Sebuah mobil sedan berhenti di pelataran rumah mewah bergaya modern. Di dalamnya, pria paruh baya berkaca mata menoleh ke belakang. Melihat seorang gadis remaja berusia enam belas tahun yang terlelap di jok dengan tas kumal di pangkuan.
Untuk kesekian kali, ada rasa sesak yang menghimpit dadanya. Begitu besar rasa sesal karena telah membiarkan gadis itu menderita selama belasan tahun.
"Biar saya bangunkan, Tuan." Sang sopir menawarkan bantuan.
Lelaki itu menggeleng. "Jangan, Pak Bram. Biar saya saja," jawabnya.
Sebenarnya, ia pun tak tega membangunkan. Namun, tertidur selama satu jam di dalam mobil, pasti akan membuat tubuh gadis itu pegal-pegal juga.Perlahan ia membuka pintu. Keluar dari mobil, lalu menuju kursi bagian penumpang. Setelah pintu belakang terbuka, ia mengamati wajah lelap gadis tersebut. Menelusuri paras ayu yang tercetak jelas di sana. Sama persis seperti wajah seorang wanita yang hingga kini masih menghuni relung hatinya.
"Bangunlah, Nak. Jo ... Jovita." Dengan guncangan lembut di bahu, lelaki itu membangunkan.
Perlahan, mata Jovita mengerjap. Mencoba menyesuaikan pandangan sekitar yang hanya diterangi lampu dari dalam mobil. Hari memang sudah hampir larut malam.
Jovita berdeham. "Kita udah sampai, Om?"
Lelaki itu mengangguk. "Ayo, turun. Lanjutkan tidurmu di dalam."
Jovita meraih tas berukuran sedang yang warnanya sudah pudar di jok sebelahnya. Setelah memastikan semua barang bawaannya di tangan, ia turun dari mobil. Seketika merasa takjub dengan bangunan rumah berlantai tiga di depan matanya.
"Om Raka, ini rumah milik, Om?" Jovita melangkahkan kaki, melewati jalan setapak yang berada di tengah tanaman berumput. Ada beberapa pasang lampu yang juga menghiasi pinggir jalan tersebut. Menurut Jovita, tempat ini jauh lebih indah dari taman umum di tempat tinggalnya yang dulu.
"Iya. Ini rumah Om. Akan menjadi rumahmu juga mulai sekarang. Ayo, kita masuk." Raka menatap lekat Jovita. Tampak sekali binar kagum dan bahagia dari sorot mata gadis yang sangat mirip dengan miliknya. Tegas, dan juga tajam.
Jovita membenarkan letak kaca mata yang baru tiga bulan ia kenakan. Sebenarnya, ia merasa sangat terganggu. Akan tetapi, rabun dekat membuatnya terpaksa menggunakan benda tersebut.
"Ayo."
Keduanya melangkah beriringan. Raka sempat merasa bimbang. Ia khawatir, apakah keputusan membawa gadis itu ke rumahnya merupakan keputusan yang tepat?
Raka hanya ingin menebus kesalahan yang sudah ia lakukan belasan tahun silam. Dirinya tidak mau berpisah lagi dengan Jovita.
Seorang wanita paruh baya membukakan pintu, menyambut tuannya pulang. "Selamat malam, Tuan." Ia menyapa, dengan raut wajah khas orang bangun tidur.
"Malam, Mbok Tin. Tolong antarkan Jovita ke kamar yang tadi Mbok siapkan, ya."
Wanita paruh baya tersebut menatap lekat Jovita. Pagi tadi memang ia sudah diberi tahu untuk menyiapkan kamar untuk seseorang. Namun, dia tidak tahu siapa yang akan menempati kamar tersebut.
"Mari, Non. Silakan masuk," ajaknya. Tanpa bertanya lebih lanjut kepada tuannya, dia siapa.
"Jovita. Malam ini kamu istirahat dulu. Besok kita bicarakan tentang sekolahmu."
"Baik, Om." Raka mengelus surai hitam milik Jovita, lalu tersenyum. Beranjak meninggalkan gadis itu ke lantai dua. Ia ingin mandi lalu istirahat.
"Mari, Non. Simbok antar ke kamar."
Jovita berjalan mengikuti Mbok Tin. Matanya tak henti mengamati sekeliling rumah yang akan ia tinggali mulai sekarang.
Ini bagaikan istana! Sebelumnya, ia hanya melihat rumah sebagus ini di televisi."Selamat istirahat, Non. Kalau perlu apa-apa, kamar Mbok ada di dekat dapur." Mbok Tin menunjukkan arah dapur, yang berseberangan dengan kamar Jovita. Terpisahkan oleh ruang makan yang bersisian dengan ruang tengah.
