Tempat Seharusnya

29 2 0
                                    

Setelah menghabiskan waktu kelasnya hingga jam istirahat, Ayu akhinya kembali masuk ke area sekolah. Hari ini hanya ada dua kelas, sehingga gadis itu memutuskan untuk kembali ke ruang kesehatan.

Ketika pintu ruangan di geser, Ayu terkejut mendapati keberadaan Froun yang tengah duduk di kursi sambil melipat kedua tangannya di dada. Pria itu juga melipat kaki kirinya di atas kaki kanan. Dua alis hitam yang menyatu serta tatapan tidak ramah di balik kacamata persegi panjangnya cukup membuat Ayu paham situasi.

Ayu melangkah masuk dan menutup pintu. Ia tidak melihat keberadaan Haboa di dalam ruangan. Ia yakin wanita ular itu sedang berada di luar.

"Ayu Anjani." Froun mengucap namanya dengan penuh tekanan.

Embusan napas lelah keluar dari mulut Ayu. Ia yakin pria itu ingin berceramah panjang lebar.

"Duduk."

Tatapan Ayu tertuju pada sebuah kursi kayu di hadapan Froun. Dengan perasaan enggan, gadis itu memaksakan diri untuk mengikuti perintah pria itu. Ia lekas duduk di kursi itu. Sedikit memiringkan posisi ke sebelah kanan untuk mengurangi rasa intimidasi yang dirasakan Ayu.

"Kudengar kau tidak datang ke kelas mana pun sejak tadi pagi. Apa itu betul?"

Setelah terdiam selama beberapa detik, Ayu menjawab dengan anggukan.

"Kau bolos?"

Ayu mengangguk lagi. Tidak ada gunanya juga ia berbohong ketika semua tindakannya itu sudah ketahuan.

"Kenapa kau melakukannya?"

"Apa gunanya belajar di sekolah ini kalau aku sendiri tidak punya sihir."

"Kau sudah mencoba melakukannya? Mantra atau yang lainnya?"

"Sudah. Bahkan tanpa dicoba pun sudah jelas kan? Aku bahkan tidak bisa menerbangkan sapu. Jelas aku tidak bisa melakukan apapun tanpa sihir."

"Terbang dengan sapu hanya salah satu dari penggunaan sihir. Tidak bisa menggunakan sihir untuk sapu terbang bukan berarti kau tidak bisa melakukan apapun."

"Dengar ya, Pak. Aku berasal dari dunia yang bahkan tidak ada sihir di sana. Itu artinya aku juga tidak punya sihir. Aku sudah memberitahu Bapak dan Kepala Sekolah tentang hal ini sebelumnya. Kenapa kalian masih saja tidak mendengarkanku?"

"Kau mungkin tinggal dan tumbuh di sana, di dunia tanpa sihir. Tapi liontin pecahan waktu yang kau miliki berasal dari dunia ini."

"Ini liontinku. Punyaku." Ayu memperlihatkan liontin di lehernya. "Ini dari orang tua kandungku. Benda ini sudah bersamaku sejak aku masih bayi. Kenapa kalian menyebutnya liontin pecahan waktu? Bisa saja bentuknya mirip."

"Tidak. Benda itu jelas dari dunia ini. Aku bisa merasakan kekuatan magisnya meski samar-samar."

"Apa yang membuat Bapak sangat yakin? Aku tidak bisa merasakan kekuatan magisnya. Aku bukan penyihir."

"Apa kau pernah mengalami fenomena aneh terkait waktu?"

"Fenomena?"

"Ya. Waktu yang berhenti, terulang, atau bahkan terasa berjalan dengan sangat cepat sampai kau merasa tak bisa mengingatnya."

Ayu teringat ia mendapat kejadian aneh sebelum tiba-tiba berada di dunia ini. Ketika menyelamatkan anak anjing di jalanan, ia hampir ditabrak truk dan semua hal mendadak berhenti bergerak. Ayu yakin waktu di sekitarnya berhenti saat itu. Bahkan ketika perkelahiannya dengan Rachel sebelumnya terjadi hal yang serupa ketika Rachel melemparkan liontinnya ke api.

Apakah dua kejadian aneh itu memang ada kaitannya dengan liontin miliknya?

