6 :: sechs

215 43 17
                                    

Sudah tertebak, kejadian kemarin membuat murid-murid pada makin heboh. Sejak saat itu, Raka dan teman-teman lain tidak berhenti menggodanya. Sebenarnya, hal-hal seperti ini sudah jadi hal yang biasa untuknya. Selalu saja ada satu-dua anak yang suka tiba-tiba cie-ciein dirinya dengan Sabda seolah mereka berdua sudah resmi berpacaran.

Kalau Randu akan sigap membantah jika ada yang menanyakan sudah berapa lama mereka menjadi pasangan, Sabda justru tidak mengatakan apa-apa. Cowok itu hanya menanggapinya dengan senyuman. Hal itu pula lah yang membuat teman-teman lain pada makin gencar menggodanya.

Tetapi seperti bagaimana hidup berjalan, selalu ada pro dan kontra di dalamnya. Ada yang terang-terangan menggoda dan ikut senang seperti makcomblang yang kegirangan sudah berhasil menyatukan kedua insan, ada juga yang semakin menaruh kebencian pada Randu. Ya siapa lagi kalau bukan oknum-oknum yang naksir berat sama Sabda.

Padahal Sabda nggak cakep-cakep amat, walau postur tubuhnya cukup bagus. Sabda juga nggak terlalu tinggi tapi delapan puluh persen tubuhnya didominasi oleh kaki. Kepribadiannya yang ramah mungkin menjadi poin plus tersendiri yang sekali kasih senyum manis, sudah berhasil bikin sebagian cewek menggelepar tidak berdaya.

Sekarang Randu agak risih karena dua bangku di sisi kanan-kirinya tidak terisi. Seakan ogah duduk dekat-dekat dengan dirinya. Hari ini Randu menonton pertandingan Sabda yang kesekian dengan suasana yang cukup berbeda.

Jika dulu tidak ada yang memperhatikan Randu, sekarang semua orang seperti berlomba mengawasinya. Tapi bodo amatlah, Randu hanya perlu fokus mendukung Sabda yang tengah bermain di lapangan sana.

Posisi Randu yang duduk di tribun tengah membuatnya agak kesulitan melihat ke depan akibat perintilan-perintilan heboh yang dibawa penggemar fanatik Sabda.

Tim supporter yang semuanya berjenis kelamin cewek itu memakai kaus berwarna senada dengan kipas elektrik di tangan. Sesekali mereka memperbaiki tatanan rambut sambil mengaca, lalu terkikik setelah membicarakan bagaimana kerennya para pemain—terutama Sabda—ketika lagi melakukan pemanasan.

Biasanya Randu menonton di barisan depan sebab Sabda selalu menyiapkan tempat khusus untuknya. Namun untuk pertama kalinya, Randu memilih duduk di bagian tengah saja untuk menghindari rumor agar tidak semakin menyebar. Entahlah, Randu merasa agak tidak nyaman dibuatnya.

Babak pertama berlangsung aman-aman saja. Tim Sabda lebih unggul dua point dari tim lawan. Hal ini bagus mengingat pertandingan ini adalah babak final dalam kejuaraan basket tahunan antar sekolah.

Bunyi hentakan musik yang nyaring memenuhi pendengarannya. Sementara para pemain tengah beristirahat, giliran tim pemandu sorak yang menguasai lapangan dengan penampilannya.

Mata Randu menyisir lapangan, menemukan sosok Sabda di pinggir lapangan yang tampak serius mendengarkan arahan dari pelatih. Setelah mengamati Sabda sejauh ini, ternyata cowok itu keren juga ketika sedang serius.

Peluh keringat yang membikin rambutnya lepek dan berantakan tak membuat pesona Sabda luntur. Cowok itu malah semakin terlihat mempesona dengan kulit tan-nya yang cukup seksi.

Randu jadi ingat, setiap kali Sabda berhasil mencetak point, cowok itu selalu memberikan sign—berupa jari telunjuk disatukan dengan jari tengah membentuk tanda hormat yang ditempelkan ke dahi sebelum diangkat ke udara menunjuk ke arahnya—diikuti senyum sumringah. Randu tidak tahu apa yang dipikirkan orang lain, tetapi yang ia tahu, sign spesial itu Sabda tujukan untuknya.

Bukan hanya di pertandingan saja, cowok itu bisa dengan random menariknya ke lapangan hanya untuk mempertontonkan kebolehannya dengan lemparan three point andalannya. Sabda hanya mau pamer padanya dengan wajah yang terkesan songong abis.

Poison & Wine ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang