"Raka, lagi apa nih ?" tanya sebuah suara.
pandanganku yang awalnya fokus pada sebuah sketchbook teralihkan pada suara itu, suara yang sangat kukenal sejak aku masih berumur belasan.
seorang laki-laki 5 tahun di atasku terlihat mendekat dan duduk di sampingku, senyum cerahnya selalu menjadi fokus pertama, satu-satunya orang yang selalu tersenyum tulus padaku.
"kak Steve, aku cuman lagi nggambar." balasku dengan senyuman juga.
aku memamerkan hasil gambaranku pada lelaki yang kuanggap kakakku sendiri, ia tersenyum cerah san langsung memuji gambaran yang ku buat, sebuah gambar pemandangan di depanku, gambar jalanan beserta beberapa pejalan kaki yang terlihat.
"uwahhh, keren, kamu berbakat banget ya Raka, ntar kamu mau jadi komikus nggak ?, atau jadi arsitek ?, dua dua cocok banget buat kamu." ucap Steve dengan semangat.
aku tertawa kecil mendengarnya, jawaban itu memang membuatku senang, tapi aku merasa lebih senang saat melihat senyuman dan wajah cerah itu.
Steve adalah segalanya bagiku sekarang, semenjak kematian kedua orang tuaku karena kecelakaan mobil, Steve adalah satu-satunya orang yang selalu perduli dan selalu melindungiku.
bahkan saat terjadi keributan perebutan hak aset saat pemakaman hari itu, Steve adalah orang yang membela dan mendukungku, tak segan-segan ia juga mengajukan hak dan menemani sampai aku memenangkannya.
Steve adalah orang yang sangat terpandang, ia adalah anak tunggal dari perusahaan yang disegani, terkadang saat bersamanya aku merasa seperti debu kecil yang mengotori jejaknya.
soal aku dan Steve, aku bukanlah siapa-siapa, tidak ada hubungan darah atau hubungan pekerjaan dari orangtua, tapi entah kenapa Steve selalu ada untukku, bahkan disaat saat terburukku.
saat aku hampir diculik di sebuah jalan sepi di kota asing, aku tersesat karena tak mengenal jalan ditempat itu, aku pergi ke kota itu untuk mengurus beberapa hal.
tapi seseorang membekap mulutku, aku panik dan langsung pingsan saat itu juga, saat aku sadar Steve lah yang pertama aku lihat, aku menangis sejadi-jadinya sambil memeluk Steve.
bahkan saat itu dia juga menyelamatkanku, aku tak bisa hidup tanpanya sedetikpun, bayang-bayang hal buruk selalu terlintas saat aku tak melihatnya.
meskipun begitu aku tetap menahan diri, aku ingat aku bukanlah siapa-siapa untuknya, dan aku juga ingat Steve memiliki dunianya sendiri, sampai saat aku memutuskan untuk ikut dengan Steve karena pekerjaan.
kamar apartemen yang terpisah adalah keputusanku agar Steve memiliki ruang sendiri dan ruang pribadi, tapi aku cukup senang saat tau kamar kami berpijak di lantai dan langit yang sama, setidaknya saat aku melihat langit-langit apartemen, aku yakin Steve ada diatas.
tapi kebiasaan itu mulai menghilang saat Steve memiliki pekerjaan tambahan yang mengharuskannya pergi, ia memintaku untuk tetap menjaga apartemennya dan mencoba bertahan hidup dilingkungan kota ini.
perlahan aku mulai bisa mandiri dan membangun beberapa relasi, walaupun aku tak begitu dekat dengan orang-orang disekitar tapi aku bersyukur bisa tersenyum meskipun tak ada Steve.
setidaknya Steve akan melihat perkembanganku saat ia kembali agar Steve bisa melihat aku tumbuh lebih kuat dari sebelumnya dan aku bisa membalas budi.
setidaknya aku harus bisa melindungi Steve, meskipun harus membayar dengan nyawaku sendiri.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
My sweet Target
Romancemenjadi korban salah target dari seorang psikopat berdarah dingin bukanlah hal yang menyenangkan, terlebih ketika Raka yang menjadi korban itu dibiarkan hidup tapi dengan bayang bayang pisau yang siap menggorok lehernya kapanpun jika ia mengungkapka...