0 :: ❣

402 43 59
                                    

Randu terus melangkah menyusuri trotoar setelah berhasil keluar dari pelataran Mall. Ia bahkan tidak peduli lagi pada tas-nya yang saat ini berada pada Sabda. Padahal dompet serta ponselnya berada di dalam benda kecil itu. Sekarang coba katakan bagaimana Randu akan pulang sementara tadi ia menumpang motor Satra?

Untung saja otak cerdasnya ini masih bekerja, ia akan menyetop taksi dan membayarnya setelah tiba di rumah nanti. Namun sepertinya semesta memang suka bercanda dengannya, sedari tadi ia tidak melihat satu pun taksi yang lewat. Betul-betul kampret!

Karena kakinya sudah hampir cosplay jadi jelly saking lemasnya dibawa berjalan jauh, Randu mengistirahatkan diri di bangku pinggir jalan sambil memijat betisnya. Jalanan tergolong cukup sepi, selain kendaraan yang berlalu-lalang, tidak ada pejalan kaki yang seliweran.

Sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di depannya ketika Randu masih sibuk memijat kakinya. Ia mendongak, menemukan Sabda yang sudah melangkah menghampirinya. Randu berniat beranjak pergi namun Sabda lekas menghentikannya. Cowok itu berdiri tepat di depannya.

"Minggir."

"Lo masih marah?"

"Menurut lo?"

"Gue minta maaf."

"Lo memang harus minta maaf. Terutama sama Satra."

"Apa sih yang lo suka dari cowok itu?"

"Apa gue harus menjelaskan hal itu ke lo?" Karena sudah dibahas, jadi sekalian saja Randu beberkan semuanya di sini. "Lo tau nggak sih, cowok-cowok yang tadinya mau ngedeketin gue jadi pada mundur duluan karena ngiranya gue udah sama lo. Satra adalah pengecualian dan lo masih aja gangguin acara nge-date gue sama ntuh cowok?! Lo memang jahat! Nggak berperikejomb—"

"Yaya." Sabda sengaja memotong kalimat cewek itu. "You know what, udah hampir setahun lebih kita kenal satu sama lain dan gue baru menyadari sesuatu."

"Kebiasaan banget suka motong kalimat orang!"

Sabda seakan menulikan telinga dan melanjutkan kalimatnya. "Selama ini kita selalu bareng dalam segala hal, ngelakuin semua kegiatan di sekolah berdua. Gue terbiasa berada di dekat lo dan itu bikin gue ... nyaman."

Sabda maju selangkah untuk melihat lebih jelas bola mata jernih Randu yang tengah menyorotnya juga sekarang.

"Ngeliat lo bareng cowok lain, terutama Satra yang selalu lo bicarain di segala kesempatan bikin gue merasakan sesuatu yang aneh."

Entah kenapa, Sabda yang serius begini membuat Randu cukup ketar-ketir. Ia mengepalkan tangannya demi menghapus kegugupan yang melanda.

"I don't want to be jealous ... but I am." Ada kilat tidak suka yang kentara dari pancaran mata Sabda ketika mengatakannya. "I hate the idea of anyone else having you."

"Hah?"

Sabda meraih salah satu kepangan rambut Randu yang sebelahnya sudah berantakan karena karetnya putus.

"Lo emosi banget ya sama gue sampe nggak sadar rambut lo berantakan gini."

Randu ingin mengatakan sesuatu, namun jemari Sabda sudah lebih dulu bergerak di sela rambutnya, membuatnya batal membuka mulut.

Dengan cekatan, cowok itu memperbaiki kepangan rambut Randu kemudian mengikatnya dengan ikat rambut yang baru ia keluarkan dari saku. Sejak kejadian dihukum waktu itu, Sabda memang selalu membawa ikat rambut cadangan kalau-kalau terjadi hal yang sama lagi.

Selagi melakukannya, Sabda tak melepaskan tatapannya pada Randu. Jangan tanya bagaimana kondisi Randu sekarang. Lututnya hampir lemas ditatap sedemikian intim oleh cowok itu.

Poison & Wine ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang