"Pandang ke langit atasmu!"
Dewi Ular mendongakkan wajah. Menatap langit alam gaib.
"Cari matahari disana. Tentukan arahnya. Tunjuki."
"Tidak ada, Eyang," jawab Kumala setelah beberapa saat mencari, namun tak dilihatnya ada cahaya matahari seperti halnya di kehidupan alam manusia.
"Ada. Cari, tunjukkan padaku, di mana matahari berada!"
"Hmm, tidak ada, Eyang."
"Harus ada!"
Kumala mencoba mencari, sekali lagi. Tapi tetap ia tidak temukan. "Aku nggak tahu, Eyang."
"Harus tahu!"
"Aku nggak tahu karena memang nggak ada matahari."
"Harus ada!" tegas Dewa Nathalaga dengan suara lebih keras lagi.
Maka, sadarlah Kumala apa yang dimaksud dengan perintah tersebut. Kedua mata Kumala pun segera terpejam. Kedua tangannya bergerak pelan-pelan menuju ke atas kepala. Semua jarinya dilipat kecuali jari telunjuk yang saling bertemu. Dengan tubuh gemetar maka kedua tangan itu bergerak serempak, menghentak ke atas.
Weeesst...!
Ia menunjuk langit dengan kedua jari telunjuknya. Langit alam gaib yang semula temaram teduh, kini mulai tempak membias terang. Lama-lama muncul bola api raksasa yang dari tempat mereka hanya tampak sebesar telur mata sapi. Bola api itu bertambah besar, dan akhirnya tampaklah wujud sebuah matahari berwarna keperak-perakan. Alam itu menjadi lebih terang dari sebelumnya.
"Itu matahari, Eyang."
Dewa Perang menyunggingkan senyum sangat tipis. "Aku butuh dua matahari. Mana yang satunya lagi, Kumala?"
Dengan gerakan kesaktian seperti tadi Kumala mengulangi hal yang sama. Kini kedua tangannya. Menyentak kearah kiri, karena tadi ia menyentak kearah kanan atas. Dan, saat itu pula muncul sebuah matahari lagi di langit kiri atasnya. Alam gaib menjadi semakin terang.
"Itu yang satunya, Eyang."
Dewa Perang kembali tersenyum tipis.
"Yang ketiga di mana?"Dewi Ular diam sesaat. Menatap agak kesal. Lalu memejamkan mata kembali dan tangannya bergerak seperti tadi.
Weesst, weesst...!
Ke arah atas depan dan atas belakang Maka, dua matahari sekaligus muncul bersamaan di langit depan dan langit-belakangnya.
"Masih kurangkah, Eyang?"
"Cukup," jawab Dewa Nathalaga dengan napas terhembus panjang pertanda dia sangat puas dengan kesaktian Dewi Ular yang mampu menciptakan empat matahari dalam waktu sangat singkat.
Dewa Perang segera mengibaskan tangai kirinya seperti menyambar nyamuk, dan saat itu pula keempat matahari ciptaan Dewi Ular pun lenyap tanpa bekas lagi. Tersapu oleh kesaktiannya.
"Baiklah. Sebagian kesaktianku sudah kamu kuasai, Kumala. Tapi masih belum cukup untuk tampil sebagai senopati perang melawan pasukan dari Istana Kegelapan. Ada beberapa yang harus kuturunkan lagi padamu untuk melengkapi perbekalan perangmu nanti."
"Apa yang harus aku lakukan lagi, Eyang?"
Dewa Nathalaga mau bicara, tapi tertunda karena sesuatu yang terasa oleh indera kedelapannya ia memandang ke arah kanan. Pandangannya cukup jauh. Tidak ada sesuatu yang layak dipandang di arah sana.
Kumala pun ikut memandang pula. Dan, merasa heran, mengapa Dewa Perang memandang ke sana. Hanya saja, dalam hati kecil si bidadari cantik jelita itu merasa yakin, pasti akan ada suatu penampakan yang datang dari arah tersebut. Sebuah meteor muncul. Warnanya kuning berekor Kecil sekali. Mungkin karena masih sangat jauh hingga tampak sangat kecil. Tapi mata dewa tetap menangkap gerakan meteor yang sangat cepat itu.
Dewi Ular segera bangkit berdiri. Bersiaga. Tapi Dewa Perang tetap tenang dan berkata dengan suara seperti menggumam besar.
"Asistenmu. Bukan bahaya!" Ketegangan siaga Kumala pun mengendur. Ia paham dengan yang dimaksud Dewa Nathalaga. Ia hanya bicara pelan seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Mau ngapain dia kemari?"
Benda terbang bercahaya yang menyerupai meteor kuning itu makin dekat makin besar, dan dalam jarak relatif dekat cahaya kuning itu pecah karena Dewa Nathalaga menghempaskan tangannya. Energi kesaktiannya terpancar keluar dan meghantam cahaya kuning tersebut.
Dalam sekejap cahaya itu lenyap dan berubah menjadi sosok pemuda berambut kucai yang tak lain adalah jelmaan Jin Layon, alias Buron. Buron muncul bukan dalam keadaan biasa. Wajahnya hitam hangus dan ia menyeringai kesakitan lantaran terhantam energi saktinya Dewa Nathalaga tadi. Kini ia sedang berusaha berdiri terbungkuk bungkuk menahan sakit disekujur tubuhnya.
Dewa Nathalaga menghampiri dengan langkah bernada marah. Belum sampai dewa senior itu menghajar Buron, Dewi Ular berkelebat mengambil posisi menghadang langkah Dewa Nathalaga.
"Jangan, Eyang!"
"Anak itu harus dihajar. Dia mengganggu urusan kita!"
"Tidak. Eyang tidak boleh menghajar dia. Dia datang pasti ada urusan penting denganku, Eyang! Mohon kebijakan Eyang untuk tidak merasa terganggu oleh kedatangan Buron!"
"Minggir kamu, Kumala!"
"Jangan, Eyang!" Kumala berlutut sangat menghormat. Ia sengaja melindungi asistennya karena ia yakin Buron tak akan berani senekad ini datang menyusulnya jika tidak ada urusan penting.
Melihat sikap Kumala yang melindungi Buron dengan memohon penuh hormat, akhirnya Dewa Nathalaga pun menghentikan marahnya. Menurunkan emosinya. Buron sendiri dibelakang Kumala dalam posisi berlutut, berlindung dengan sangat takut. Dewa Nathaiaga adalah dewa paling berbahaya bagi bangsa jin seperti halnya Buron.
Dewa yang sangat ditakuti oleh bangsa jin itu kini berbalik arah dan melangkah menuju tempatnya tadi.
Kumala Dewi segera menyalurkan hawa saktinya ke tubuh Buron, membuat luka bakar diwajah dan sebagian tubuh Buron itu terobati. Kini Buron sudah tidak lagi merasakan kesakitan seperti tadi.
Ia berdiri atas perintah Kumala Dewi."Kenapa menyusul kemari?" tanya
Kumala pada Buron."Roh-roh bangkit dari alam kuburnya. Datang ke rumah kita. Meminta perlindungan. Tapi aku nggak sanggup melindungi mereka sendirian, Kumala. Kamu harus segera turun tangan menyelamatkan mereka dari ancaman kehancuran."
"Ancaman kehancuran? Darimana datangnya?"
"Ada pemburu hantu yang sulit kulacak energi gaibnya, yang berusaha merekurt para hantu. Bagi yang tidak tunduk padanya, dihancurkan, hingga tak mungkin melakukan penitisan reinkarnasi atau hal-hal lain yang masih menjadi hak mereka sebagai roh."
Bibir ranum sensual itu terkatup diam. Mata indah bak berlian itu memandang lurus ketempat jauh, Kumala mencoba merenungi laporan Buron yang terkesan polos dan sedikitpun tidak dibuat-buat.
"Kau harus turun tangan secepatnya, Kumala."
"Tidak."
****
KAMU SEDANG MEMBACA
85. Misteri Pembunuh Hantu✓
ParanormalSilahkan follow saya terlebih dulu. Serial Dewi Ular karya Tara Zagita 85 Seseorang ditemukan tewas dalam keadaan kehilangan seluruh cairan dalam tubuhnya. Buron yakin, tindakan itu bukan dilakukan oleh manusia biasa. Ada mahluk lain yang ingin hidu...