"Baik, Mbok. Terima kasih," jawab Jovita. Ia memasuki kamar berukuran lima kali sepuluh meter tersebut. Ini bahkan lebih luas dari ruang tamu di rumah neneknya. Tempat yang selama ini ia tinggali.
"Aku seperti Cinderella." Jovita melangkah secara perlahan, mengamati furniture kamar tersebut. Sebuah lemari kaca tiga pintu yang terletak di sisi tempat tidur berukuran besar. Lampu hias menggantung tepat di atas kepalanya saat ini. Juga televisi layar datar berukuran empat puluh inci yang menggantung di dinding. Menghadap ke ranjangnya.
Meja belajar, serta AC yang menempel di sudut ruangan juga tak lepas dari pengamatan gadis tersebut.
Langkah kakinya ia bawa ke pintu bercat putih gading. Ia menduga, itu adalah kamar mandi. Seperti yang ia lihat di film-film. Setiap kamar akan memiliki kamar mandi di dalamnya.
Benar saja, ia berdecak kagum ketika melihat luasnya kamar mandi tersebut.Di dalamnya, ada bath up berukuran sedang, bersisian dengan toilet duduk. Sedangkan di bagian belakang, ada ruang berdinding kaca yang di atasnya ada pancuran shower. Jovita pernah melihat alat itu ketika menginap di hotel, sewaktu menghadiri perlombaan taekwondo tahun lalu bersama sang paman yang ia panggil sebagai kakak. Itu pun hanya sekali Jovita mandi menggunakan pancuran air hangat tersebut.
Usai mengamati kamar mandi, Jovita melangkah ke tempat tidur. Tubuhnya begitu lelah, pasca perjalanan jauh dari kampung halamannya. Ia harus naik bus, pesawat, bus lagi, baru mobil pribadi. Selayaknya ia mandi terlebih dahulu, tapi gadis ini memang memiliki kebiasaan buruk. Yakni malas mandi.
Dari dalam tas ia merogoh pigura berukuran lima inci. Di dalam pigura terebut, terdapat foto wanita yang memiliki garis wajah serupa dengan dirinya.
Jovita memeluk foto tersebut, sembari merebahkan tubuh ke spring bad berukuran sedang yang jauh lebih empuk dari yang pernah ia tiduri ketika di hotel dulu.
Ia mengelus wajah wanita di foto seraya berkata, "Bu, Jojo udah sampai di rumah Om Raka. Teman Ibu itu kaya dan baik, loh, Bu. Jojo senang di sini. Apa di sana Ibu juga bahagia? Meski kita udah nggak bisa bertemu lagi, tapi Jojo nggak akan pernah lupain Ibu. Jojo sayang Ibu." Jovita memeluk kembali foto ibunya. Lalu mulai terlelap. Kembali menjelajah alam mimpi. Berharap, di dalam sana, ia akan bertemu dengan sang ibu yang sudah tiga bulan ini berbeda alam dengannya.
Sementara di lantai dua, Raka baru saja selesai mandi. Ia menatap wanita yang kini tengah terlelap di ranjang, berbalut selimut tebal. Raka tidak menyusul istrinya, tapi justru memilih ke ruangan kerja.
Di dalam sana, Raka membuka buku harian berwarna coklat tua pemberian nenek dari Jovita. Lembar demi lembar ia baca. Hatinya tercabik untuk yang ke sekian kali ketika melihat foto kecil Jovita yang ditempel di buku tersebut. Di bagian bawah, ada beberapa baris tulisan, yang merupakan keterangan berapa usia Jovita kala itu.
Hal serupa tertera di lembar-lembar berikutnya. Dari foto Jovita masih bayi, sampai sekolah dasar. Raka tidak lagi sanggup membaca. Dadanya semakin terasa menyempit. Seakan sesuatu tengah menghimpit, sekaligus menghunjam berulang kali.
"Maafkan aku, Rain. Karena terlambat menjemput anak kita."
Setitik air mata menetes di pipinya, tatkala ia menutup buku tersebut dan mendapati sebuah tulisan di sampul bagian belakang. Raka - Raina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Ayah
Teen FictionTumbuh besar tanpa sosok seorang ayah sejak bayi, tak lantas membuat Jovita berkecil hati. Bersama sang ibu dan keluarga angkatnya, ia sudah merasa lengkap. Namun, ketika sang ibu meninggal dunia, Jovita diajak pindah ke kota oleh seorang lelaki ber...