POHON cemara tumbuh sejajar, sama tinggi dan sama rapi. Berjajar bagaikan prajurit sedang berbaris. Di bawahnya adalah barisan makam yang rapi pula dengan kepala nisan warna putih.
Pada tiap makam terdapat hiasan topi baja sebagai simbul kepahlawanan, yang oleh penghuni Kahyangan disebut-sebut sebagai Padma Nagari.
Di atas udara Taman Pahlawan itu terdapat lapisan dimensi gaib yang tidak mudah ditembus oleh mata batin seorang paranormal. Hanya paranormal yang benar-benar berhati dan berjiwa bersih yang nampu memandang tembus alam dimensi gaib tersebut.Disana ada gumpalan mega hijau yang membentang luas bagaikan permadani lembut dan halus. Luasnya tak terhingga. Sulit untuk diukur dengan perkiraan logika. Di atas gumpalan awan hijau itu tampak bermunculan batu batu kristal yang memiliki beraneka ukuran dan bentuk.
"Darahmu memang terasa panas, Kumala. Tapi sekarang rubah-lah menjadi dingin. Lebih dingin dari angin. Lebih dingin dari salju."
Kumala Dewi tidak bicara sepatah katapun. Ia tetap tenang dalam sikapnya. Namun tiba-tiba peluhnya berhenti menetes. Genangan air peluh yang membasahi kening, pelipis, dagu, perlahan-lahan menyusut dan kini menjadi kering.
Kumala Dewi mengikuti instruksi Dewa Perang. Dengan kesaktiannya ia dapat merubah hawa panas menjadi dingin. Bahkan kini mulai tampak busa-busa putih tersumbul dari pori-pori tubuhnya. Busa-busa putih itu dapat dipastikan adalah busa-busa salju yang dihasilkan dari proses pendinginan suhu darahnya.
Bahkan warnanya pun bermacam-macam. Ada yang menjulang setinggi 100 meter lebih berbentuk seperti lembu raksasa yang berwarna biru uranium. Di atas batu berwarna biru itulah berdiri sosok tua yang masih memancarkan pesona muda. Sosok tua tersebut tingginya sekitar 175 cm dengan potongan rambut botak di tengah, tapi tepiannya tumbuh rambut panjang sebahu berwarna abu-abu. Jenggot, kumis dan alisnya juga kebat berwarna abu-abu. Pakaian dalamnya yang berwarna orange tertutup sebagian jubah warna putih.
Dari pancaran sinar matanya dapat dipastikan ia figur yang berwibawa dan tegas dalam sikapnya. Sosok tua penuh kharisma itu sengaja datang dari Kahyangan untuk mencari Dewi Ular, dan oleh Dewi Ular ia dikenal sebagai Eyang Dewa Nathalaga, alias si Dewa Perang.
Ada semilir angin yang menggeraikan anak rambut dan sebagian jubah putihnya Dewa Perang. Entah dari mana angin itu datang, yang jelas hembusan angin alam gaib mengandung embun kesejukan tersendiri. Mudah melelapkan mata, membuat siapa pun akan tertidur nyenyak dalam buaiannya. Namun agaknya si Dewa Perang pantang mengedipkan mata dalam posisinya yang tetap berdiri tanpa gerakan sedikitpun itu. Dan ia menatap ke satu arah, dimana sosok dara cantik jelita sedang duduk bersila diatas sebongkah batu runcing.
Batu itu memiliki puncak keruncingan setajam tombak. Daun jatuh di puncak keruncingan itu akan tembus atau robek karena ketajamannya yang luarbiasa. Tetapi dara cantik berjubah hijau itu tampak duduk tenang tanpa mengalami luka sedikit pun pada bagian tubuhnya. Dialah yang dicari cari si Dewa Perang, yaitu Kumala Dewi alias Dewi Ular.
"Apa yang kau rasakan?" pertanyaan ini bernada datar. Pelan diucapkan, namun menggema ke seluruh penjuru alam tersebut.
"Panas darahku, Eyang," terdengar jawaban lembut dari Dewi Ular. Ia tetap memejamkan mata dengan kedua tangan didada, telapak tangan saling merapat satu dengan yang satunya.
"Bagus."
Hembusan angin sejuk itu ternyata tidak dirasakan oleh Dewi Ular. Dari kulitnya yang mulus dan lembut tampak tersumbul butiran peluh. Terutama diwajah cantik Kumala Dewi tampak jelas dibasahi oleh peluh yang menetes lewat dagunya. Ini menandakan ia merasakan hawa panas yang begitu kuat dari dalam tubuhnya.
Dalam waktu relatif singkat Dewi Ular telah terbungkus salju cukup tebal. Dewa Nathalaga tersenyum kecil dengan kepala menggangguk-angguk nyaris tak kentara. Agaknya ia cukup puas melihat hasil yang diperoleh Dewi Ular itu.
"Cakra Salju pancarkan sepenuhnya, sekarang!" tegas Dewa Perang. Kumala Dewi tetap diam. Tapi tak berapa lama tubuhnya terselimuti oleh lapisan es yang makin lama makin tebal.
Kini wajah kharismatik itu merentangkan kedua tangannya keatas. Beberapa detik kemudian datang angin dari berbagai penjuru. Hembusan angin itu mengarah ke bongkahan es yang membungkus tubuh Kumala Dewi. Angin semakin kencang, semakin kuat, dan berubah menjadi badai yang datang dari berbagai arah.