"Liontin pecahan waktu berasal dari bagian tubuh makhluk penjaga waktu. Tubuh makhluk itu diabadikan menjadi artefak, seperti liontin yang kau pakai. Semua fenomena waktu bisa dikendalikan oleh benda itu.

"Liontin milikmu adalah benda keramat dan sangat istimewa. Hanya ada tiga di dunia ini, dan telah berada pada tangan para penyihir dan ilmuwan alumni akademi ini. Benda itu bisa diwariskan kepada keluarga dari pemiliknya. Itulah kenapa semua orang yang punya artefak spesial seperti liontin pecahan waktu akan disambut baik di tempat ini."

"Maksud Bapak... orang tua kandungku dari dunia ini?"

"Kemungkinan besar, iya."

Ayu kembali diam. Ia berusaha mencerna semua informasi baru yang ia terima barusan. Liontin pecahan waktu, orang tuanya. Ini terdengar sangat tidak masuk akal dan logis secara bersamaan. Ayu semakin terjerat dalam kebingungan pikirannya.

"Apa Bapak tau siapa mereka? Tinggal dimana sekarang mereka? Apa mereka masih hidup?" tanya Ayu.

"Sayangnya semua pemilik liontin pecahan waktu tidak diketahui jelas dimana lokasi mereka sekarang. Entah apa yang mereka lakukan. Mereka semua adalah orang-orang yang senang melakukan penelitian."

"Apakah saya bisa bertemu mereka?"

Froun diam sejenak. "Sebaiknya kau membicarakannya langsung dengan Kepala Sekolah. Dia mungkin lebih banyak tahu mengenai hal itu."

Concore di hadapan Froun berbunyi. Pria itu segera mengambil dan menempelkan benda itu di dekat telinganya. Setelah menanyai kabar dan kondisi yang terjadi, hela napas kasar kelaur dari mulut Froun. Pria itu lalu berbicara dengan orang yang menelpon dengan nada kesal dan keluhan. Ayu menduga Froun sedang mendapat panggilan yang harus melibatkan pria itu.

Setelah lebih satu menit hanya mendengarkan panggilan di concore, Froun mematikan perangkat itu dan memasukkannya ke dalam saku kemejanya. Ia lalu bangkit dan mengenakan mantel yang ia gantung di atas salah satu ranjang.

"Aku harus pergi sekarang. Ada hal yang harus kuurus segera. Aku akan mulai sangat sibuk mulai hari ini. Apalagi sudah memasuki pertengahan semester ganjil. Sebaiknya kau jangan membolos."

Froun berjalan keluar menuju pintu. Setelah membuka pintu dan melangkah keluar, pria itu menatap Ayu yang masih diam di tempat.

"Ayu Anjani."

Ayu menoleh, melihat sang guru sedang bersiap menutup pintu.

"Jangan ragu untuk melakukan apapun. Kalau kau butuh bantuan, jangan ragu untuk minta tolong pada teman-temanmu. Mereka anak baik."

Ayu hanya diam mendengarkan. Tidak mengatakan apapun sebagai jawaban.

"Jangan ragu juga untuk minta tolong padaku. Bagaimana pun juga, aku adalah wali kelasmu. Aku bertanggungjawab atas semua hal yang kau butuhkan. Serta hal yang menimpa dirimu." Setelah mengatakan hal itu, pintu ruangan kesehatan ditutup rapat.

Suara langkah kaki menjauh perlahan terdengar semakin samar. Tidak ada lagi orang lain di dalam ruangan. Namun Ayu masih belum beranjak dari tempatnya.

Liontin di lehernya ia genggam. Jemarinya menelusuri bentuk permata dari benda itu selama beberapa saat. Ayu lalu membawa liontin tersebut ke depan wajahnya untuk ia tatap. Benda mewah yang telah bersamanya sejak kecil dan satu-satunya peninggalan dari orang tuanya. Jika benar bahwa mereka masih hidup dan berada di dunia sihir ini, apakah ia bisa bertemu dengan mereka?

Jika memang ia bisa bertemu dengan mereka, Ayu ingin menanyakan banyak hal. Apa alasan ia dibuang ke dunia tanpa sihir? Apa alasan ia awalnya dibuang ke panti asuhan? Apa alasan kenapa mereka harus membuangnya?

Exentraise Academy: The Rising of The Magicless [End | Belum Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang