Sama seperti ketika berangkat, Jovita kembali pulang dengan naik bus. Dirinya cukup sadar diri untuk tidak ikut naik mobil pribadi bersama Luna. Meski Raka sudah berulang kali memaksa, tapi Jovita selalu menolaknya.
Pukul tiga sore, Jovita baru sampai di rumah. Karena jarak rumah dan sekolah cukup jauh, ditambah harus menunggu bus, jadi memakan waktu hampir 1 jam.
"Kamu baru pulang? Ke mana saja? Keluyuran?" Riska yang tengah menikmati pemandangan tanaman hias di halaman menatap Jovita tak suka.
"Aku memang baru pulang sekolah, Tante. Nggak ke mana-mana." Jovita mendekat, mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan Riska. Namun hingga beberapa detik tangan itu hanya menggantung di udara tanpa sambutan sama sekali. Wanita itu justru bersedekap.
"Alesan. Luna aja udah dari tadi sampai rumah. Keluyuran ke mana kamu?" Jovita menurunkan tangannya, lalu menjawab, "kan, Luna naik mobil, Tan. Aku tadi nungguin bus hampir dua puluh menitan."
Riska berdecak, lalu memalingkan muka. Sebelum masuk ke dalam rumah, ia berkata, "awas saja kalau sampai keluyuran tidak jelas. Apalagi sampai menyia-nyiakan kebaikan mas Raka."
Jovita menghela napas berat. Ia sudah bersiap akan sikap tidak suka dari Luna dan istri Raka melalui interaksi mereka sejak hari pertamanya di sini. Ia dapat menangkap sinyal permusuhan dari kedua wanita tersebut. Namun, Jovita tidak akan terlalu menanggapi. Raka bilang, dia hanya harus fokus belajar, tanpa perlu memedulikan orang-orang di sekitarnya.
"Ibu, doain Jovita. Semoga kuat di sini," gumamnya, seraya menatap langit cerah tanpa gumpalan awan yang menghiasi.
Beberapa saat kemudian, ia masuk ke dalam rumah, mengucapkan salam meski tidak ada yang menjawab sama sekali.
"Eh, Non. Sudah pulang?" Mbok Tin menyapa ketika baru saja keluar dari kamar. Letak kamar yang berseberangan membuat mereka akan terlihat dari pintu kamar masing-masing.
"Sudah, Mbok." Jovita mendekat, lalu mengulurkan tangan. Mbok Tin tertegun dengan apa yang anak angkat majikannya itu lakukan. Ia merasa terharu saat hidung mancung Jovita menyentuh punggung tangannya.
Perlakuan Jovita mengingatkan dengan anak gadisnya di kampung. Jarak yang cukup jauh, membuat mereka harus jarang bertemu. Dengan sebelah tangannya lagi, Mbok Tin mengelus kepala Jovita dengan lembut.
Sisa hari itu, Jovita lewati dengan membantu Mbok Tin menyiapkan makan malam. Usai mandi dan salat Asar, Jovita berkutat dengan alat dapur yang sudah sering ia gunakan. Meski banyak dari alat itu yang belum pernah Jovita gunakan. Seperti oven listrik dan blender mewah berukuran besar dan lebih mirip dispenser di rumah neneknya.
....
"Bagaimana hari pertama masuk sekolah, Nak?" Raka bertanya di sela makan malam. Saat ini keluarga sudah berkumpul di meja makan mewah bermuatan delapan kursi. Ada Raka yang duduk di kepala meja, lalu di sisi Raka ada Riska yang bersisian dengan Luna. Jovita sendiri berada di seberang Luna.
"Baik, Om. Lancar." Jovita menghentikan aktivitas menyendok nasi dengan lauk daging ayam panggang yang ia olah bersama Mbok Tin tadi. Sebenarnya, ia kurang nyaman makan memakai sendok, karena terbiasa menggunakan tangan. Selain lebih mudah, kata guru ngajinya dulu hal itu merupakan sunnah rasulullah.
"Luna, bagaimana denganmu?" Kini Raka beralih menatap Luna, yang sejak tadi memasang wajah jutek. Ia merasa diduakan, karena keberadaan Jovita. Harusnya, ia yang ditanyai lebih dulu seperti biasa. Raka memang selalu bertanya tentang kegiatan Luna, stok uang saku dan lain-lain. Keberadaan Jovita sangat mengganggu moodnya.
"Kurang baik, Pa. Luna lagi kesel sama cewek caper." Kedua tangan Luna menggenggam erat sendok dan garpu. Kepalanya menunduk, tapi sorot matanya mengarah pada Jovita.

KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Ayah
Teen FictionTumbuh besar tanpa sosok seorang ayah sejak bayi, tak lantas membuat Jovita berkecil hati. Bersama sang ibu dan keluarga angkatnya, ia sudah merasa lengkap. Namun, ketika sang ibu meninggal dunia, Jovita diajak pindah ke kota oleh seorang lelaki ber...