Kumala Dewi dihajar oleh badai yang sekarang disertai dengan cahaya kilat. Cahaya itu datang beruntun, bertubi-tubi, setiap membentur bongkahan es mengeluarkan suara
yang sangat menggelegar.Daaar, daar, daar... bleguuurrr...!
Daaar, jelgaaar, blaaar... bleguuur...!
Dewa Perang menurunkan kedua tangannya. Seketika itu badai berhenti.
Zzzzub...!
Guntur pun bagai dikebiri. Tanpa cahaya dan bunyi. Kini yang ada hanyalah sunyi. Semilir angin kedamaian kembali hadir seperti menina bobokan setiap makhluk di alam itu. Dan, suatu keganjilan terjadi. Semua batu yang semula berwarna-warni dalam keindahannya kini telah berubah menjadi hitam hangus.
Mungkin karena diamuk badai panas dan hujan guntur. Anehnya, batu tempat duduk Kumala Dewi masih tetap utuh dengan warnanya yang merah bak delima itu. Bongkahan es yang menyelimuti Kumala pun tetap utuh dalam kebeningannya. Meski tanpa anggukkan kepala atau senyum seulas dibibir berkumisnya, namun lewat pancaran ekspresi wajahnya Dewa Perang tampak merasa lega dan puas.
Tentu saja yang membuatnya lega dan puas adalah kemampuan Kumala Dewi bertahan dari serangan badai dan guntur bertubi-tubi tadi. Kumala bukan hanya mampu mempertahankan dirinya namun juga berhasil mempertahankan lapisan es yang membungkus dirinya.
Tidak ada bagian dari lapisan es itu yang rusak atau pun meleleh akibat hujan guntur dan badai panas tadi.
Dewa Perang mendongakkan kepala. Menatap ke langit alam gaib yang tanpa matahari itu. Tiba-tiba dari langit muncul sinar ungu sebesar lidi. Sinar itu turun ke bawah tegak lurus dengan kecepatan tinggi. Makin ke bawah makin besar. Akhirnya sinar itu menghantam tepat di tengah kepala Dewi Ular yang terselimuti lapisan es.Zuuub!
Seluruh lapisan es berubah menjadi ungu. Sinar itu menembus kebawah, membuat batu runcing yang dipakai duduk Kumala menjadi berubah warna, dari merah menjadi ungu, makin lama makin hitam dan,
Praaak..!
Batu itu hancur menjadi debu. Lenyap seketika. Tapi posisi Kumala Dewi masih tetap duduk bersila terbungkus lapisan es, mengambang di udara. Utuh tanpa rusak sedikit pun, sementara batu yang ia duduki tadi sudah berubah menjadi abu hitam yang melebur lenyap dalam gumpalan mega hijau di bawahnya.
Sinar ungu itu pun lenyap bagaikan terhisap kembali ke langit alam gaib."Bagus." Dewa Perang menggumam sambil menganggukkan kepala.
"Kau sudah mulai mampu menguasai Aji Cakra Salju, Kumala. Seandainya kau belum menguasainya, maka tubuhmu akan hangus dihantam Pasak Langit tadi. Lokapura memiliki Aji Pasak Langit seperti tadi, maka kau harus hadapi dia dengan Aji Cakra Salju."
Tidak ada suara Kumala. Tapi suara Dewa Nathalaga yang menggema itu tampaknya dapat didengar oleh Kumala dari balik lapisan es yang makin tebal membungkus dirinya.
"Aji Cakra Salju sudah kuturunkan padamu. Tapi itu belum cukup untuk menjadikan dirimu sebagai senopati perang dirgantara nanti, Kumala Dewi. Ada beberapa hal yang harus kamu capai."
Lalu terdengar suara gadis menggema lirih tepat di seberang telinga Dewa Nathalaga. Suara merdu itu tak lain adalah suara Kumala sendiri.
"Apalagi yang harus aku lakukan. Eyang?"
Dewa Nathalaga mengibaskan tangan kirinya dengan pelan. Sesuatu menghambur keluar dari tangan itu, sebuah energi sakti menerjang lapisan es yang membungkusi dewi Ular. Seketika itu juga pecah menyebar.
Craaasss...!
Hancur dan lenyap tanpa bekas. Tubuh Kumala tetap kering, tanpa setetes air yang membasahinya. Pada saat itu Kumala baru menyadari bahwa batu tempat berdirinya Dewa Nathalaga sudah tidak ada. Dewa penuh wibawa itu berdiri melayang di udara, dan Kumala pun masih duduk bersila melayang di udara.
Tak lama kemudian, keduanya turun perlahan-lahan, hingga sama-sama berdiri beralaskan bentangan kabut hijau bak permadani yang umat luas itu. Kumala buru-buru berlutut, tak berani berdiri tegak di depan dewa senior yang terkenal kesaktiannya
sangat membahayakan itu.****

KAMU SEDANG MEMBACA
85. Misteri Pembunuh Hantu✓
ParanormaleSilahkan follow saya terlebih dulu. Serial Dewi Ular karya Tara Zagita 85 Seseorang ditemukan tewas dalam keadaan kehilangan seluruh cairan dalam tubuhnya. Buron yakin, tindakan itu bukan dilakukan oleh manusia biasa. Ada mahluk lain yang ingin hidu...