nak. Kesempatan datang hanya satu kali, kau tahu? Jika kita jual, kita bisa membuat satu atau mungkin lebih rumah bangsawan yang mewah."

Musi River and LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang