"Minggato Kabeh!!!"
Suara lantang itu menggema di seluruh penjuru rumah. Aku tersentak. Aku yang kala itu sedang tertidur pulas seketika langsung terjaga. Pusing. Kudengar samar samar suara kedua orang tuaku bersaut sautan. Ah ini terjadi lagi.
Suara barang pecah disana sini. Entah kali ini barang apalagi yang habis dibanting oleh bapakku.
"Tak pateni koe saiki!". Suara nya lebih lantang dari yang tadi.
Kali ini apalagi Ya Allah. Terdengar suara ibuku menangis sambil berkata.
"Pateni kabeh patenono kabeh nyoh nyooh..!!" Katanya sambil menangis sesegukan.
Aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas karena masih setengah sadar. Aku hanya sedikit terjaga tapi setengahnya masih terlelap.
Lagi kudengar ibuku menangis lebih kencang. Dan kini terdengar suara teriakan. Pintu terbuka. Aku berlari melihat apa yang sedang terjadi. Dan sesuatu yang tidak pernah kuduga terjadi. Orang tuaku sedang tarik menarik. Mereka bertengkar kali ini bukan adu mulut tapi sudah menggunakan fisik.
Ibuku diseret oleh bapakku hingga keluar rumah. Aku berlari. Menangis. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Spontan aku langsung memegang tangan ibuku. Tapi mereka terlalu kuat, hingga aku ikut terserat. Aku menangis kencang . Aku berteriak minta tolong. Hingga membangunkan beberapa warga sekitar. Aku berharap ini hanya mimpi. Mimpi buruk yang akan segera berakhir.
Tapi sayang nya ini bukan sebuah mimpi. Kaki dan tangan ku rasanya sakit sekali. Aku terjatuh. Perih. Badanku Rasanya perih sekali. Aku terdiam. Rasanya ingin aku menangis , tapi tidak aku harus kuat. Aku ditarik oleh seseorang. Aku tidak bisa melihat nya dengan jelas karena memang ini sudah sangat larut.
Kurasa sudah banyak para tetangga yabg melerai kejadian ini. Rasanya sedikit lega. Ibuku masih menagis. Dan bapak masih terlihat emosi. Tetapi kami memilih untuk segera masuk. Aku digiring emakku untuk segera masuk. Dengan perasaan takut aku memberanikan diri untuk memejamkan mata. Aku menahan diri agar tidak menamgis. Rasanya dadaku sangat sesak. Aku tidak tahu kenapa.
Ya Allah kenapa harus seperti ini. Kenapa harus selalu seperti ini. Apakah aku dilahirkan hanya untuk menjalani kehidupan seperti ini?
Aku mendengar suara ibuku terisak. Seperti nya ibuku masih menangis. Rasanya ingin sekali aku memeluknya, tetapi.aku tidak berani. Entah perasaan apa yang menghambatku untuk melakukannya.
Detak jantungku masih tak beraturan. Rasanya masih sesak. Aku ingin menangis. Tapi aku menahannya.
***
Pagi ini aku terbangun. Mencoba untuk melupakan kejadian semalam. Hahhh aku menarik nafas panjang. Rasa sesak , rasa takut itu masih terasa sangat nyata. Sudah lupakan saja.
Aku lantas keluar kamar dan melihat emakku sedang memasak sesuatu. Aku hanya melihat nya sekilas. Ini hari minggu , aku langsung menuju kekamar yang ada tv nya. Hening sekali. Dimana bapak? Ingin sekali aku menanyakan ini kepada ibuku. Tapi sekali lagi perasaan itu menahanku. Aku melihat kedua adikku masih terlelap. Kurasa semalam mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi. Syukurlah. Rasanya tidak tega jika anak seusia mereka harus melihat kejadian yang sangat menyakitkan itu. Benar. Umurku sebenarnya juga belum bisa dianggap dewasa. Tentu sangat belum bisa. Aku saja baru menginjak bangku sekolah dasar , tapi sekali lagi keadaan memaksaku untuk menjadi sosok yang lebih kuat dan lebih dewasa daripada umurku yang sebenarnya.
"Arr , tukokne uyah sik gone Bude sri". Teriakan ibukku membuyarkan lamunanku.
"Yooo karo jajan ya" kataku kemundian.
"Jajan duit e sopo iki gur sewu dinggo tuku uyah tok". Jawabannya masih sama.
Aku berdiri sedikit kecewa. Terkadang aku sedih dan berfikir. Kenapa aku tidak bisa seperti anak anak lainnya. Yang bisa membeli jajanan. Bisa jajan semaunya. Tidak. Tidak usah berlebihan. Aku hanya ingin jajan. Tidak usah semaunya tidak usah sepuasnya. Hanya ingin jajan saja. Tapi selalu tidak bisa. Keadaan ekonomi kedua orang tuaku menahanku untuk melakukan nya. Rasanya sangat sakit harus menahan perasaan perasaan ingin. Tapi tidak apa apa. Aku yakin akan ada bahagia setelahnya.
Aku lalu keluar rumah berjalan menuju warung nya bude sri. Aku berjalan seperti biasa. Kulihat banyak tetangga yang berada didepan rumah. Mereka melihatku. Pandangan itu. Iba. Aku tersenyum.
"Monggo dhe". Sapaku. Sopan.
"Iyo nduk arep ningndi" . Tanya mereka.
"Tumbas uyah gone bude sri". Ucapku sambil tersenyum lalu melanjutkan perjalanan.
Sampai disana.ternyata antri. Iya warung ini memang selalu ramai. Karena belum ada warung lain selain ini.
Lalu aku melihat ada tetangga yang mendekat. Membentuk gerombolan. Samar samar kudengar.
"Lah lah mesakne anak anake ijik cilik"
"Iki sing mambengi ganduli wong tuane?"
"Mbarep e lagi semono, kok kebangeten men wong tuane"
Dan bla bla blaa. Aku berusaha menutup telinga rapat rapat. Suara suara itu membuatku sesak. Sakit sekali rasanya.
Aku sudah mendapatkan apa yang dibutuhkan aku segera pulang. Takut ibuku menunggu. Aku berjalan pelan. Aku berusaha menetralkan perasaan sakit , sesak yang kurasa. Sepertinya aku hampir menangis. Aku menahannya sekuat tenaga. Aku berlari. Aku ingin segera sampai kerumah.
Sesampainya dirumah aku meletakkan garam yang diminta ibuku didekat kompor. Aku lalu keluar. Aku berjalan menuju rumah Yani. Rumahnya sepi. Apa mbok sop tidak berjualan ya. Iya ibunya yani berjualan pecel ,gorengan dan lain lain.
"Rasah dolan dolan karo Ari. Ngewangi mboke ning umah wae. Kae bocahe kakean masalah. Bapake galak"
Itu suara ibunya yani. Deg. Yaampun sampai sampai kejadian ini pun berimbas ke hubungan pertemanan ku.
Aku mengurungkan niat untuk masuk. Aku mengendap keluar. Aku berlari menuju sawah tempat dimana biasa aku bermain bersama Yani. Aku duduk dipinggiran sawah dibawah pohon besar. Angin disini selalu membuatku merasa tenang. Aku menangis. Aku meluapkan rasa sesak rasa sakit yang sedari tadi menyelimuti ku. Ya Allah diusia ku ini kenapa aku merasakan perasaan sesakit ini. Benar benar sakit. Aku menangis. Sendirian. Aku ingin berteriak tapi aku tidak berani takut mengundang perhatian. Aku terus menangis sampai kepala ku terasa pusing. Seperti nya aku menangis hingga ketiduran.
Aku merasa ada sesuatu yang terjatuh. Basah. Iya basah. Aku tersentak. Hujan. Aku berlari pulang. Sambil terus menangis. Terimakasih hujan, kali ini karena mu aku bisa menangis lebih leluasa. Aku terisak. Aku yakin dengan adanya hujan tak ada yang menyadari jika ada seorang gadis kecil yang sedang meluapkan perasaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepenggal Kisah Anak Perempuan Pertama
No FicciónTentang banyak nya penyesalan , tentang sebuah ungkapan yang selalu terpendam, tentang sebuah perasaan yang belum sempat tersampaikan. pak , Bagaimana apa bapak baik baik saja? Apa bapak masih mengingatku? Apa hati bapak masih sakit dengan perkataa...