"Apakah aku harus menjawab?"
"Jika Paduka berkenan, hamba sangat menunggu jawabannya."
Dewa Nathalaga memandang ke arah lain. Bergeser dua langkah dari tempatnya berdiri. Lalu bicara dengan sangat berwibawa, membuat Sang Juru Gaib dan kedua muridnya tetap menundukkan kepala.
"Kamu ingin tanyakan, kenapa bukan dirimu, sebagai Sang Juru Gaib, yang kupilih untuk menjadi senopati Perang Maha gaib nanti? Itu disebabkan, karena kamu bukan anak dewa. Hanya anak dewa yang bisa menandingi kesaktian Lokapura nanti. Kamu ingin ajukan pendapat, jangan Dewi Ular yang harus menandingi Lokapura, karena dia masih sangat muda? Justru karena dia masih muda, masih suci, dan anak tunggal, maka dia akan mampu mengemban tugas ini."
Hening tercipta sejurus. Kemudian, Damung Suralaya memberanikan bicara dengan sangat hati-hati sekali.
"Sesungguhnya, hamba siap berkorban lebih dulu sebelum Nyai Dewi Ular menjadi sasaran kekejiannya Dewa Kegelapan: Lokapura. Hamba siap menghadapi bahaya apapun, Hyang Nathalaga."
"Hmmm, kamu merasa punya kesaktian yang cukup untuk menandingi Lokapura? Itu tidak mungkin, Damung."
Sang Juru Gaib tiba-tiba mengibaskan tongkatnya ke samping.
Wess...!
Percikan cahaya seperti serbuk pasir berwarna putih tersebar dari ujung tongkatnya,merambah permukaan lahar. Dalam sekejap saja permukaan lahar yang bergolak telah berubah menjadi padang pasir yang amat luas. Bahkan ketika Sang Juru Gaib mengibaskan kembali tongkatnya, padang pasir itu berubah menjadi padang rumput yang hijau luas menyegarkan. Udara pun menjadi teduh. Tak sepanas tadi.
"Kesaktianmu itu adalah kekuatan sihir, Damung Suralaya. Kekuatan sihir tidak dapat dipakai untuk melawan Lokapura, karena dia memiliki seribu gudang sihir yang lebih hebat dari yang kau miliki."
"Ampun Hyang Dewa..."
"Yang dibutuhkan bukan kekuatan sihir, melainkan kesaktian sejati. Bangsamu tidak akan pernah memiliki kesaktian sejati!"
"Bagaimana dengan kedua murid saya ini, Hyang Dewa Nathalaga?"
"Apa yang bisa mereka lakukan?"
Damung Suralaya menengok kepada kedua muridnya. "Tunjukkan!" hanya itu perintah pelan dan pendek darinya. Kedua muridnya saling beradu telapak tangan satu dengan satunya.
Plaak, duaaaarrr...!
Suara ledakan kuat terdengar, menggelegar dan menggema. Dalam sekejap kedua murid Damung Suralaya berubah menjadi sangat besar. Luar biasa besarnya hingga badan mereka menyerupai dinding benteng yang menutupi pandangan mata Dewa Nathalaga, mengurung rapat sekeliling batu tempat mereka berpijak. Tingginya sangat luar biasa, hingga tak terlihat dengan mudah bentuk kepala dan raut mukanya, selain serat-serat rambutnya yang berjuntai-juntai menyerupai pelepah pohon kelapa.
"Ampun, Hyang Dewa... jika Hyang Dewa izinkan, mereka berdua bisa menjadi seribu rupa dalam sekejap."
"Cukup. Lagi-lagi kau pamerkan sihir di depanku. Bagaimana kalau Lokapura dapat membuat kedua muridmu menjadi sekecil kacang tanah dengan sekali tawa, ha, ha, ha...!"
Zzzuuut...!
Tiba-tiba kedua murid Damung Suralaya menyusut sangat cepat sampai keduanya menjadi sangat kecil, seukuran sebutir kacang tanah di samping kaki Damung Suralaya. Sementara itu, padang rumput ciptaan sihirnya Damung Suralaya juga berubah menjadi lautan lahar seperti sedia kala.
Tawa pendek Dewa Nathalaga telah mematahkan kekuatan sihirnya Sang Juru Gaib. Hal itu menandakan apa yang dimiliki Sang Juru Gaib masih belum sebanding dengan kesaktian yang dimiliki para dewa, terutama Dewa Kegelapan, yang menjadi musuh utama dewa-dewa penghuni Kahyangan.
"Sekarang ini kau baru berhadapan denganku bukan Lokapura. Kalau kau berhadapan dengan Lokapura, dia bukan hanya mematahkan sihirmu, tapi juga menghancurkan jasad gaibmu. Paham?"
"Hamba paham, Hyang Nathalaga. Tapi hamba punya kesaktian yang lain, yang menurut hamba..."
"Cukup!" bentak Dewa Perang dengan suara bentakan tak terlalu keras, namun membuat kedua murid Sang Juru Gaib terpental jauh, melayang dan hampir saja jatuh di permukaan lahar panas.
Untung mereka segera berubah menjadi dua ekor burung gagak dan terbang ke batu besar, lalu hinggap disamping kanan-kiri Sang Juru Gaib. Berubah menjadi sosok seperti tadi lagi. Sang Juru Gaib sendiri tadi sempat tersentak mundur oleh kekuatan yang keluar dari suara bentakan Dewa Nathalaga. Tetapi dengan tongkatnya ia mampu bertahan, seakan berhasil mencengkeram batu besar tempat mereka berpijak itu.
Namun belakangan diketahui, tongkat itu terbenam dalam batu yang menyerupai bukit, dan tongkat itu sulit dicabut kembali. Dengan mengerahkan kekuatan yang tertinggi, barulah tongkat itu berhasil dicabut dari kedalaman batu. Menyadari segala usulnya dapat memancing kemarahan Dewa Nathalaga, dan mengingat Dewa Nathalaga kalau marah sangat berbahaya bagi kehidupan makhluk jenis apapun, maka Damung Suralaya tidak berani coba-coba lagi mencalonkan diri untuk menjadi senopati perang. Dari raut wajahnya yang disembunyikan dengan sikap menunduk dapat diketahui bahwa Damung Suralaya saat itu sangat ketakutan.
Namun rasa takutnya mampu dikuasai, sehingga ia masih mampu bicara dengan nada sangat hati-hati sekali. "Hamba dan kedua murid hamba ini mohon ampun beribu-ribu ampun atas kelancangan kami ini, Hyang Dewa. Sesungguhnya niat hamba ini hanya semata-mata ingin menunjukkan sikap persaudaraan hamba terhadap Nyai Dewi Ular pribadi. Hamba tidak rela jika Nyai Dewi menjadi korban. Biar hamba lebih dulu yang berkorban sebelum Nyai Dewi."
"Ya, aku mengerti!"
"Terima kasih, Hyang Dewa. Sekali lagi mohon ampun."
"Sudah, pergilah sana. Kuanggap tidak terjadi apa-apa tadi."
"Hamba ingin pergi, tapi izinkan hamba bertemu dengan Nyai Dewi Ular lebih dulu, Hyang Dewa. Bolehkah?"
Dewa Nathalaga diam berpikir menimbang-nimbang. Dia tahu hubungan Dewi Ular dengan Damung Suralaya cukup baik. Sangat bersahabat. Dia juga pernah mendengar Damung Suralaya membantu Dewi Ular beberapa kali. Sangatlah naif jika permohonan tadi ditolak hanya semata-mata merasa Kumala dan Damung Suralaya memutuskan untuk mengabulkan permohonan Sang Juru Gaib.
"Jika kau ingin bertemu dengan Kumala Dewi, bentangkan sihirmu. Berdirilah diatas permukaan sihirmu untuk bisa bertemu dengannya."
Secara awam kata-kata itu sulit dipahami. Kedua murid Sang Juru Gaib sendiri tidak mengerti maksud kata-kata Dewa Nathalaga. Tetapi tidak demikian halnya dengan Sang Juru Gaib. Ia cukup paham dengan makna ucapan tadi. Maka, dengan cepat tangan kirinya yang tidak memegangi tongkat berkelebat ke samping. Kekuatan sihirnya dilepaskan, membentuk hamparan rumput yang mengambang di atas permukaan lahar panas itu.
Dengan cepat Sang Juru Gaib berpindah tempat, kini berdiri di atas hamparan rumput yang melayang di udara. Kedua muridnya mengikuti. Dewa Nathalaga menjentikkan jarinya.
Wuuusssb...!
Tercipta pula hamparan kabut menyerupai permadani lebar. Hamparan kabut itu juga melayang-layang di udara. Kemudian ia pindah ke atas Sana.
"Kumala Dewi, keluarlah... ada yang ingin bertemu denganmu!" kata Dewa Nathalaga, membuat Sang Juru Gaib dan kedua muridnya mencari-cari di permukaan lahar panas itu.
Mereka bertiga menyangka Dewi Ular akan muncul dari salah satu tempat di permukaan lahar. Ternyata dugaan mereka salah. Batu sebesar bukit menyerupai perahu terbalik itu bergerak-gerak. Permukaan lahar makin bergolak. Batu itu bertambah tinggi. Naik ke permukaan. Makin lama makin tinggi, sampai akhirnya bagian bawahnya yang datar tampak semua. Dan, kedua murid Damung Suralaya memandang heran, karena ternyata batu itu naik ke permukaan karena disangga dengan satu tangan halus berjari lentik, yaitu tangan si cantik Dewi Ular.
Rupanya Kumala Dewi bukan saja disuruh bertapa di dalam lautan lahar yang sangat panas, namun juga, digencet menggunakan batu sebesar bukit dan ditunggui Dewa Nathalaga. Jika ada makhluk apapun berdiri diatas batu itu, maka Kumala yang terbenam tertindih batu tidak akan mampu menyingkirkan batu tersebut. Maka, ketika semuanya pindah dari atas batu, Kumala mampu muncul perlahan-lahan dengan menopang batu menggunakan satu tangan. Dia muncul dalam keadaan rapi, tanpa ada kerusakan sedikit pun pada pakaian maupun tubuhnya.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
85. Misteri Pembunuh Hantu✓
ParanormalSilahkan follow saya terlebih dulu. Serial Dewi Ular karya Tara Zagita 85 Seseorang ditemukan tewas dalam keadaan kehilangan seluruh cairan dalam tubuhnya. Buron yakin, tindakan itu bukan dilakukan oleh manusia biasa. Ada mahluk lain yang ingin hidu...