OSIS

0 0 0
                                    

"Saya Aruna Robi Mangala," aku menundukkan kepala. 

Pria di depan ku hanya memicingkan matanya. Mungkin karena perbedaan tinggi kami, tapi aku merasa dia seperti menatap ku rendah. Lagi pun, kenapa siswa sekolah ini kebanyakan diisi orang tinggi? Aku menjadi si pendek di sini.

"Dia bisa di percaya," kakak memukas keheningan. 

Pria itu diam sejenak memegangi dagunya, "Kalau lu bilang gitu...." dia mengalihkan perhatiannya dari ku.

Kakak berjalan ke arah ku, tatapannya sayup dengan kantung yang menghitam di bawah kelopak matanya. Dia menyodorkan setumpuk dokumen yang cukup tebal untuk menutupi perut hingga pundaknya. 

Aku mengulur tangan ku, "Kakak gak papa?"

Dia tersenyum tipis. Kalau diliat-liat lagi, suasana ruangan OSIS terlihat agak suram. Pundak yang lemas, wajah memucat, mata menyipit, tangan yang terus mengetuk keyboard, adalah deskripsi yang paling tepat untuk menjelaskan situasi mereka. 

"Okeh, waktunya kerja, kurasa."

Kakak menuntun ku ke sebuah kursi dengan laptop menyala di depannya. Detik, menit, hingga tak terasa bel masuk mulai terdengar. Aku mendorong tangan ku ke atas, itu kaku. Dalam setengah jam ke belakang, kedua tangan ini seperti dipaku di atas meja. Itu mengerikan kalau boleh ku bilang. 

"Hebat juga kamu," puji Kak Mai - kakak kelas yang duduk di samping ku. 

Setelah menyimpan file berkas, aku menutup laptop ku - atau tepatnya laptop yang dipinjamkan pada ku. "Makasih, kak." 

"Kamu adeknya Roni kan? keliatannya tahun ini OSIS bakalan dipegang sama Aruna bersaudara lagi ya?" 

Aku memiringkan kepala, "Aruna bersaudara?" 

"Ah, itu julukan untuk kedua kakak mu. Tahun kemarin adalah tahun terbaik kami saat kakak pertama mu aktif sebagai ketua OSIS." 

Aku hanya mangangguk kecil, memberi tanda mendengarkan. 

"Oh, sekarang kau membahasnya, dia bisa membawa banyak sponsor waktu itu. Kita jadi bisa bikin acara akbar," seseorang menimpali. 

"Yah, kakak memang hebat," kakak ikut memasuki obrolan. 

Aku beranjak dari kursi dan menyerahkan dokumen yang ku kerjakan. "Gak sempet selesai semua." 

"Gak apa-apa, kamu udah cukup banyak bantu." 

Kakak OSIS yang lain melilit tangan nya di pudakku, "Iya, kinerja adik Roni emang gak usah ditanya!" 

"Augh." 

"Aku Bima, Bima Satria, salam kenal ya, Robi!" 

"Kalau kalian punya waktu buat teriak, mending dipake buat jalan ke kelas. Bel udah bunyi daritadi," suara Kak Andi - pria yang memicingkan matanya - menyambar dari belakang.

Kak Bima membalik senyumnya, "Ya elah." 

Diikuti senior yang lain, kami berjalan meninggalkan ruangan. 

"Tapi bener deh, semenjak anak tahun ke-3 lepas tangan, kerjaan tahun ke-2 jadi bengkak banget. Yah, mereka masih bantu ngurus acara sih, tapi dokumen hariannya jadi diserahin ke kami anak tahun ke-2," keluh Kak Mai. 

Kak Mai masih bersama ku, kebetulan ruang kelas kami satu arah. 

"Tahun ke-3 udah mulai fokus praktek sama ujian ya?" 

Kak Mai mengangguk lemas. "Tapi makasih banget ya. Kamu tadi bantu banget. Kalau boleh jujur, sebenernya yang kamu kerjain tuh kerjaan dua orang tau. Jadi emang wajar kalau gak selesai." 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 29, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Semburat Kisah KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang