4 :: vier

213 42 22
                                    

Dengan sedikit tertatih, Randu memapah Sabda yang benar-benar tidak ada usaha sedikit pun untuk menahan tubuhnya. Ini pundak Randu benar-benar jadi tumpuan lengan Sabda untuk berjalan.

"Nyusahin amat nih monyet satu! Udah paling bener tadi lo nggak nolak dibantu Raka, bodi lo yang segede Hulk ini butuh tenaga angkut sekitar dua atau tiga orang sekaligus!" Cewek itu mengomel dalam langkahnya. "Lagian lo—"

"Yaya...."

"Kenapa? Apa? Mananya yang sakit?" Randu jadi heboh sendiri sebab suara Sabda sangat pelan, hampir seperti lirihan memilukan.

Apalagi cowok itu sudah menyebut namanya dengan panggilan khusus. Ketika Sabda memanggilnya begitu, itu artinya Sabda sedang dalam mode serius. Sabda memang jarang sekali memanggil namanya, cowok itu kebanyakan menggunakan kata ganti 'dia' kalau lagi membicarakan Randu.

"Badan gue panas. Jangan omelin gue terus...."

Kalimat bernada rengekan itu lantas membuat Randu mendengus. Untung lagi sakit beneran, kalau enggak mah sudah Randu kepret nih cowok ke gorong-gorong terdekat. Setibanya di UKS, baru saja masuk ruangan, Sabda sudah memuntahkan seluruh isi perutnya.

Randu sempat dilanda panik sejenak sebab dirinya tidak menemukan satu pun petugas PMR yang berjaga. Akhirnya dengan rasa panik yang berusaha ia halau, Randu mengamankan Sabda untuk berbaring di ranjang UKS terlebih dahulu kemudian ia lanjut membersihkan muntahan cowok itu dengan setengah hati.

Padahal di rumah saja ia tidak pernah membersihkan muntahan adiknya, namun sekarang ia malah membersihkan muntahan orang lain. Terima kasih pada Sabda yang sudah memberikan pengalaman baru kepadanya.

Randu sudah menelepon keluarga Sabda, namun orang tua cowok itu lagi dinas ke luar kota. Ia hanya menitipkan pesan pada Mbak Rani—PRT di rumah Sabda untuk membawakan baju ganti cowok itu.

Selagi menunggu baju ganti Sabda diantarkan, Randu membeli sebotol air mineral dan beberapa roti. Sekitar sepuluh menit kemudian, ia sudah kembali ke ruang UKS membawa baju ganti.

Randu menepuk-nepuk lengan Sabda, membuat cowok itu mengganti posisi jadi duduk. Membiarkan Randu mengurusnya seperti bayi—babi—besar. Randu membantu melepaskan seragam Sabda—untungnya cowok itu memakai kaos dalaman—menggantinya dengan baju yang diantarkan Mbak Rani barusan. Dilanjut memberikan minum, menyuapi roti serta obat hingga cowok itu kembali berbaring nyaman di ranjang.

Setelah semuanya beres, aman dan terkendali, barulah datang petugas UKS yang mengaku piket hari ini tetapi terlambat datang. Kampret! Kenapa datangnya nggak lebih awal aja tadi. Giliran sudah nggak dibutuhkan saja malah muncul.

Sudah begitu bukannya lanjut berjaga malah ijin balik ke kelas lagi. Kampret kuadrat! Untung Randu sabar, baik hati dan tidak mudah tersulut emosi—tapi ini sungguh sangat jancok!

"Udah lo beresin muntahan gue tadi?" Sabda bertanya dengan mata tertutup. Cowok itu masih baringan nyaman.

"Udah." Randu menyahut ogah-ogahan. Ia masih sebal mengingat perkataan Mbak Rani di telfon tadi. Kata beliau, Sabda memang sudah kelihatan nggak enak badan dari rumah. Mbak Rani sempat menyarankan untuk istirahat di rumah saja, tetapi Sabda menolak dan tetap pergi ke sekolah.

"Lo ngapa masih ke sekolah kalo udah tau lagi sakit gue tanya?"

Baru saja Sabda ingin menyahut, Randu sudah menembaknya tepat sasaran dengan kalimat pedasnya.

"Nggak usah coba-coba nipu gue. Kata Mbak Rani lo yang kekeuh mau sekolah, padahal lagi sakit juga."

"Di rumah nggak asik. Lagian gue bakal sendirian, bosen." ujar Sabda, masih bertahan di posisinya. "Apalagi nggak ada lo."

Poison & Wine ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang