Ayo akhiri ini???

0 0 0
                                    

Namanya adalah Robi, seorang siswa SMA biasa, penampilan seperti remaja pada umumnya, pakaian dan rambut yang rapih, tetapi tidak mengisyaratkan aura seseorang yang tampan. Aku sudah mengenalnya sedari kami kecil. Masih ku ingat saat pertama kami bertemu, dia menampar ku yang sedang menangis. 

Pada saat itu tangisan ku semakin menjadi-jadi, dan aku membalasnya dengan dua tamparan. Sebenarnya aku ingin menamparnya lebih banyak, tetapi terhenti saat melihat tatapan khawatir guru pembimbing. 

Kami tumbuh di lingkungan yang berdekatan, sekolah yang sama, kelas yang sama, absen bersebelahan. Kami terus bersama, hingga tanpa ku sadari, sebuah perasaan timbul di dalam dada ku. Kami mulai menginjak usia dimana kami mulai memikirkan cinta. 

Aku cukup yakin kalau bukan hanya aku yang memikirkannya. Robi mulai melihatku dengan cara yang berbeda. Terkadang dia menjadi sedikit protektif, cerewet, dan mengomentari banyak hal. Tunggu, dia malah mirip ayah ku? 

Berbicara tentang cinta. Robi baru saja menyatakan perasaannya ke pada ku. Di sore hari, tepat setelah kami menyelesaikan tugas piket. Dia berdiri dengan tegas, membusungkan dadanya, melihatku dengan tatapan yang mantap. 

Badan ku panas, bercampur perasaan aneh di dalam kepala. Rasanya otak ku seperti di acak-acak, aku tidak bisa berpikir jernih. Bagaimana muka ku sekarang? Aku bertaruh itu terlihat merah padam seperti apel. 

Pandangan ku menyisir sekitar. Matahari meninggalkan langit. Jingga kian berganti hitam. Bagaimana cara ku membalas perasaannya? Aku tidak menyangka dia akan mengungkapkan perasaannya di sini, pada momen ini. 

"Maaf," sebuah kata muncul ke permukaan. Tanpa ku sadari, badan ku membungkuk, diikuti kaki ku yang berlari dengan kecepatan tinggi. 

Aku baru saja meninggalkannya sendirian. Apa aku tadi menolaknya? Tanpa sadar? Jantung ku berdebar kencang. Setelah berlari cukup jauh, melewati beberapa lorong, kaki ku mencapai batasnya. Aku terengah-engah. 

Sekonyong-konyong perasaan tidak enak menyeruak dari dalam dada. Leher ku panas. Aku tau, ini adalah penyesalan. 

Aku mencoba mengatur kembali napas ku. Mata ku menyisir sekitar, sekolah semakin gelap. Hanya beberapa bagian saja yang diterangi lampu. 

"Robi juga kayaknya udah pulang." 

Menapaki jalan pulang, aku hanya terdiam. Memori mengenai pengakuan Robi terus terputar di dalam kepala. Namun, setiap kali aku mengingat bahwa Rani beberapa menit di masa lalu menolak pengakuan Robi, dada ku sakit.

Rumah ku bersebelahan dengan Robi. 'Kalau aku menunggu di sini....' Aku menggelengkan kepala. Itu mungkin bisa jadi kesempatan ku satu-satunya untuk mengoreksi jawaban ku tadi. Tetapi tidak ada jaminan kalau Robi akan lewat sini. Bisa jadi juga dia sudah pulang duluan, atau bahkan dia sudah masuk ke dalam rumahnya sedari tadi. 

Seorang pria berjalan dengan lemas. Sepertinya dia tidak menyadari kehadiran ku. Pria itu melintasi punggung, membuat ku seketika membalik badan. Kepalanya menunduk, pundaknya turun, sangat berbeda dengan Robi yang tadi.

Aku mencoba meraih tangannya, entah mengapa itu tidak menggapainya. Lebih tepatnya, tangan ku memang tidak menjulur sedari awal. Tubuh ku membeku. Aku mencoba memanggilnya. Sekali lagi, itu tidak menggapainya, dan lebih tepatnya aku tidak mengeluarkan suara sama sekali. Lidah ku kelu. Aku kembali panik. Kalau kami tidak bertukar kata sekarang, hati kecil ku mengatakan hubungan kami akan berakhir di sini. 

Aku mengencangkan cengkraman kedua tangan ku, mengumpulkan tekad, hingga tanpa ku sadari Robi sudah berjalan masuk ke rumahnya. 

*

Pagi kembali tiba untuk kesekian kalinya. Aku berjalan santai melewati lorong panjang sekolah. Cukup banyak tatapan yang membuat ku tidak nyaman. Entah berapa kali pun aku mencoba, tetap sulit untuk membiasakan diri. 

Kelas sudah di depan mata. Ketika berpikir kalau aku akan bertemu Robi di dalam sana, napasku tersendat. Menelan ludah pun jadi terasa sulit. Aku mencoba mengambil napas panjang, mengendurkan ketegangan di pundak, memasuki ruangan. 

Di pojok kelas, Robi sudah duduk, mengobrol dengan temannya. Sekilas netra kami bertemu, aku segera membuang pandang. Apa yang kulakukan? Aku merasa seperti memperburuk suasana. Bagaimana ini? 

Kaki kiri ku tersandung kaki kanan ku sendiri. Membuat tubuh ku jatuh ke depan. Gawat. 

"Kamu gak papa?" 

Seseorang menangkap ku. Aku mendongak. Dia adalah Sore, pria yang menyembunyikan sesuatu. Ekspresinya mengatakan kalau dia sedang menahan diri. Aku kembali dari pikiran ku dan segera memperbaiki posisi berdiri.

Obrolan mengalir dengan sendirinya. Seperti yang diharapkan dari murid populer, Sore sangat pintar menyambung percakapan. Aku tidak terlalu memikirkannya dan mengikuti alur, hingga seseorang menghampiri ku dari belakang. 

"Rani, kamu gak papa?"

Mira, dia adalah teman baik ku. Meskipun disebut teman baik, kami baru saja bertemu di SMA, yang berarti kami kenal belum lama ini. Tetapi entah mengapa aku merasa bisa mempercayainya. Robi pun tidak menunjukkan pertentangan saat aku berbicara dengan Mira, jadi kurasa itu tidak apa. 

Aku mengangguk ramah. Kami berbincang sedikit sampai obrolan terpotong dering bel masuk. Sore tersenyum dan meninggalkan kami. Mira duduk tepat di belakang ku, jadi kami kembali melanjutkan obrolan sampai guru mapel pertama datang. 

Waktu berlalu, saat makan siang. Biasanya Robi menghampiri kami untuk makan bersama. Tetapi hari ini tidak. Momen dimana bel istirahat berdering, dia segera pergi meninggalkan ruangan. Mira hanya menunjukkan wajahnya yang terdistorsi rasa heran. 

"Mungkin dia pengen ke toilet?" tanya nya bercanda. 

Aku hanya tertawa tipis. Kami menghabiskan waktu makan kami yang berharga. Hati ku sedikit berharap Robi akan kembali dan mendatangi kami, tetapi dia tidak menampakkan diri. Hingga bel masuk kembali berkumandang, Robi tidak sedikit pun terlihat. Dia baru kembali beberapa menit sebelum guru datang.

Aku memperhatikan wajahnya, dia tidak secara terang-terangan menunjukkannya, tapi aku merasa dia sedang dalam mood baik. 

*

Tak terasa, sudah waktunya pulang. Selama jam pelajaran, aku sudah membulatkan tekad. Aku berdiri, dengan tegas melangkahkan kaki ku mendekati Robi. 

"Robi!" 

"...!" 

Dia terkejut. Aku tidak menghiraukannya. "Kita harus bicara." Aku mencoba mempertahankan ketegasan ku.

Wajah terkejutnya silih berganti. Matanya menyiratkan keseriusan, dia bersiap untuk mendengarkan ku. 

"Soal kemar-" 

Sebuah dering telpon terdengar. Kurasa itu berasal dari ponsel Robi. Wajahnya kembali normal. Dia memegangi belakang kepalanya sembari memasang senyum terpaksa. 

"Maaf, aku ada urusan. Mungkin lain waktu?" 

"eh?" 

"Kakak ku meminta tolong mengurus dokumen OSIS nya, jadi aku harus segera ke sana." 

"Ah, okey, sampai jumpa." 

Kami kembali berpisah. Tanpa aku sempat mengatakan soal kesalah pahaman diantara kami. 

22:31 GMT+7
27/07/2023

~Ilfa

Semburat Kisah KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang